Kamis, 05 Februari 2015

Aku, Kakek, dan Kopi.

Oleh : Noer Milansyah


“Masa kecilku bersama kakek,
adalah seperti secangkir kopi dengan beberapa sendok gula. “
***

Dulu, di belakang rumahku ada pohon kopi. Kakek yang menanamnya. Tidak ingat percis berapa jumlahnya, yang jelas, di belakang rumahku itu ada pohon kopi lebih dari satu. Bertetangga dengan pohon kemiri yang menjulang tinggi, pohon sawo, duku, rambutan, kweni, arbei, lolobi, kelapa, cengkeh, melinjo, lengkeng, belimbing, durian, sirsak, dan jambu. Dan tentu saja dengan pohon pala penghuni utama kebun. Untuk ukuran sebuah kebun di belakang rumah, kebun itu terbilang lengkap. Di sebelah selatannya dibatasi oleh rumpun bambu yang berderet rapi, ada sungai kecil di bawahnya. Airnya mengalir ke arah barat. Kakek selalu menyuruhku jauh-jauh dari sana. Sedang di sebelah timur adalah pagar hidup dari segala macam tumbuhan merambat. Ada labu siam, kedongdong, mamangkokan, roay, dan jaat. Di sebelah barat ada pohon sawo besar yang setiap musim selalu berbuah. Di sebelahnya pohon jambu batu, dan di sebelahnya lagi dua pohon kelapa kerdil berjejer. Selalu mengingatkanku pada buku cerita yang dibelikan ayah. Kisah tentang sebatang pohon kelapa kerdil dan burung Gelatik bermata satu.  Di sebelah utara terdapat pohon duku yang lebat berbuah setiap kali musimnya datang. Di samping pohon duku itu, ada sebatang pohon kelapa doyong yang menjulang tinggi. Aku juga selalu dimarahi kalau bermain di sekitar pohon ini. “Takut tertimpa buah kelapa jatuh.” Begitu kata nenekku. Di depan pohon kelapa ini, ada pohon rambutan kuning, kemudian pohon cengkeh, dan di tengah-tengahnya, yang merupakan penghuni utama kebun adalah deretan pohon pala. Tak tahu kenapa, baru terpikir sekarang, keluargaku dari pihak kakek, seluruhnya memiliki kebun pala. Hampir di tiap halaman depan atau belakang rumahnya selalu ada pohon pala dan kolam ikan. Bentuk rumahnya juga hampir sama, rumah jaman dulu yang catnya dari kapur, dan berbatu hitam serta di ruang tamu selalu ada kursi tua dari kayu jati dan sebuah meja marmer. Pernah kutanyakan pada ibuku, dan ibu hanya menjawab kursi dan meja marmer itu sudah ada sejak dia kecil. Dan aku pun berhenti bertanya. Mungkin warisan dari kakek buyutku. Begitu pikirku.
Kembali ke kebun. Di samping kebun itu ada sebuah kolam ikan besar. Mujair dan ikan Mas adalah penghuni tetap disana. Setiap panen ikan tiba, adalah saat-saat yang paling menyenangkan buatku karena aku bisa bermain lumpur sepuasnya. Di seberang kolam, masih ada lagi kebun kecil milik kakek. Kebun yang ini ditanami palawija meski di pinggirnya berderet pohon lengkeng, melinjo, petai cina, dua batang pohon belimbing besar, pohon cempaka, dan sebatang pohon pala kecil. Sedangkan kebunnya itu sendiri, bergiliran ditanami berbagai tanaman sekali musim. Kadang ditanami singkong, ubi jalar, pisang, nanas, tebu, atau jagung. Apapun yang masa tanamnya sebentar. Aku juga senang setiap kali memanen tanaman-tanaman itu. Di depan kebun itu, ada sebuah sumur yang dalam dan berair jernih. Dari sanalah satu-satunya sumber air bersih di rumah kami. Setiap petang, para lelaki di rumah kakek akan menimba air bergiliran. Kadang kakek, kadang ayahku, kadang Ua ku. Di dekat sumur itu ada kamar mandi lumayan besar tanpa atap. Lurus ke depan, beberapa meter dari kamar mandi adalah dapur nenek. Dapur yang dari atapnya selalu mengepul asap yang berasal dari tungku tua berwarna hitam yang kata nenek usianya sudah puluhan tahun. Di belakang tungku itu ada tempat penyimpanan kayu bakar dan ranting-ranting kering. Di sebelahnya adalah dipan yang lebar tempat nenek menyimpan segala peralatan dapurnya. Ada dulang tempat nasi, ada tenong untuk tempat makanan, ada bakul, boboko, aseupan, coet, dan segala macam peralatan untuk memasak. Di bawah dipan itu ada kuhkuran kelapa yang usianya juga tak kalah tua. Aku senang menaikinya. Menganggapnya seperti mobil-mobilan atau motor-motoran. Di samping kuhkuran itu ada sebuah lisung untuk menumbuk beras menjadi tepung. Nenek biasa menumbuk beras ketan untuk membuat kue saptu. Pernah aku iseng menanyakan, kenapa namanya tidak kue Selasa atau Senin saja? Nenek hanya tertawa waktu itu. Padahal aku sungguh-sungguh menanyakannya.  Berjalan beberapa langkah ke sebelah timur  dapur ini, akan ditemukan sebuah dipan lagi. Dua kali lebih luas dari di dipan di dekat tungku.  Kami sekeluarga biasa makan disini. Tepatnya hanya aku, nenek, kakek, dan Ua. Kedua orang tuaku lebih sering makan di rumah kami yang tak jauh dari rumah kakek dan nenek. Dipan itu terletak di muka sebuah pintu. Pintu menuju ke kolam di samping dapur. Berbeda dengan kolam di belakang rumah, kolam yang ini airnya bersih, termasuk jernih untuk ukuran kolam. Kolam yang ini juga ditanami ikan. Tapi di pinggirnya sudah beralaskan semen dan batu untuk tempat kami sekeluarga mencuci. Di samping kanannya ada sebuah jamban cukup besar yang rapat dikelilingi pagar bambu untuk mencegah bagian dalam kolam terlihat dari luar. Sebetulnya di sebelah kiri dapur masih ada satu lagi kolam ikan. Kolam yang juga biasa dipakai untuk mencuci, tapi para tetangga yang lebih sering menggunakannya. Nenek bilang, biarlah kolam itu untuk para tetangga. Kasihan mereka tidak punya tempat untuk mencuci. Begitu kata nenek. Aku ingat, kedua kolam itu pernah dipagar tinggi-tinggi. Ibuku bilang sengaja, supaya aku tidak tenggelam lagi. Memang, seingatku, aku sudah berkali-kali tenggelam di kolam-kolam itu. Entahlah..aku tak begitu ingat bagaimana tingkahku sewaktu kecil. Tapi ingatan tentang tenggelam itu masih terekam jelas. Aku masih ingat merasa berada di satu tempat yang di sekelilingnya berwarna coklat. Aku bisa melihatnya karena aku tidak menutup mata. Telingaku tidak dapat mendengar apa-apa, tapi aku merasa kesulitan bernafas, kepalaku terasa berat, dan tiba-tiba aku sudah berada di ruang tamu rumah nenek. Di lain waktu, aku merasa kepalaku terbentur benda keras, kemudian saat aku membuka mata, warna hijau yang kulihat. Aku juga kembali merasakan sulit bernafas. Di lain waktu, aku merasa meminum air begitu banyak, dan aku memuntahkan air banyak pula. Dan kata ibuku, aku tenggelam waktu itu. Aku pun berkali-kali mengalami cedera kepala, sehingga sampai aku dewasa, aku selalu merasa ada yang tidak beres dengan kepalaku. Aku juga pernah patah lengan. Sangat jelas diingatanku, aku di bawa ke rumah mama haji, kakek buyutku, mama haji waktu itu menyuruhku duduk di kursi di depan meja marmernya, kemudian menyuguhiku sepiring kecil makanan yang belum pernah kulihat. Mama haji yang waktu itu memakai baju serba putih, serban putih, dan kopiah putih itu tersenyum kepadaku, kemudian menyuruhku mengambil makanan itu. “Itu namanya kurma,” begitu kata mama. “Oleh-oleh dari Mekah,” sambungnya. Aku diam saja, tak bergerak, tak bilang apa-apa. Sampai beberapa detik kemudian, mama beranjak masuk ke dalam. Aku, yang seingatku, waktu itu sendirian, (ibuku sedang mengobrol di teras bersama ua perempuanku), dengan ragu-ragu merogoh piring kecil itu, menggigit sedikit makanan kecil-kecil berwarna coklat yang dibilang mama haji sebagai kurma itu. Dan setelah menggigit satu, aku menggigit yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Aku yang penyuka manis, menganggap makanan itu sangat lezat. Tak lama berselang, dari arah kamar muncul emak, istrinya mama haji,  membawakan sepiring lagi makanan yang tidak aku kenal. “Nyai kantos nyobian daging onta?” begitu tanyanya. Aku menggelang. Unta saja aku tidak tahu. “Ieu teh daging onta,”  sambung emak. Oleh-oleh mama haji dari mekah. Begitu katanya. Aku melirik isi piring itu. Tampak beberapa irisan yang sepertinya memang daging. Berwarna hitam, tipis-tipis, dan lebih mirip dendeng. Emak menyodorkan sepotong padaku. Dengan malu-malu aku mengambilnya. Kemudian menggigitnya. Alot. Bahkan keras. Aku merasakannya tak jauh beda dengan dendeng mujair buatan nenek. Aku langsung saja menyimpulkan bahwa daging unta itu tidak enak. Gara-gara kejadian itu, beberapa tahun kemudian, aku tidak pernah lagi mau disuruh mencicipi daging unta.
Jam berdentang. Tidak ingat berapa kali. Pokoknya, jam kuno yang berdiri di sudut ruangan rumah mama haji itu berbunyi ketika aku masih duduk sendirian di depan meja marmer. Kemudian mama haji datang, membawa sepisin minyak kelapa, dan tersenyum kepadaku. “Coba mama lihat tangan kirimu,” ujarnya sambil tersenyum. Aku tidak bereaksi. Hanya diam saja. sampai kemudian ibuku datang, dan seingatku…waktu itu mama haji mengurut lenganku yang kata ibu terkilir sewaktu aku memanjat pohon jambu.
Iya, pohon jambu. Aku ingat tentang pohon jambu ini. Pohon jambu batu rindang dengan batang bercabang dua di bagian bawahnya. Pohonnya besar dan tinggi, terletak di halaman depan rumah nenek, tepat di samping kolam yang biasa dipakai mencuci oleh para tetangga itu. Dan mengenai halaman itu, sangat luas. Seingatku, luasnya hampir tiga kali rumah nenek. Seluruhya ditanami pohon-pohon pala yang rindang. Dan di sebelah timur di dekat kolam, ada dua pohon jambu batu, dan sebuah pohon sirsak. Sekeliling halaman itu dipagar dengan tanaman hidup yang berderet rapi. Hanya ada satu pintu masuk terbuat dari anyaman bambu di bagian depan, langsung menghadap kejalan desa. Seluruh halaman itu ditanamai rumput jepang yang halus, empuk, dan terawat baik. Kakek dan nenek, meski sangat sayang padaku, tapi mereka tidak pernah menyukai anak kecil. Kadang kurasa mereka terlalu berlebihan memperlakukanku. Terlalu melindungi. Tak dibiarkannya aku bermain dengan anak-anak para tetangga. Kalau pun sekalinya diijinkan, kami harus bermain di halaman ini, tidak boleh keluar. Dan kalau pun diperbolehkan bermain di halaman, mereka akan mewanti-wanti supaya kami berjalan pelan-pelan saja di atas rumput itu. Aku sering kesal, bagaimana bisa bermain sambil berjalan pelan? Dan selebihnya, lebih sering tak kuindahkan omelan-omelan mereka. Aku asyik saja bermain susumputan, kucing-kucingan, bebentengan, sondah, dan permainan-permainan lainnya di halaman itu. Termasuk bermain memanjat pohon jambu itu. Sampai suatu kali, aku benar-benar terjatuh.
Perihal pohon kopi..aku punya cerita tersendiri. Sewaktu kecil aku senang mengamati seluruh tanaman yang ada di kebun. Pernah kutanyakan kepada kakek, pohon apa yang pendek, yang buahnya bulat-bulat kecil berwarna hijau dan merah itu? Lantas kakek menjawab kalau itu pohon kopi. Waktu itu aku bingung. Berkali-kali kubandingkan gelas kopi kakek dengan buah-buah merah hijau itu. Jelas-jelas tidak ada kesamaannya. Sampai suatu ketika, ada seorang tengkulak yang biasa membeli hasil kebun kakek. Kulihat mereka mengambil pala, dan hanya bijinya yang diambil, kulit buahnya dibiarkan begitu saja. Cengkeh mereka bawa semuanya, belimbing juga semuanya. Hanya kemiri dan pala yang dikupas lantas hanya diambil bijinya. Kuperhatikan mereka memanen kopi. Ternyata yang diambil adalah biji yang berwarna merah saja. Dari sanalah aku mulai mengenal kopi. Kami pernah mengolah kopi. Dan ternyata butuh proses yang teramat panjang untuk menghasilkan serbuk berwarna hitam kecoklatan itu.
Dan pada suatu pagi di musim hujan, setelah usaha yang cukup keras untuk mengolah kopi, kakek mengajakku ke dapur, memberiku sebuah jojodog dan kami berdua duduk di depan hawu. “Urang ninyuh kopi,” begitu kata kakek. Kemudian kakek mengambil dua buah cangkir dari kaleng, membubuhkan dua sendok teh kopi yang telah bubuk itu ke dalamnya, dan menambahkan tiga sendok kecil gula pasir ke dalam gelasku. “Keur nyai mah kudu amis,” sambung kakek. Akhirnya, pagi itu, di tengah gerimis bulan Nopember, di saat usiaku menginjak tujuh tahun, aku meminum kopi pertamaku. Kopi yang kami olah sendiri dari kebun belakang rumah, kopi yang sampai sekarang memberiku kenangan akan sebuah perasaan hangat bernama kasih sayang. Dan mungkin, karena kenangan itulah, maka kopi selalu menjadi minuman yang bersejarah buatku. Kopi berarti kakek, nenek, dapur nenek, kebun kakek, dan halaman depan rumah. Kopi adalah ingatan tentang masa kecil, dan kenangan yang membuat manis setiap cangkir kopi yang kunikmati. Kurasa, aku tak butuh gula lagi, karena kenanganku tentang pohon kopi di kebun kakek, cukup terasa manis buatku.


                                                                                                                   Ruang sunyi,
September, 2013

Catatan :
1.      Mamangkokan, roay, dan jaat : Tanaman merambat yang di daerah Sunda biasa dikonsumsi sebagai lalapan.
2.      Ua : Sebutan khas Sunda untuk kakak dari ayah atau ibu, baik itu laki-laki maupun perempuan.
3.      Dulang : Tempat untuk mengarih nasi khas Sunda berupa wadah berbentuk cekung yang terbuat dari batang kayu.
4.      Tenong : Tempat menyimpan makanan khas Snda terbuat dari anyaman bambu, berbentuk seperti bakul tapi ada penutupnya yang juga terbuat dari anyaman bambu.
5.      Boboko : Tempat nasi dari anyaman bambu.
6.      Aseupan : Wadah berbentuk kerucut terbuat dari anyaman bambu untuk menanak nasi di hawu.
7.      Coet : Cobek (Untuk membuat sambal).
8.      Kuhkuran : Alat untuk memarut kelapa.
9.      Lisung : Lesung, alat untuk menumbuk beras yang terbuat dari batu.
10.  Kue Saptu : Kue tradisional khas Sunda terbuat dari campuran tepung ketan dan gula.
11.  Mama : Panggilan hormat untuk orang (lelaki) yang dituakan dan dihormati.
12.  Emak : Panggilan untuk wanita yang sudah tua.
13.  Nyai : Panggilan untuk anak perempuan Sunda.
14.  “Nyai kantos nyobian daging onta?” : “Nyai pernah mencoba daging unta?”
15.  “Ieu teh daging onta,” : “Ini adalah daging unta.”
16.  Susumputan : Petak Umpet.
17.  Kucing-kucingan : Kejar-kejaran (Seorang menjadi kucing dan yang lainnya mengejar).
18.  Bebentengan : Benteng-bentengan, permainan tradisional mempertahankan benteng dari lawan.
19.  Sondah : Permainan tradisional melompati tanah yang telah diberi garis.
20.  Jojodog : Dingklik, tempat duduk terbuat dari kayu, biasanya untuk duduk di depan perapian.
21.  Hawu : Tungku, perapian.
22.  “Urang ninyuh kopi.”: “Kita seduh kopi.”
23.  “Keur Nyai mah kudu amis,” : “Untuk Nyai harus manis.”


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Menjelang Siang di Pematang

Oleh : Noer Milansyah

Berjalan seperti biasa di pematang sawah, bertelanjang kaki, bersentuhan dengan embun sisa semalam, berkenalan dengan keong-keong yang baru bangun, atau sekedar menyapa padi-padi yang belum akan menguning. Itulah pagi ku setiap hari. Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, memanjakan paru-paru yang biasanya dipenuhi asap rokok.

Semalam Wak Marja berkata kepadaku kalau sawah milik kami di ujung desa itu sudah hampir seminggu kekurangan air. Bukan karena sekarang musim kemarau atau memang sedang susah air, tapi karena air selalu mengalir lebih banyak ke sawah-sawah milik Juragan Arga. Iparnya Pak Lurah yang memiliki hampir seluruh sawah di desa ini. sawah peninggalan orang tuaku dan Uwakku ku sendiri pun hanya tiga kotakan kecil saja. Tetapi kami sangat bergantung pada sawah-sawah itu. Sistem pengairan sawah di desa kami menggunakan sistem buka tutup seperti biasanya. Air akan dialirkan secara bergiliran ke sawah-sawah di desa kami. Sumber air utamanya yaitu dari sungai desa kami. Dan setiap minggu warga akan  bergotong royong memastikan aliran air itu tidak terhambat.

Pagi ini pun tujuanku sama, akan memastikan aliran air ke sawah kami mengalir dengan lancar. Ketika sampai di petakan sawah milih Mang Jatma, aku berhenti sejenak. Kuperhatikan Mang Jatma beserta beberapa warga lainnya sedang berkumpul. Sepertinya sedang membincangkan sesuatu yang serius. Terlihat dari gerak tubuh dan mimik muka mereka.

“Itu dia Surya baru datang,” kata salah seorang dari mereka. Aku berjalan mendekat. “Ada apa Mang?”, tanyaku pada orang yang memanggil namaku tadi. “ini Sur, masa dari semalam sawah-sawah kita tidak kebagian air sama sekali? Sawah Uwak mu juga kering Sur. Kau belum melihatnya ya?”, Mang jatma menyambung suara. “Yang betul Mang?” jawabku cukup kaget dengan berita itu.” Awalnya kukira yang dimaksud Wak Marja dengan kekurangan air itu hanya aliran airnya saja yang kecil. Bukan tidak ada air sama sekali. “kita harus laporkan ke pak lurah,” kata salah seorang warga. “Dari dulu juga kita laporan terus, tapi mana hasilnya?” Yang lain terdiam. “Lurah Sasmita dan Juragn Arga itu kan setali tiga uang.” Sambung yang lain. “Langsung lapor pada pak camat saja,” celetuk seseorang. “Mana bisa begitu, nanti Pak Camat malah menuding kita tidak tahu  birokrasi, sebelum camat itu kan  ada perangkat desa lainnya. Kita harus ikut prosedur, lapor pak RT dulu, lalu nanti terserah pak RT mau lapor langsung ke Pak Lurah atau Pak Camat.” Kata Mang Jatma. “Ya tentu saja ke  pak lurah, bisa mengamuk lurah kita kalau tahu dilangkahi seperti itu. Seperti tidak kenal Lurah Sasmita saja kau ini.” sambung yang lainnya. “Lantas kita harus bagaimana sekarang?”,orang yang menyapaku tadi menarik nafas panjang.
****

Aku termenung. Di jaman yang telah modern seperti ini, ternyata di desa yang jauh dari keramaian kota ini masih ada praktik-praktik seperti ini. Praktik yang hanya kudegar dari cerita orang-orang tua jaman dulu tentang tuan tanah yang semena-mena. Atau hanya kulihat dari film-film india atau film jaman dulu saja. Ternyata praktik seperti itu tejadi pula di sini. Di desaku. Tak seorang pun yang berani menentang juragan Arga. Sangat jelas sekali terlihat kuasa uang sangat berperan di sini. Juragan Arga mampu membayar siapa pun yang bisa memenuhi keinginannya. Termasuk membelokkan aliran air ke sawah miliknya sendiri. Dan kalau pun urusan ini dibawa sampai ke kecamatan, maka akan selesailah urusan itu tanpa penyelesaian yang jelas. Lagi-lagi itu karena pengaruh uang. Dan warga yang tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa menerima nasib hanya dengan  kebagian air dalam jumlah yang sedikit. Belum lagi, nanti hasil panen mereka harus dijual ke juragan Arga dengan harga yang sudah ditetapkan. Warga tidak bisa menawar, karena akses untuk pembeli dari luar desa ditutup oleh pak lurah. Pak lurah menghimbau seluruh warga supaya menjual hasil-hasil kebun mereka hanya kepada juragan Arga, dengan alasan, warga tidak perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk membawa hasil panen mereka keluar desa yang tentu saja akan memakan biaya yang banyak.

Sekali lagi aku hanya bisa termenung. Aku yang lulusan perguruan tinggi dan seorang sarjana pun tak bisa berbuat banyak. Ini desa terpencil, jauh dari segala macam fasilitas. Untuk ke kota kecamatan pun harus menempuh perjalann panjang dengan medan yang sukar ditaklukkan.

Siang itu, kami sepakat, bahwa nanti malam akan mengadakan rapat di rumah Wak Marja mengenai hal ini. Dan sore ini, aku sedang duduk di teras rumah bersama Uwakku yang telah sepuh itu.

“Sur, hidup itu kadang tidak selalu sesuai harapan kita. Tidak seharmonis hubungan air dengan tanah, dengan udara, dengan tumbuhan dan batu-batuan. Manusia itu memiliki hubungan yang rumit. Kadang tidak dapat dipahami secara nalar. Begitulah…” katanya sambil menghisap rokok tembakau yang dilinting dengan menggunakan daun kawung itu dalam-dalam. Aku pun ikut mengambil satu lintingan, dan menyulutnya dengan geretan tua miliki Uwak. “Wak, tadi siang warga mengeluhkan kelakuan juragan Arga lagi”. Uwak hanya menerawang. “Dulu sekali, waktu kau masih berusia sekitar tiga tahunan, anak lelaki juragan Arga yang sekarang kuliah di kota itu lahir sebagai kebanggaan keluarga. Perayaannya pun tiga hari-tiga malam. Juragan Arga nanggap wayang golek. Dalangnya dalang kondang dari Bandung. Juragan Arga percaya, menanggap wayang akan memberikan berkah pada hasil pertaniannya. Semenjak itu, uang juragan Arga semakin banyak. Mungkin pengaruh kelahiran anak yang sangat dinanti-nantikannya itu. Sawahnya semakin bertambah, dan adik perempuannya kemudian dinikahkan dengan lurah yang sekarang. Lurah yang sekarang itu tak tergantikan sejak dua puluh tahun lalu Sur.. Lurah Sasmita itu bukan hanya iparnya juragan Arga, tapi juga masih ada hubungan pertalian darah dengannya. Walau pun sangat jauh. Dan juragan Arga sengaja menjadikannya lurah karena saudar-saudaranya yang lain tidak ada yang lelaki. Maka pernikahan dengan adiknyalah itu yang kata orang untuk menyiasati supaya juragan Arga tetap berkuasa tanpa harus menjadi lurah.” Wak Marja menjelaskan sambil tetap menghisap rokoknya. “kenapa tak dilakukan pemilihan ulang?” Tanyaku. “Sudah sering, tapi yang menang tetap saja lurah yang sekarang.” Uwak menghela nafas panjang.“Apakah pemilihannya adil?” aku masih tak mengerti.“Sangat adil. Warga sendiri yang memilih,” Sambungnya kembali.“Kenapa warga memilihnya?”, aku masih tak paham. “Karena dia calon tunggal. Pernah dua kali ada yang mencalonkan beberapa orang. Tetapi entah dengan cara apa, calon-calon yang lain itu beserta para pendukungnya, selalu mendapat hambatan. Pernah pak guru Solihin didesak warga untuk mencalonkan diri, tetapi keesokan harinya, sawah Pak Solihin yang dua tiga hari lagi akan dipanen itu rusak berat. Entah siapa yang merusaknya. Sampai sekarang tak terungkap. Tapi warga sudah sama-sama tahu, itulah akibatnya kalau menentang Lurah Sasmita dan Juragan Arga. Konon, kata kakek buyutmu, desa ini turun-temurun dikuasai oleh keluarga juragan Arga. Dan kudengar, anak lelakinya yang kuliah di kota itu, sedang dipersiapkannya pula untuk menjadi Lurah menggantikan Lurah yang sekarang,” Wak Marja mengakhiri penjelasannya sambil menggelar tikar untuk kumpulan warga malam ini.

Aku masih tak beranjak, kuraih kembali lintingan daun kawung dan kuhisap dalam-dalam. Aku tak habis pikir, kenapa masih ada hal-hal semacam ini di zaman yang sudah serba canggih ini. Tapi mungkin betul kata Uwak, hubungan antar manusia itu terampau rumit untuk dipahami. Ataukah hanya pemikiran sebagian orang saja yang rumit? Setahuku, warga disini hanya memiliki keinginan sederhana, ingin sawah-sawahnya mendapat aliran air yang cukup. Sederhana. Tapi ah..biarlah nanti orang-orang tua di desa ini membahasnya bersama Wak Marja. Aku tak terlalu paham. Tak mengerti pula ambisi juragan Arga untuk terus beruasa di desa ini. yang kutahu..anak nya yang kata Uwak dipersiapkan untuk menjadi lurah itu, sekarng pasti sedang membolos kuliah dan malah nongkrong di night club bersama teman-temannya. Bahkan aku tahu kuliahnya tak lulus dua semester. Kerjanya hanya menghambur-hamburkan uang yang dikirim ayahnya dari hasil sawah dan kebun yang meyusahkan wargan disini. Aku tahu, karena aku tinggal tak jauh dari kos san nya. teman-temannya disana mengenalnya sebagai anak kampung dengan bapak yang kaya. Kadang teman-temannya kurasa hanya memanfaatkan uangnya saja. sangat ironis, di sini ayahnya mati-matian mendapatkan hasil panen yang melimpah, bahkan dengan cara mencurangi warga hanya untuk membiayai seorang anak lelaki kebanggaannya yang sekarang mungkin sedang teler di night club. Aku hanya bisa tersenyum sinis. Kubuang puntung daun kawung, dan segera beranjak ke dalam. Akan kubantu Uwak menyiapkan kopi untuk pertemuan malam ini.

                                                                                                                                                                                               
Sudut Jendela
28-11-2014
08:44

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.