Senin, 27 November 2017

Hang Tuah Cinta Laut

Kami adalah anak-anak negeri,
Seperti kecintaan kami pada ibu pertiwi,
Begitu pun cinta kami pada tanah yang kami pijak ini,
Pada debur ombak yang kami arungi ini,
Pada angin berembus dan aroma pasir yang wangi di setiap pantai yang membentang di Indonesia Raya ini.

Jika engkau bertanya, dimanakah tanah airmu?
Maka akan kujawab disinilah dimana ikan ikan begitu melimpah ruah,
Terumbu karang membentang indah,
Pasir pasir berkilauan bak mutiara,
Ombak ombak berkejaran amat gairah.
Disinilah di bumi yang kami pijak yang kami sebut tanah air,
Tempat darah tertumpah ketika kami lahir,
Tempat tertawa bahagia juga menagis sedih,
Sampai akhir menutup mata seperti lagu Indonesia Pusaka,
Disinilah tanah air kami.

Kami anak-anak negeri,
Hangtuah kecil yang mana laut menjadi bagian dari kami.
Ijinkan kami menjaga warisan nenek moyang kami,
Negeri maritim yang amat kaya dan luas ini.

(NB: "Hang Tuah Cinta Laut" tolong yaa..ditunggu..! Puisi anak! Kata seorang teman di WA nya. Akhirnya saya buatkan juga meski jadinya seperti ini.. hehe..😅 maaf yaaa...saya tak pandai bikin puisi..)

Minggu, 15 Oktober 2017

Mendung, Upacara Bendera, dan Wisuda

Senin ini mendung sekali. Membuat malas beranjak dan enggan meski sekedar untuk menyingkap selimut dan bangun dari tempat tidur. Senin adalah selalu hari yang sibuk. Hari yang sebetulnya akhir-akhir ini tak terlampau saya sukai. Hari yang selalu membuat saya merasa bersalah setiap harinya. Harus mencuri-curi waktu dari satu sekolah ke sekolah lainnya, berlari mengejar sesuatu yang entah apa itu. Akhirnya..perasaan berdosa pada anak-anaklah yang membuat saya selalu berpikir untuk meninggalkan semua itu. Cukup fokus di satu sekolah adalah idealnya, tapi saya tidak pernah punya kebebasan untuk memilih seperti itu. Selalu saja terjebak pada mau tidak mau, dan apa boleh buat. Tapi tuntutan keadaan seperti itu akhir-akhir ini kalah oleh   perasaan amat sangat bersalah pada anak-anak SD dan SMP itu. Mereka sesungguhnya berhak memeroleh sesuatu yang terbaik dari gurunya ini. Bukan selalu sisa-sisa waktu melulu. Meski mati-matian saya menyangkal bahwa saya tidak memberikan semua yang saya mampu untuk mereka.
Pagi ini mendung sekali. "Bu..guru yang lain belum hadir, ibu saja ya yang jadi pembina upacara," seru anak-anak berseragam putih biru itu. Padahal selepas memberi tugas di SD karena hendak berangkat ke kampus untuk pra wisuda tadinya hanya akan minta ijin tidak masuk. Tapi melihat dan mendengar mereka adalah godaan yang selalu tak bisa dielakkan. Akhirnya di senin yang mendung itu..sebelum pukul 7, saya sudah berdiri di lapangan upacara di tengah kerumunan anak-anak berseragam putih biru.
Sudah lewat pukul delapan, tapi mendung masih enggan pergi. Dingin. Cuaca akhir-akhir ini tak menentu. Kadang hujan kadang panas, tak pernah bisa diprediksi. Semakin siang semakin dingin dan membayangkan berjam jam di bus sudah amat melelahkan. "Apakah saya harus berangkat?" Rasanya enggan. Ini hanya wisuda. Haruskah dan pentingkah untuk hadir? Tapi yang lain semua hadir. Apa baik kalau saya tak hadir? Apa sebetulnya makna wisuda? Apakah hanya seremoni tanpa arti? Ah..tentu saja tidak! Saya harus tetap hadir..ini perayaan kelulusan.

Sabtu, 21 Januari 2017

Penghujung

Penghujung

Uji komprehensif lagi. Entah saya yang salah menghitung waktu, atau memang waktu berlalu begitu cepat. Rasanya-rasanya baru kemarin saya naik bus sendirian untuk mendaftar kuliah, baru kemarin mengikuti ujian masuk dan kuliah perdana, baru kemarin melihat kampus ini untuk pertama kali nya. Semua tampak seperti baru kemarin...

Tak mudah ketika memutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi. Seribu satu pertimbangan selain "Keinginan untuk menuntut ilmu" bermunculan menghalau niat untuk kembali belajar di kampus. Dan alasan klise terkait biaya menjadi penghalang utama. Tapi keinginan itu begitu kuat. Dengan hanya berbekal keyakinan, saya ucap bismillah dan nekat mendaftar kuliah, meski uang di kantong hanya cukup untuk biaya pendaftaran dan ongkos buat pulang naik bus saja. Selanjutnya..."Terserah Allah saja," begitu pikir saya waktu itu.

Dan ternyata..keyakinan saya tak salah. Tak semata-mata kita diwajibkan menuntut ilmu jika Allah tak menjamin jalan menuju kesana. Dan benar saja, rezeki itu ternyata bukan hanya dari honor saya yang pas pasan. Rezeki itu dari mana-mana, melalui tangan siapa saja. Karunia Allah itu tak terbatas pada apa yang dinamakan orang sebagai gaji atau penghasilan, tapi meliputi apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Termasuk ketika saya memiliki orang tua yang selalu mendukung apapun yang berkenaan dengan menuntut ilmu.

Saya mungkin memiliki sentimen berlebih mengenai kuliah saya ini. Hal itu dikarenakan masa dua tahun perkuliahan bukanlah jalanan mulus tanpa onak, tapi justru sebaliknya, terjal dan menukik. Tiada apapun yang menjadi harapan saya selain semua ini tak sia-sia. Banyak ilmu yang saya temui,  pengetahuan baru yang saya dapat, dan pemahaman serta sudut pandang yang semakin luas. Kiranya, semua itu dapat bermanfaat dan menjadi bekal dalam mengarungi lautan kehidupan selanjutnya.

Terakhir..bukankah sebaik-baik ilmu adalah yang berguna untuk orang lain? Paling tidak, saya ingin menjadi guru yang lebih baik, lebih membumi, lebih bisa memaknai hakikat menjadi guru, dan tentunya..lebih bermanfaat. Semoga...

Awal Semester Akhir
210117
18:45

Senin, 16 Januari 2017

Lalampahan

Geuning basa bulan sapasi ngeunteung dina tungtung lamunan,
Aya harepan nu ngawang-ngawang,
Mapat ngembat balungbang ka jalan bentang,
Mapag ringkang nu geus tiheula miang…

Nyorang sawangan na umpalan peuting,
Na ieu kitu jalan nu kudu disorang ku kuring?
***

181016
peutingjempling

Si Pucuk Kalumpang dan Nilai Kehidupan

Cerita yang selalu membuat saya menangis ketika kecil selain dongeng Budak Pahatu adalah dongeng Si Pucuk Kalumpang. Sampai sekarang masih selalu tak habis pikir bagaimana bisa orang Sunda jaman dahulu membikin cerita seperti itu. Kadang saya tak paham apa sebab cerita-cerita tersebut selalu membuat saya menangis. Karena jika hanya perasaan sedih, rasanya tak cukup bisa membuat menangis. Dan ketika membaca kembali cerita-cerita tersebut yang dahulu hanya saya dengar sebagai dongeng pengantar tidur, ternyata mengingatkan kembali pada perasaan-perasaan itu. Perasaan yang sewaktu kecil tak saya ketahui apa namanya. Dan tahulah sekarang..perasaan itu adalah sunyi dan hampa. Kesunyian yang menjerit kencang  ketika ibunya Pucuk Kalumpang terpaksa memberikan bayi perempuan pertamanya itu pada Nini paraji, dan hampa sehampa-hampanya ketika sang ibu melihat anaknya, Si Pucuk Kalumpang, membawa kain putih hasil tenunannya sendiri buat ayah yang tak menginginkannya bahkan ingin membinasakannya. Begitulah..meski pun akhirnya sama seperti kisah Nyi Bungsu Rarang maupun Purba Sari yang kemudian bertemu bahagia, Si Pucuk Kalumpang pun mendapat bahagia pula. Lagi-lagi..kebahagiaan yang diperoleh setelah penderitaan yang tak alang kepalang. Begitulah dongeng, selalu.. penderitaan diganjar kebahagiaan, kesedihan dibalas kesenangan. Asal sabar dan menerima semua ketentuan dengan keikhlasan.

Dongeng mengajarkan kita untuk memetik buah manis setelah sekian lama merasakan susah payahnya menanam. Dongeng-dongeng semacam ini menghargai proses perjalanan hidup manusia. Bahwa segala sesuatu tak didapat begitu saja dengan instan. Meski pun ada unsur-unsur mistis dan hal-hal yang tak masuk akal, tetapi tak dijadikannya itu sebagai jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan. Dan lagi-lagi..saya dibuat takjub dengan cara para orang tua jaman dulu mengajarkan nilai-nilai kehidupan.

Lantas, masih relevan kah dongeng dengan masa sekarang? Tentunya tak cukup jawaban iya atau tidak. Tapi ini perihal bagaimana seseorang memaknai sebuah cerita sehingga tak hanya jadi sekedar cerita. Dongeng, meski tak secara eksplisit dapat membawa pengaruh positif terhadap kehidupan, tetapi tak dapat disangkal pula bahwa dongeng-dongeng yang bermuatan nilai-nilai kebajikan sedikitnya dapat melahirkan manusia-manusia yang setidaknya menghargai nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri. Manusia yang tak senang mencari keuntungan instan dengan menggandakan uang atau mencuri di siang terang , tak suka tawuran atau sekedar bersilat lidah menjatuhkan orang, apalagi menjadi seorang yang mahir memancing di air keruh.

Dongeng pada dasarnya menyampaikan yang tak tersampaikan, mewakili yang tak terucapkan, menasihati dan mengkritik sekaligus tanpa harus menyinggung siapa pun. Dongeng adalah dunia penuh warna yang perlu kita perlihatkan pada anak-anak. Mewarnai masa tumbuh kembang mereka dengan warna warni yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan tentu akan menjadi suatu hal yang menggembirakan.

Selamat mendongeng!

Ujungpetang
160117

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.