Senin, 17 Oktober 2016

Antara Katak dalam Panci dan Katak dalam Tempurung

Musim hujan, tiba-tiba teringat katak. Kodok sih sebetulnya yang saya ingat. Tapi karena tak ada peribahasa "Kodok dalam tempurung," ya anggaplah katak yang berada dalam tempurung. Saya tak ingin menuding orang lain sebagai katak. Saya lah katak itu. Setidaknya itu yang dikatakan kawan saya belakangan. Karena pada dasarnya saya senang mendengarkan, maka cerita perihal katak ini pun saya dengar baik-baik.

Seorang kawan saya mulai bercerita, "Ada seekor katak dalam sebuah panci. Dia nyaman berada disana karena merasa tak dalam bahaya. Sampai kemudian panci itu diangkat ke sebuah tungku oleh pemiliknya. Si katak tetap diam dalam panci, karena masih merasa nyaman dengan air yang dingin. Lama-lama air tersebut menjadi hangat, katak masih diam saja. Dia pun nyaman-nyaman saja dengan air hangat. Kemudian air hangat tadi mulai memanas, katak mulai merasa gerah, tapi dia tidak melompat karena merasa air yang mulai memanas itu tak terlalu membahayakan hidupnya. Sampai akhirnya, air di panci mulai mendidih. Katak, mulai berpikir untuk melompat. Tapi itu sudah bukan saatnya untuk  berpikir. Akhirnya katak itu mati dalam panci berisi air mendidih sebelum dia sempat melompat." Dan seperti biasa..saya hanya manggut-manggut.

Kawan yang lain memulai percakapan juga tentang katak. "Mungkin semua orang dipengaruhi musim hujan," begitu pikir saya. Sebetulnya dia tak secara gamblang berbicara soal katak. Dia hanya bilang bahwa katak dalam tempurung tak bisa kemana-mana. Ditinjau dari sudut manapun, saya tak punya celah untuk menyangkal perkataannya. Jadi saya dengarkan saja ceramahnya perihal katak ini. Saya selalu senang mendengarkan. Dan dengan mendengarkan, saya jadi lebih banyak mengerti dan memahami. "Keresahan itu harus selalu kau jaga. Itu yang akan mendorongmu keluar dari tempurungmu," katanya dengan nada bicara yang selalu saya sukai. "Keluarlah!" Satu kata itu lah yang akhirnya menutup perbincangan kami.

Beberapa hari kemudian sampai sekarang, saya masih memikirkan cerita katak ini. Betulkah katak begitu bodoh dan ceroboh sehingga untuk memutuskan melompat atau tidak pun dia tidak sanggup? Atau sebegitu poloskah si katak ini sehingga mau saja berdiam dalam tempurung? Bisa jadi! Atau..bisa juga tidak. Hanya saja, saya meyakini satu hal. Bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk sudah lengkap dengan semua kemampuan mereka untuk mempertahankan diri. Ada yang berhibernasi untuk melawan cuaca ekstrim, ada yang kuat menempuh perjalanan bermil-mil dalam kondisi yang penuh mara bahaya, juga ada yang memangsa dan menjadi buas untuk mempertahankan hidupnya. Semuanya bersinergi dengan alam, menyatu dan membuat keseimbangan. Begitulah hidup dan kehidupan. Maka sesungguhnya Tuhan teramat paham akan semua keterbatasan makhluknya. Bukankah dengan tegas Dia telah mengatakan bahwa tak ada cobaan dan ujian yang akan diberikan-Nya yang melampaui batas kemapuan hamba-Nya? Itu sudah merupakan suatu jaminan yang tak diragukan lagi. Tuhan sangat paham sampai dimana batas kemampuan kita.

Dan sesungguhnya, perihal cerita katak ini, saya merenungkannya berkali-kali. Kenapa manusia membuat peribahasa seperti itu?  Saya pun teringat kuliah dua minggu ke belakang. Dosen kami yang selalu tersenyum setiap memasuki kelas itu tiba-tiba bertanya, "Kenapa dongeng anak itu tokohnya selalu binatang? Kenapa harus binatang?" Pertanyaan sederhana yang jawabannya tak sederhana. Mengapa tokohnya harus binatang? Apakah kita kekurangan tokoh manusia sehingga ketika memperdebatkan tentang langit yang akan runtuh saja harus meminjam tokoh Kancil dan Gajah? Ataukah juga tak ada tokoh yang cocok untuk memerankan keberingasan seorang raja sehingga hanya Harimau yang pantas? Tak adakah manusia  cerdas sehingga yang dikenal cerdik oleh anak-anak hanyalah si Kancil? Ya, kenapa? Membahasnya saya kira mesti mengkhatamkan dahulu berjilid-jilid buku.

Dan sama hal nya seperti katak, hewan adalah simbol perwatakan manusia. Ada si Monyet yang culas dan serakah, ada si Kura-kura yang baik hati tapi lamban dan terlampau polos sehingga mudah ditipu. Ada si Buaya yang beringas namun selalu tak menggunakan pikirannya, ada Harimau yang gagah dan sombong tapi kurang cerdas. Ada si Ular yang licik, Kerbau yang penolong, Serigala yang tak tahu balas budi, Gajah yang tak berpendirian, serta sederet tokoh ternama lainnya dalam dunia fabel. Dalam dunia yang sesungguhnya, adakah hewan-hewan tersebut memiliki sifat demikian? Tidak! Tentu saja tidak. Itu semua sifat-sifat manusia. Ya..manusia ingin menyindir sebagian manusia lainnya dengan meminjam tokoh binatang. Karena manusia diciptakan dengan ego yang begitu tinggi, lebih sering mereka tak menyadari ketika sekali waktu dalam kehidupannya tiba-tiba dia menjelma  si Monyet, si Buaya, si Harimau atau Kerbau. Dan manusia mana yang rela dirinya dikatakan memiliki sifat-sifat demikian? Maka dari itu, meminjam tokoh binatang kiranya dapat  menyindir tanpa menyinggung.

Benarkah saya ini katak? Kenapa harus katak? Apa karena katak dapat melompat tapi tak tinggi? Saya coba mengingat-ngingat apa kelebihan katak, dan selain dapat melompat dan bernyanyi di kala hujan, saya tak menemukan kelebihan yang lain. Malah saya merinding membayangkan kataklah yang selalu dimangsa ular.

Tapi..tunggu! Bukankah katak berhibernasi juga? Bukankah katak dapat hidup di dua alam? Bukankah proses kehidupan katak begitu panjang? Selain kupu-kupu, kataklah hewan yang juga bermetamorfosis. Siklus hidupnya melalui beberapa tahap. Katak juga bernafas melalui kulit. Ya..katak bukan hewan sederhana. Dia kuat tak makan selama hibernasi yang panjang, mampu bernafas melalui kulit, bisa hidup di dua alam. Dan lagi-lagi, ciptaan Tuhan yang mana yang sia-sia?

Dan saya sedikit menemukan alasan kenapa katak sanggup bertahan dalam panci tanpa melompat. Katak tahan pada cuaca yang ekstrim. Sedang perihal katak dalam tempurung, jangankan dalam tempurung, terbenam dalam tanah tanpa bergerak sedikit pun di musim kemarau akan mampu membuatnya bertahan hidup.

Begitulah, setiap makhluk memiliki cara sendiri dalam bertahan hidup. Kita tak mungkin menggunakan sudut pandang burung ketika memaknai setiap tingkah polah katak. Akan menjadi tak sesuai ketika kita mencoba menyelami cara berperilaku seekor kelinci dari sudut pandang seekor ikan. Mungkin saja, melanglang buana bagi seekor katak hanya cukup dilakukannya dalam semedi selama hibernasi, bukan dengan cara melintasi samudera seperti penyu atau melanglang angkasa seperti burung. Mungkin saja. Tapi itu bukan berarti hidup itu melulu hanya di bawah tempurung. Jikalau katak bisa terbang, bukankah itu bagus juga? Jika katak dapat berenang melintasi samudera, bukankah itu akan jadi hebat? Tapi untuk bisa seperti itu, sepertinya katak harus anti mainstream. Harus keluar dari zona nyaman nya dalam tempurung. Harus melompat keluar panci dan menempuh resiko jika lompatannya tak tepat dan dia malah mendarat tepat di atas tungku yang penuh bara api.

Ya..mungkin intinya, jadilah katak yang bijak. Saya kira, itu yang ingin disampaikan kawan saya tadi. Setidaknya, dia berhasil membuat saya memikirkan katak seharian. 😅😅😅
***

16102016
Suatumalam

Selasa, 05 Juli 2016

Bulan yang Kutangkap dari Sudut Jendela

Bulan yang Kutangkap dari Sudut Jendela

5 Juli 2015

Do'a

Setahun begitu cepat berlalu.
Bukan waktu yang merisaukanku,
Tapi apa-apa yang kuhabiskan bersama waktu.
Pada saat tiba masanya mulut dikunci,
Tangan dan kaki yang bicara,
Waktu akan menyeretku dalam masa-masa yang tak bisa kusangkal.
Maka..Rabb...
Bila aku lebih lusuh dari baju kotor,
Lebih nista dari orang paling berdosa,
Rahmat dan ampunanMu lah yang tiada henti kupinta.

(29 Ramadhan)

Sabtu, 02 Juli 2016

Pasung Jiwa

"Seluruh hidupku adalah perangkap." Kalimat pertama dari buku ini yang membuatku terperangkap dalam jalinan ceritanya.
Perpustakaan Daerah
29 Juni 2016

Beautiful Creatures

Baru saja selesai menonton Beautiful Creatures. Setelah Lena berhasil mengalahkan Sarafine dan merelakan Ethan, ada satu kalimat dari Lena Duchannes yang membuatku tercenung,"I could hear the sound. The sound was me breaking. I cried because he had lived, because he had died. I was shattered. I was saved. I only knew the girl I was, was gone. He was right. No good could come from loving a mortal. They can’t survive our world. Get out, go Ethan. Claim yourself, in defiance, in hope, in love, in fury, in gratitude. Claim the light. Claim the dark, Claim it all. Nothing can stay." Singkatnya..Lena berpikir tak ada artinya menyintai sesuatu yang fana.
Atau ketika Lena bertanya pada ibunya, Sarafine, " Apakah kau menyintaiku, Mama?" Sarafine menjawab, " Aku tidak ingat." Kemudian ketika Sarafine sudah mulai terkalahkan oleh kekuatan Lena, dia berteriak pada gadis itu, "Aku menyintaimu! Aku menyayangimu!" Dan dengan wajah dingin, Lena menjawab, "Jangan ucapkan kata-kata yang kau tak paham apa maknanya, Mama!"
Kemudian ending yang membuat dada sesak...ketika Ethan berteriak, "Lenaaaaa...!" Dan ah..jarang film yang setelah selesai kita menontonnya, membuat kita merenungkan hidup dan apa artinya. Dan sungguh..film ini benar-benar mengajarkan bagaimana cara nya menghargai kehidupan.

02 Juli 2016
22:45

Jumat, 01 Juli 2016

Menunggu

Stasiun Kereta
Cianjur
21 Februari 2016

Kawan Karib

Junggle Land,
19 Februari 2016

Sudut Bahagia

Aku menamainya "Sudut bahagia". Entah apa alasannya. Aku hanya sering merasa nyaman disini.

Perpustakaan Daerah
19 Februari 2015

Musim Ujian

Kemarin murid saya yang tidak pernah betah duduk diam ketika belajar membawa bilah bambu ke kelas saat jam istirahat. "Nemu di belakang," jawabnya singkat ketika kutanya. Tak lama, dia bersama kawannya yang lain meminjam pisau entah dari mana, "mau bikin mainan bu," lagi-lagi dia menjawab ketika kularang membawa pisau ke kelas. Akhirnya kubiarkan saja. Kuperhatikan apa yang diperbuatnya dengan bambu dan pisau itu. Dan lebih kurang setengah jam, bilah bambu itu telah berubah wujud menjadi pedang-pedangan kecil dengan bentuk yang memang mirip pedang. Rupanya anak itu memiliki bakat yang luput dari pengamatanku.
Lain lagi dengan muridku yang satunya, dia kesulitan membaca di usia yang telah remaja, tapi sangat pandai dalam matematika. Atau yang satunya lagi yang lebih senang bernyanyi dan pandai memainkan alat musik, tapi kesulitan dalam hampir semua mata pelajaran.
Sementara ujian telah di ambang mata..saya jadi sangat khawatir. Mampukah mereka dengan kemampuan yang berbeda-beda itu melaksanakan ujian dengan standar penilaian yang sama?
Saya jadi membayangkan, sekiranya para siswa itu diibaratkan penghuni kerajaan binatang seperti harimau, gajah, burung, monyet, ikan, banteng, kancil, kura-kura, dsb. Kemudian suatu hari mereka harus mengikuti ujian di sekolah dengan mata ujian "memanjat pohon," kira-kira siapa yang bakalan lulus?
Tak salah kiranya ketika Albert Einstein berkata bahwa setiap orang itu jenius. Namun jika kita menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka seumur hidup dia akan merasa dirinya bodoh.

(NB: Buat anak-anakku kelas 6, selamat mempersiapkan diri menempuh ujian. Ingat, nilai bisa dicari, kejujuran tak bisa dibeli!)

Ruang Kelas, Selepas Mengajar
25 Maret 2016
pukul 10:57

Bibil dan Koran Minggu

Waktu seusianya, bacaanku adalah komik Doyok di harian pos kota. 😁 😁 😁

Sukabumi
28 Maret 2016

Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer

Tak ada orang muncul untuk menjemput. Peduli apa? Orang bilang: hanya orang modern yang maju di jaman ini, pada tangannya nasib umat manusia tergantung. Tidak mau jadi modern? Orang akan jadi taklukan semua kekuatan yang bekerja di luar dirinya di dunia ini. Aku manusia modern. Telah kubebaskan semua dekorasi dari tubuh, dari pandangan.
Dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim piatu, dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya.

(Jejak Langkah)
27 Maret pukul 19:50

Kereta dan Kenangan

Terakhir berkereta...ada yang tertinggal di stasiun pemberangkatan; Kenangan!

Stasiun Kereta Cianjur
2 April 2016
pukul 18:16

Hujan, Kenangan, dan Masa Kecil

Saat hujan itu adalah saat mengenang masa kecil.

Halaman Sekolah
6 April 2016
16:45

Senja di Warung Kiara

Sukabumi, September 2015

Mengenang Ananda Fajar Kelas 6B

Bukankah Tuhan menyintai dengan cara yang paling indah?
Tiada yang menggembirakan seorang kekasih selain berpulang ke sisi kekasihnya. Selamat jalan, Nak..!

Sukabumi
18 April 2016

Tentang Jendela

Ada kawan yang selalu tersenyum setiap saya bicara soal jendela. Saya pun hanya bisa tersenyum kembali menanggapi gurauan-gurauannya tentang jendela. "Apa kabar jendela?" Selorohnya setiap kali kami bertemu. Ah..andai saja kau tahu, jendela adalah sekat yang justru tak memberi jarak buatku. Jendela mengantarkanku pada dunia yang "bukan duniaku sendiri."

Cianjur
Kereta, Kursi 17A
19 April 2016

Selamat Ulang Tahun, Teman..!

Do'a tadi memang terbata-bata. Tapi percayalah, itu cuma di lidah. Dalam sanubari, kuyakin kami bertujuh merapal seribu do'a yang tak berkesudahan. Semoga seribu kebahagiaan memenuhi ruang kehidupanmu sampai penuh sesak, hingga tak ada kesedihan sedikitpun yang berani mampir disana. Selamat ulang tahun Ira Maina Firmansyah 😉 😉

Cianjur
23 April 2015
19:15

Kopi Selalu Mengajak Berpuisi

Aku tak tahu gelas kopi itu bicara apa pada malam.
Hanya sekeping kata yang jatuh di keheningan.
Pada muram..
pada jarum jam yang berhenti berdetak,
Pada waktu yang tak mau menunggu..
pada aku yang sudah jemu.
Pada kamu..
Pada entah yang dihantar gelisah,
Pada jendela yang tak bicara,
Pada kita..
yang tak lagi sama.
Sudut Jendela
1 Mei 2016
16:44

Aku Pulang..!

Aku pulang, Jingga..!
Pada pantai yang selalu memanggil namaku.
Disana aku menemukanmu,
pada angin laut yang bernyanyi,
pada nyiur-nyiur yang menari,
pada pasir yang tidak pernah sunyi.

Aku pulang...
Aku bosan jadi pengelana.
Biar aku rebah di bawah nyiur di atas pasir,
memandang sampan yang menjelma dari matamu.

Ujung Genteng
16 Desember 2015 pukul 12:18

Tentang Kamu

(Buat S Begawan)

Ada pantai Lombok di matamu,
Ada Venesia di matamu,
Ada jalanan Broadway di matamu,
Ada sungai Nil di matamu,
Ada Mesir di matamu,
Ada Turki di matamu..
Sehingga kadang,
aku merasa tak perlu lagi kemana-mana.

Sudut Jendela
03 Mei 2016
14:35

Yellow is Spirit

Ujung Genteng
16 Desember 2015

Tentang Kamu

(Buat S Begawan)

Ada pantai Lombok di matamu,
Ada Venesia di matamu,
Ada jalanan Broadway di matamu,
Ada sungai Nil di matamu,
Ada Mesir di matamu,
Ada Turki di matamu..
Sehingga kadang,
aku merasa tak perlu lagi kemana-mana.

Sudut Jendela
03 Mei 2016
14:35

Dunia Tak Melulu Hitam Putih

Dunia tak melulu hitam putih. Buatlah warnamu sendiri

Ujung Genteng
5 September 2015

Percakapan Senja

Jingga berkirim pesan pada biru yang kelabu, "Aku rindu, aku ingin menemuimu!" Tulisnya pada secarik kenangan usang dengan tinta hitam. Sementara, biru menggigil di ujung kenangan. "Hatiku hampir beku." Bisiknya..pada awan yang berarak di keheningan.

Sudut Jendela
3 September 2015

Carita Sisi Sagara

Geus titis tulis,
Basa lambak neumbag karang sakedapan.
Aya geter nyaliara ka sagara.
Ieu rasa micangcam mangsa balungbang,
Tibelat ka mangsa katukang.
Basa dalingding angin jaladri,
Mangpengkeun kasimpe nu mepende hate.
Kuring surti basa angin tarung jeung pangwelah,
Meureun endah mun hirup kawas sagara.

(Ujung Genteng, 2015)
8 Mei015
13:35

Pria Bertopeng Besi

"Hidup memang tak masuk akal," lanjut Sonnino. "Dan manusia jauh lebih rumit dari itu." (L'Homme au Masque de Fer)

09 Mei 2016
10:06

Balada Ujian Sekolah

Aku rindu sekolah yang di dalamnya ada anak-anak yang tertawa-tawa, mereka bebas berlari mengejar bola atau menggambar dengan ceria.

Aku rindu sekolah yang di dalamnya ada anak-anak yang tersenyum bahagia, mereka bisa membuat karya apapun yang mereka suka dan memperlihatkannya pada dunia.

Aku rindu sekolah yang di dalamnya hanya ada anak dan orang tua. Mereka menjalin kasih sayang tak sebatas sebutan "Pa Guru, Bu Guru atau Nak!"

Aku rindu sekolah yang di dalamnya bergema mimpi-mimpi dan harapan yang terus dinyanyikan..

Aku rindu sekolah yang ijazahnya adalah selembar kasih sayang dan kejujuran...

Ruang Jiwa
17 Mei 2016, 12:34
(Selepas Ujian Sekolah)

Petualang Cilik

Petang ini beberapa orang murid datang ke rumah. Dalam hujan mereka berkerumun di teras yang sempit, bercakap dalam bisik yang ujung - ujungnya kedengaran juga berisiknya. Seorang anak yang paling besar karena usianya pun sebetulnya telah melampaui usia SD, dikarenakan terlalu seringnya tidak naik kelas itu menghampiriku perlahan. Dia mencium tanganku dan tangan semua orang yang ada di rumah. Kemudian duduk di lantai mengikutiku. "Mau ada perlu sama ibu," ujarnya sopan.
Aku senyum-senyum saja melihat tingkahnya, karena bagiku yang dalam keseharian bersama anak itu terus, tingkahnya itu terasa janggal. "Sejak kapan dia bisa bersikap manis?" Tapi tentu tak kuutarakan. Sehabis hujan reda, segerombolan remaja tanggung itu pun meninggalkan teras rumah juga. Berboncengan mereka menuju rumah masing-masing.
Ada satu kekhawatiran sebetulnya ketika menyaksikan punggung mereka menghilang dibawa cepat larinya sepeda motor, yaitu mengenai "Akan jadi apa mereka kelak?" Cukupkah mereka menjadi apa yang dicita-citakannya saja? Cukupkah mereka hanya jadi dokter? Hanya jadi guru? Hanya jadi tentara atau polisi seperti yang selalu mereka bilang setiap kali ditanya perihal cita-cita? Ah..tentunya masa depan tak sesederhana itu.
Bukanlah dokter, guru, polisi, tentara, presiden, artis atau pun pengusaha yang akan meninggikan derajat mereka. Tentu saja bukan. Ini mengenai bagaimana caranya menjadi manusia. Menjadi dewasa melalui sebuah proses yang berupa jalan panjang yang memerlukan petunjuk. Jadi apapun mereka kelak. Mereka tak bisa berjalan sendirian, tak bisa dibiarkan memilih jalan yang tak mereka ketahui ujungnya akan sampai dimana. Mereka adalah para petualang cilik yang masih memerlukan kompas, peta, dan bahkan perbekalan yang memadai. Dalam perjalanan yang penuh dengan kesiapan itulah, mereka akan menuju puncak keberadaanya. Mereka akan memahami hakikat menjadi dewasa, dan pada akhirnya..mereka akan paham apa itu hakikat manusia.
Kitalah kompas dan peta itu. Kita pula yang akan menyediakan perbekalan buat mereka.
Kitalah..
para orang tua dan guru...

Ruang Jiwa
20 Mei pukul 22:16

Nasib Proposal Tesis

A: "Bagaimana kabar tugas-tugasmu?"
B: "Baik-baik saja."
A: "Maksudnya?"
B : "Masih tersimpan di kepala dan belum berubah jadi satu kalimat pun!

Sudut Jendela
21 Mei pukul 4:41

Kata Si Kabayan

Konon katanya, hal yang paling sulit itu menertawakan diri sendiri. Gak seperti nonton komedi. Saya sering begitu, mencoba melihat sisi humor dari setiap kemalangan. Heheh..
Susah sih..tapi apa salahnya dicoba. Siapa tahu kita malah jadi tertawa terpingkal-pingkal. Seperti kata si Kabayan, "Karena biar bagaimana pun juga, hidup ini adalah baik. Jadi mari kita semua ketawa-ketawa riang gembira!"

Sukabumi
23 Mei pukul 21:45

Sekolah Negeri, Untuk Siapa?

Sementara sekolah-sekolah negeri favorite mulai sibuk menjaring siswa-siswa berprestasi, lantas kemanakah larinya siswa-siswa yang "dianggap" tidak berprestasi? Dengan tidak bermaksud mengabaikan prestasi anak yang dicapai dengan kesungguhan dan kegigihan dalam belajar, saya sering berpikir, "Apakah pelayanan pendidikan yang maksimal hanya untuk anak-anak pintar?" Bukankah anak-anak yang kurang berprestasi pun layak dan pantas mendapatkan pelayanan pendidikan yang maksimal?
Dan saya sungguh merasa salut, dengan sekolah-sekolah yang mau menerima dan menampung anak-anak yang dicap "bodoh, nakal, dan berandalan." Kesediaan untuk menerima dan mendidik mereka merupakan hal yang luar biasa. Karena kewajiban negara bukan hanya memintarkan siswa yang pintar saja, akan tetapi mencerdaskan seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Menjadikan mereka anak-anak yang cerdas tidak hanya dalam segi akademik, melainkan juga cerdas emosional dan spiritual. Bukankah begitu yang tertera dalam amanat pendidikan nasional kita?
Dan karena pendidikan bukan hanya milik anak-anak pintar, sangat bijak kiranya apabila sistem seleksi di sekolah -sekolah tidak lagi hanya untuk memilah-milah yang pintar dengan yang tidak pintar. Akan tetapi, alangkah bijaknya apabila seleksi itu hanya untuk memetakan kemampuan siswa saja guna kepentingan proses pembelajaran.
Wallahualam...

27 Mei pukul 13:19

Pindah Cai Pindah Pileumpangan

Dalam pepatah Sunda ada peribahasa "pindah cai pindah pileumpangan." Peribahasa itu ditujukan kepada orang yang tidak istiqomah. Atau istilah lainnya adalah tidak konsisten atau tidak menjadi manusia yang otentik. Kalau kita lenyepan (renungkan), peribahasa ini mengajak kita untuk menjadi manusia yang sadar akan entitas dirinya. Tidak menjadi manusia yang mudah terbawa arus dan mudah larut dengan keadaan sekelilingnya. Tidak asin ketika berada di laut, tidak bising ketika berada di keramaian, tidak hilang dalam kegelapan. Dan seperti inilah mungkin perwujudan manusia Sunda seharusnya. Memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia, apapun peran yang dilakoninya dalam hidup. Dan Ramadan kiranya adalah kesempatan bagi manusia untuk belajar menjadi manusia.

Sukabumi
5 Juni pukul 22:40

Kita dan Laron-Laron

Laron-laron beterbangan di depan rumah kita mengitari lampu neon yang bersinar terang. Menari-nari ditingkahi suara jengkerik yang sesekali bernyanyi. Mengantarkan kerinduan kepada sebuah negeri khayalan tentang anak-anak yang tertawa riang. Berceloteh tentang dongeng putri dan pangeran. Sesuatu yang selalu menyeberangkan harapan dan kenyataan. Dan Malam..adalah juga berarti bulan, bintang, serangga dan binatang malam, serta kesunyian yang menyenangkan, yang selalu kita rindukan di tengah bingar siang yang menjemukan.

Ruang Jiwa
10 Juni pukul 11:07

Akuarium Ular

"Ceritanya begini, Bu..ada sebuah kotak udara besar yang dijadikan kandang ular. Seseorang memelihara ular besar disana. Dia menyiramkan air setiap hari kesana biar pohon dan rumput bisa tetap hidup dan ular juga hidup. Dibiarkannya ular itu setiap hari mengejar tikus-tikus yang ada disana," kata Bibil sambil menunjukkan gambar terbarunya.

12 Juni 2016
04:59

Ziarah, kakek, Ikan, dan Kenangan

Masih teringat suatu siang pada usiaku yang ke empat, aku terbangun di rumah nenek dan semua orang menghilang. Aku ketakutan dan hampir menangis ketika akhirnya kudapati semua orang sedang mengerubungi kakek dan seeokor ikan sangat besar yang digantung di dapur. "Kemarilah, lihat ini ikan tangkapan kakek!" Serunya kepadaku. Aku terbelalak melihat ikan sungai sebesar itu. Panjangnya hampir menyamai tinggi kakek.
Dan itu adalah sekelumit ingatanku tentangmu. (Mengenang Kakek di tepian sungai Cimandiri)

13 Juni pukul 10:12

Kembang Api

Seperti kembang api, berpendar dan bersinar. Begitulah seharusnya kehidupan...

Saat Rindu Bertanya pada Senja

Langit selalu berbeda pada setiap pukul lima belas,
tak jarang senja bercerita,
mengirimkan bait-bait sajak
ke sebuah negeri bernama kerinduan.
Kemudian ketika kau meloloskan sunyi
yang sedari tadi terperangkap dalam jeruji hati,
kemanakah seharusnya dia bertujuan?

Litani

Seperti gerak tanpa tari,
Seperti lorong tanpa tepi,
Seperti musik tanpa bunyi,
Seperti raga tanpa ruh,
Seperti mata tanpa cahaya,
Seperti itulah aku tanpaMU.
Aku malu,
Ternyata..aku hanya debu.

(Ramadhan, 9th)
14 Juni pukul 23:06

Perjalananku Mencari Rindu

Hanya ingatan..yang menjarakiku dengan waktu. Jarak itu mengingatkanku pada malam-malam yang menepi di ujung jendela. Memberiku jeda yang terlampau lama.
Dimanakah kau berada?
Di kesunyian bernama entah, ataukah di keheningan yang kuhirup bersama desahan nafas?
Dan bila aku telah kehilangan tanya, rindu hanyalah perjalananku mencari tanda.

Sudut Jendela
20 Juni 2015

Rendezvous

Aku masih ingat, pada ramadhan tahun lalu, suatu malam aku terduduk di teras sebuah masjid. Menatap langit yang megah dengan mataku yang itu-itu saja. Mata yang sama yang menatap hidup juga dengan cara yang sama. Malam itu, bulan menggantung jenaka. Setengah purnama, dan tersenyum pula. Dan aku mulai bertanya-tanya, "Ramadhan ini untuk siapa?"

Aku masih menatap langit yang sama dengan mata yang masih itu-itu saja, ketika tanya yang sama lagi-lagi masih tak bisa kujawab dengan kata-kata apapun juga. Hanya bulan yang menggantung jenaka melempar senyum dengan kerling mata padaku. Dia seolah berkata, "Hai manusia, mampuslah karena kau memiliki hati!" Ya..dan aku pun mulai merabai dada dengan jantung yang tak lagi di tempatnya.

Hari ini..aku sedang mengenang ramadhan yang sama. Masih dengan hati yang itu-itu juga. Dan aku mulai merabai dada..yang kurasa..dengan jantung yang lagi-lagi belum kembali ke tempatnya.

"Selamat jadi manusia!" Ujar bulan yang bahkan belum jadi setengah purnama.

Sudut Jendela
04 Juni 2016
16:16

Dunia Kura-Kura

Aku mendapat sebuah buku tebal dengan isi yang tidak bikin bosan dibaca ratusan kali hanya dengan harga tiga ribu rupiah. Cuma tiga ribu rupiah! Aku ingat betul harganya. Dulu aku membelinya di toko buku di sebuah mall dalam tumpukan buku obralan. Ingat juga penjualnya seorang anak muda gondrong berkacamata yang rambutnya dia ikat ke belakang, mirip Uyan di Preman Pensiun. Buku itu pun berpindah tangan hanya dengan modal tiga ribu rupiah. Sungguh perasaanku berbunga-bunga. Sama lah kiranya seperti kau makan di Pizza Hut sekenyang-kenyangnya dan pelayannya bilang, "Bill nya tiga ribu rupiah!" Apa kau tidak akan tercengang? Aku pun berlalu dari toko buku dengan senyum mengembang. Melewati deretan toko-toko baju, tas, sepatu, aksesoris, bahkan kendaraan yang selalu hanya bisa kupandang. Keluar dari mall itu bagai  keluar dari tumpukan jerami. Dan berjalan-jalan ke pasar selalu lebih kusukai. Melihat pedagang sayur, penjual makanan, pedagang ikan, dan asongan. Itu pula yang kulakukan selepas bahagia dengan buku tiga ribu di tangan. Berjalan ke arah pasar , tanpa tujuan. Dan mengenai apa yang  kudapat di pasar itu, akan kueritakan. Aku mendapat sepasang kura-kura cantik berwarna hijau. Setelah  ditawar mati-matian, bukan tega pada penjualnya, tapi karena memang uangku pas pasan, akhirnya sepasang kura-kura beserta kandang dan makanannya untuk sebulan ke depan kubayar dengan harga lima puluh ribu rupiah. Entah kenapa aku membeli kura-kura, mungkin..karena aku selalu merasa mirip kura-kura. Diam dan lamban. Selalu sembunyi di balik cangkang. Dan memandang kura-kura di saat sedang sendirian seperti ini..bisalah membuatku merasa berkawan. Dan betul kiranya demikian. Setiap bangun aku  memandang sepasang kura-kura tersebut dan merasa dunia begitu sejuk. Dunia sepi yang dingin. Dunia yang menjaga kewarasan tetap diam pada tempatnya. Dunia yang berhasil menyelamtkanku dari keinginan menjadi tiada. Ya, dunia kura-kura.

22 Januari 2016

Belajar dari Ki Hajar Dewantara

Salah satu hal yang menarik dari pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah bahwa menurutnya, anak yang belajar dalam kondisi di bawah paksaan dan hukuman, apabila telah dewasa, mereka tidak akan mampu bekerja kalau tidak dipaksa atau kalau tidak ada perintah. Itulah kenapa Ki Hajar Dewantara tidak mengikuti pola pendidikan barat waktu itu yang memiliki ciri 'perintah', 'hukuman', dan 'ketertiban'. Hukuman yang diberlakukan biasanya untuk mencegah terjadinya perbuatan yang salah pada anak didik, dan biasanya tidak seimbang dengan kesalahan anak. Menurut Ki Hajar Dewantara, model pendekatan pendidikan seperti itu merupakan salah satu bentuk perkosaan terhadap kehidupan batin anak-anak.
Oleh karenanya, Ki Hajar Dewantara lebih menekankan pendekatan yang bersifat Momong, Among, dan Ngemong. Anak didik dipimpin dan dibimbing untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya, sehingga peran guru adalah sebagai pendamping dan orang yang membantu mengarahkan siswa sesuai dengan perkembangannya. Hal itu selaras dengan tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara sendiri, yaitu menurutnya pendidikan adalah upaya untuk memerdekakan manusia dalam artian menjadi manusia yang mandiri, yang tidak tergantung kepada orang lain baik lahir maupun batin.

Ramadhan,
26 Juni 2016
07:26

Malam Ketujuh Ramadhan

Malam Ketujuh Ramadhan...
Katanya Tuhan suka yang ganjil,
Maka tak apa mungkin ketika rinduku tak juga kunjung genap.
Bukankah di luar sana bulan juga cuma separuh?

Malam Ketujuh Ramadhan...
Aku mengurung sunyi dalam sangkar ketakpastian,
Merantainya dengan gelang-gelang sepi yang sedingin batu kali.
Sampai suatu hari..mungkin kau akan membukanya kembali.

Malam ketujuh ramadhan...
Kunyalakan kipas angin dan mulai membaca puisi demi puisi,
Bukankah katamu "Suatu hari aku akan menjemputmu?"


Malam Ketujuh Ramadhan
12 Juni 2016
21:32

Kekasih Sunyi

Ada yang tak biasa malam ini,
Sepi menaruh lengannya di ujung keheningan.
Kemudian dia bertanya pada bulan separuh yang tersenyum hambar, "Kemanakah jingga pulang?"
Tak ada jawaban.
Hening...

Lantas sepi mulai berjalan perlahan,
Melangkahkan kaki-kaki kepercayaan yang setengah mati tak ia biarkan pincang.
Kaki itulah yang menopangnya selama di jalanan.
Memercayai setiap doa-doa dan harapan yang meluncur dari ketinggian angan-angan tentang sebuah ketentraman bernama kasih sayang.

Dari kejauhan, terdengar sunyi berujar,
"Aku merinduimu sebanyak tetesan hujan.."

Sudut Jendela
12 Juni 2016
21:46

Kisah Sepenggal Rindu

Yang paling tidak menarik dari sunyi
adalah kau bisa mendengar detak jantungmu sendiri

Dan yang tidak menarik dari mendengar detak jantungmu sendiri adalah
selalu diteriakkannya namamu disana.

Dan yang paling tidak menarik dari mendengar jantung sendiri meneriakkan namamu adalah selalu terasa ngilu bagai diris sembilu.

Karena namamu, berarti RINDU...

Di Keheningan Ramadhan
16 Juni 2016
21:58

Ayah dan Kejujuran

Semasa sekolah dulu dan sering diantar jemput oleh ayah, tak pernah sekali pun saya melihat ayah melanggar peraturan berlalu lintas meski tak ada yang melihat. Ayah lebih memilih memutar jalan yang jaraknya jauh daripada melanggar rambu "Dilarang berbelok" meski tak ada seorang pun yang melihat. Dan karena hal itu, meski ayah tak pernah bilang, "Kamu tidak boleh menyontek ketika ujian!" Seumur hidup saya tak pernah berani menyontek.

Dan sampai sekarang, saya tak pernah bertemu orang lain yang sejujur ayah. Tak seorang pun.

Saya sering merenung ketika mendengar kata "Jujur." Sebetulnya apa makna kata itu bagi manusia? Masih pentingkah kejujuran di jaman seperti sekarang? Masih berhargakah kejujuran di tengah-tengah manusia yang tak menghargainya? Masih perlukah seorang manusia jujur? Lantas, buat siapa dan untuk apa jujur itu?

Dan ketika terlalu banyak manusia yang tak menghargai arti kejujuran, saya selalu ingin menanyakan satu hal, "Apa arti jujur buatmu?"

Sudut Jendela
Ramadhan, 15
2016

Menamai Sunyi

Aku hanya penyendiri yang kecanduan sunyi.
Sehingga sepi kugandrungi seperti pagi pada matahari.
Demikian pula ketika kebisuan lebih memekakkan telinga ketimbang ramai yang terlambat datang, itu pun kusebut puisi.
Dan pada setiap ujung malam yang terdiam,
aku selalu mendengar waktu dan kenangan saling bergumam.

(Sudut Jendela, 010716)

Selasa, 14 Juni 2016

Sepucuk Surat Buatmu

Ketika kutitipkan cinta padamu,
Awan menjelma hujan
Kemudian menjadi sungai-sungai yang mengalirkan harapan
Mengikutimu, entah kemana

Ketika ulat menjadi kepompong dan kemudian
Kupu-kupu cantik pun terbang mengangkasa,
Terbang pulalah semua prasangka
Dan yang tertinggal hanya ketulusan

Ketika kuberikan seuntai rindu padamu,
Turut pula sekerat mimpi warna-warni
Menjadi pelangi sepanjang hari-hariku

Ketika kutitipkan cinta padamu,
Begitu jugakah hatimu?

(Ramadhan, 10th)

Buat S Begawan

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.