Rabu, 01 Agustus 2018

Kali Pertama Aku Membunuh

Aku bermimpi membunuh seseorang. Jasadnya aku masukkan ke dalam drum besar kemudian kurendam dengan cairan kimia. Kubiarkan selama tiga hari dan setelahnya isi drum itu berubah menjadi cairan berbau busuk dan berwarna hitam kemerahan. Seperti warna basi berkarat bercampur tanah liat. Aku punya pilihan menghanyutkan drum itu ke lautan atau menumpahkan isinya ke dalam jurang. Aku memilih yang kedua. Kutuang isinya ke jurang, dan kucuci drumnya lantas kujual ke tukang rongsokan. Biar didaur ulang, biar hilang dosa-dosa yang melekat di dindingnya. Aku muak dengan dosa!
Aku amat membenci orang itu. Semasa hidup dia terlampau dalam membuat luka di batinku. Aku sama sekali tak ingat apa yang telah dia lakukan. Aku hilang ingatan. Hanya saja..setiap menatap matanya...aku merasakan kebencian yang amat sangat. Mata lembut itu seperti mata kucing besar di tengah belantara yang sedang mengincar mangsa. Aku merasa dia dulu amat dekat denganku. Entah sedekat apa. Aku benar benar hilang ingatan. Aku hanya merasakan kebencian yang amat sangat setiap bertatapan dengan mata itu.

Entah mengapa aku membunuhnya. Kata orang dia pernah amat sangat menyintaiku. Tapi..iya kah? Cinta seperti apa? Aku sama sekali tak mengingatnya. Aku hanya merasakan kebencian teramat dalam ketika menatap matanya. Mata lembutnya..entah kenapa...

Semenjak aku memasukkan jasadnya ke dalam drum dan merendamnya dengan cairan kimia, aku merasa seperti telah melepaskan beban berat untuk sebuah beban baru yang lebih berat. Dulu aku menanggung kebencian..sekarang menanggung kesedihan. Kesedihan yang juga tak kumengerti. Sama seperti kebencian yang tak kumengerti setiap kali bertatapan dengan matanya.

"Untung dia hilang ingatan," seseorang berkata di balik punggungku. Aku mendengar mereka berbisik bisik mengenai aku dan pria yang jasadnya kumasukkan ke dalam drum itu. "Jikalau tidak, aku yakin dia akan gantung diri tak kuat menanggung beban itu." Orang orang terus bicara di balik punggungku, dan aku terus bertanya tanya, "Siapa orang itu?"

Aku membunuhnya dengan tenang. Bahkan sambil tersenyum. Kuberikan dia secangkir kopi di ambang jendela yang berkabut. Cara paling romantis untuk mati. Aku menatap matanya yang selalu membuatku merasakan membenci. Aku tak salah ingat, aku tersenyum padanya..menikmati saat-saat kopi itu merenggut nyawanya dan cangkir putih berukir bunga cempaka itu terjatuh hancur menimpa lantai. Ya, aku tersenyum. Meski aku tahu aku sama sekali tidak sedang merasa gembira. Aku bahkan tak merasakan apa apa. Aku hanya ingin tersenyum.
Dia, pria yang jasadnya kumasukkan ke dalam drum, sesaat sebelum matanya yang terbeliak menahan sakit itu terpejam, sempat kulihat berkaca kaca. Entah mengapa..saat itu aku tak lagi membencinya. Aku hanya merasa dingin. Hatiku terasa dingin. Ya...dingin...aku sungguh tak merasakan apa apa...
***

Ruangbisu
030817

Memelihara Kucing

Saya sudah memutuskan mau memelihara kucing saja. Bukan kucing anggora atau kucing hias lainnya yang selalu sengaja saya lihat-lihat di pasar hewan dekat jalan menuju kantor, tapi kucing kampung berwarna kuning yang selalu datang ke belakang rumah setiap pagi dan sore. Entah dari mana asalnya, tapi kucing itu selalu datang dari arah kebun di belakang rumah. Saya butuh kucing, setidaknya untuk mengganti kura-kura yang mati beberapa waktu lalu. Tapi tak seperti kura-kura, kucing kampung bukan hewan pendiam yang bisa dielus atau digendong, dia lebih suka melompat-lompat atau mengejar anak ayam yang baru keluar kandang. Tapi tak apalah, setidaknya dia masih bisa diajak bicara sesekali. Menemani minum kopi atau menungguiku makan dengan alasan sederhana, menunggu sisa ikan! Kemudian kami akan sama-sama saling membutuhkan, saya butuh ditemani makan, dia butuh sisa ikan. Hubungan paling rasional antara sesama makhluk Tuhan, bukan?

Dan sebagai hewan peliharaan baru, dia pun perlu diberi nama juga. Sudah saya timbang-timbang beberapa nama pilihan, tak jadi saya menamainya si Joni, karena terlalu tak cocok dengan wajah polosnya yang lucu setiap kali dia menatapku. Dan karena kebingungan mencari nama, ujung-ujungnya saya panggil juga dia si Pussi.

Si Pussi sedari pagi telah mengeong-ngeong di balik jendela. Biasanya sebelum resmi jadi peliharaan dia suka menunggu saya membuka jendela dan duduk manis di tembok rumah sebelah sambil melihat ayam lewat. Dia tahu kebiasaan saya minum kopi di ambang jendela sambil mengunyah sesuatu. Tak peduli apa yang saya makan, dia selalu memungut apapun yang saya lemparkan. Sesekali saya tertawa melihat tingkahnya ketika melompat-lompat atau mengejar anak-anak ayam. Dan kalau sedang tak ada orang, dia akan jadi pendengar setia setiap saya bercerita. Mulai sekarang dia yang akan mendengarkan saya bercerita tentang pekerjaan, tentang laporan, tentang orang-orang, tentang apa saja yang dimakan, tentang kemana saja saya pergi seharian, tentang anak-anak di sekolah yang kadang menjengkelkan, tentang ban sepeda motor saya yang lagi-lagi ditambal, tentang laut disini yang sedang pasang, tentang puisi yang baru saya tulis, tentang cita-cita, tentang mimpi-mimpi...tentang semuanya...
***
Kadang saya berpikir, betapa manusia itu makhluk yang paling takut sendirian. Sampai-sampai mereka butuh kucing atau sekedar tanaman kecil dalam pot. Sesuatu yang menyimbolkan kehidupan. Semua yang hidup, butuh sesuatu yang hidup lainnya. Itulah mungkin, memelihara hewan ataupun menanam sesuatu menjadi semacam kebutuhan bagi sebagian orang. Saya suka dan senang melihat makhluk hidup. Apapun. Manusia, hewan, tumbuhan.. semuanya membawa kegembiraan tersendiri. Saya paling senang melihat anak-anak. Selama 14 tahun terakhir, hari-hari saya dihabiskan bersama mereka. Percayalah, apabila kau orang yang menghabiskan banyak waktu bersama anak-anak, maka kau adalah orang paling bahagia di dunia. Mereka melatihmu untuk sabar, melatihmu untuk mendengar ocehan, teriakan, makian, rajukan, rayuan, tangisan.. Betapa anak-anak adalah miniatur manusia itu sendiri. Manusia mana yang tak kekanak-kanakan? Mereka kadang-kadang berteman, sebentar kemudian bermusuhan, sebentar tersenyum, sebentar saling memajukan mulut. Kadang saling memberi, tak jarang saling merebut. Tapi tahukah apa yang  membedakan anak-anak dengan manusia dewasa? Anak-anak akan cepat berbaikan, berpelukan, bersalaman, saling tersenyum kembali, bermain bersama lagi, dan saling menyayangi kembali. Sedang apa yang dilakukan orang dewasa? Mereka dengan angkuh berkata, "Kita tidak akan bertemu kembali!", "Aku membencimu seumur hidupku!", "Jangan pernah menampakkan diri di hadapan mukaku lagi!", "Akan kubalas perlakuanmu dengan yang lebih dari ini!" mereka mendahului ketetapan Tuhan dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah dijaga. Jika sudah demikian, lantas siapa sebetulnya yang patut disebut anak-anak?
***

Jelaga
310718

Obrolan di Warung Kopi

Suatu malam tiba-tiba saya duduk di sebuah warung kopi pinggir jalan. Tanpa disengaja ada seseorang yang dikenal menghampiri. "Sedang apa disini?" Saya cuma senyum karena tak usah dijawab pun dia tahu saya sedang menunggu pesanan kopi. Akhirnya kopi yang dipesan pun datang. "Masih kopi yang sama juga dengan dulu?" Lagi-lagi saya cuma tersenyum. Malas sebetulnya meladeni obrolannya. Tadi pergi sendiri pun berniat ingin duduk-duduk sendirian saja sambil menghirup udara kering awal Agustus di tengah kota Sukabumi. "Apa kabarmu sekarang?" Tanyanya kembali. Saya cuma mengangkat bahu sambil tersenyum kecut yang mungkin dia artikan sebagai senyum sinis. Buktinya setelah itu dia malah menyeringai dan mulai lagi dengan ocehannya mengenai "Dunia yang dipenuhi manusia-manusia serigala." Dan sebelum dia mulai menceramahi saya perihal betapa bobroknya dunia yang sedang kami tempati ini, saya mendahuluinya berbicara, "Saya sedang tak ingin berdebat soal apapun." Giliran dia yang mengangkat bahu dan mulai mengeluarkan rokok kreteknya. Lama kami terdiam sampai kemudian dia berkata, "Konon katanya efek endorphin bisa sampai tiga ratus kali lebih dahsyat dari morphin." Dia mengisap rokoknya perlahan dan melanjutkan perkataannya, "Jadi daripada kau tidur berhari-hari, lebih baik kau pergi nonton komedi!" Saya meliriknya sepintas untuk kemudian menyeruput kopi di gelas sedikit demi sedikit. "Apa kau tahu, kepalamu itu sesekali mesti terbentur, tak sadarkan diri, dan setelah terbangun otakmu akan sedikit beres." Saya tak menggubris ocehannya dengan terus bermain-main dengan sendok di gelas kopi.

Malam semakin ramai. Lalu lalang kendaraan dan hilir mudik orang-orang terlihat bagai tayangan slow motion sebuah film. Udara mulai terasa dingin. Saya semakin merapatkan jaket yang dipakai. Belakangan kulit terasa semakin sensitif saja, tak boleh kena dingin sedikt, langsung berubah merah dan kering. Agustus kesekian, dan masih dengan udara yang kering. Gelak tawa di meja seberang, riuh rendah percakapan di tenda-tenda makanan sebelah memberitahukan bahwa orang-orang mencari hiburan di tengah penatnya aktivitas mencari nafkah di siang hari. Bahagianya mereka karena hanya bekerja sebatas pagi sampai siang atau pun sore. Sedang saya, malam-malam begini masih harus ada di luar rumah dan berkutat dengan pekerjaan. Bukan maksud hati mendewakan yang tak semestinya, tapi mau bagaimana lagi? Hidup terkadang harus terjebak dalam lingkaran mau tidak mau dan apa boleh buat. Satu-satunya cara membuat semua terasa ringan dan menyenangkan adalah menerima apapun yang kita dapat, menyukainya, dan akhirnya apapun itu akan kita syukuri habis-habisan. Begitulah terkadang cara Tuhan mengajarkan manusia tentang hidup dan kehidupan. Ini bukan melulu soal apa yang kita suka dan tidak kita suka. Sesungguhnya ini hanya soal otakmu dipakai dengan cara apa dan hatimu digunakan untuk merasa apa. Maka otak dan hati inilah yang memutuskan menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Bukan sesuatunya, bukan objeknya. Maka apabila kita tidak mendapatkan apa yang kita sukai, perihal pekerjaan misalnya, maka bilanglah pada hati dan otak untuk menyukai saja apa yang kita dapat.

Malam semakin larut, gelas kopi telah kosong. Kawan saya tadi telah mengisap lagi rokoknya yang entah keberapa batang. "Apa perlu kupukulkan kepalamu?" Katanya sambil tertawa. Mau tak mau saya tersenyum juga. "Ya..tolong pukul belakang kepalaku biar ingat bumi itu bulat!"
***

Malamkesekian
010818

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.