Oleh :Noer Milansyah
Aku adalah
lelaki itu. Lelaki yang sama yang telah menyakitinya ribuan tahun lalu. Hari
ini aku kembali, kembali untuk kembali menyakiti hatinya dan mengoyak-ngoyak
perasaanya. Tapi entahlah..aku tak
mengerti jalan pikirannya, setiap kali kedatanganku, dia selalu menyambutku
dengan senyum terindah yang pernah kulihat. Bola matanya selalu berbinar terang
dan lengkung di bibirnya tak pernah menjadi lurus setiap kali dia menatapku..
entahlah..sekali lagi aku jadi bingung dan membiarkan hatiku bertanya-tanya, “benarkah
wanita ini yang telah tega kusakiti?” seperti halnya hari ini, aku datang,
dengan tak pernah membawa kebahagiaan. Tapi tak pernah sedikit pun kutemukan
kesedihan di raut wajahnya. Dia, membukakan pintu, tersenyum seperti biasanya,
dan membiarkanku masuk seakan tak pernah terjadi apa-apa. Di sini, hatiku mulai
bertanya-tanya lagi, “Siapakah sebenarnya yang pecundang? Dia atau aku?”
ah..tentu saja bukan dia. Tak ada pecundang yang membukakan pintu bagi rival
nya dengan tersenyum.
***
Secangkir teh
hangat menemani kebersamaan kami sore itu. Dia, wanitaku itu sedang duduk di
sampingku dengan tatapan kosong matanya. Setelah sekian lama, ternyata sifatnya
tak berubah. Lima tahun setelah kami mengikat janji, dan bersumpah untuk setia
sebagai suami istri, hanya dia yang menepati janjinya untuk tetap setia. Sedangkan aku? Kata setia sepertinya
tidak pernah ada dalam kamus hidupku. Setia bagiku hanyalah sebuah omong kosong
dan sederajat dengan mitos tentang hantu sandekala untuk menakut-nakuti anak
kecil yang keasyikan bermain dan lupa pulang walau hari telah gelap. Tapi
tampaknya tidak begitu bagi dia.
Wanitaku itu. Setia sepertinya telah jadi kata-kata keramat yang pantang
untuk dilanggar, sehingga tak sedikit pun dia berani menghilangkan kata itu
dari benaknya. Pernah suatu kali dia berkata kepadaku, bahwa tak ada cita-cita
yang paling agung bagi seorang wanita selain menjadi istri yang setia. Aku
tersenyum mendengarnya. Berbangga hati
karena memiliki seorang istri yang begitu menjunjung tinggi arti sebuah
pernikahan. Mungkin, akan ada yang bertanya, bagaimana dengan cinta? Ah..jangan
tanyakan lagi soal cinta padanya. Tak sedetik pun dalam hidupnya yang dia
lewatkan tanpa berkata “aku cinta padamu”. Dan aku, tentu saja aku juga
mencintainya.
***
Tapi aku adalah
laki-laki. makhluk tuhan yang diciptakan terlebih dahulu dari perempuan.
Sedangkan perempuan, perempuan hanya diciptakan dari tulang rusukku. Sekali
lagi kutegaskan, aku laki-laki! walau tak ada yang menyangkal kelaki-lakianku,
tetap akan kutegaskan lagi, aku adalah laki-laki! camkan itu! Supaya semuanya
paham apa yang akan kuutarakan selanjutnya.
***
Perihal cintaku
pada wanitaku itu, tak pernah kusangkal. Aku memang menyintainya. Bahkan sangat
menyintainya. Tapi bukankah setia dan tidak setia tidak ada hubunganya dengan cinta
dan tidak cinta? Itu adalah dua hal yang berbeda. Dan aku sedang jatuh cinta.
Tentu tak ada yang salah dengan jatuh cinta. Siapa orang yang bisa melarang
jatuh cinta? Presiden atau ketua PBB sekali pun tak ada yang bisa mencegah
ketika cinta datang dengan tiba-tiba. Itu pulalah yang terjadi padaku. Aku
jatuh cinta kembali. Bukan kepada wanitaku itu. Bukan. Tapi kepada seorang
wanita yang selalu memakai blazer merah marun di kantorku. Kami kenal telah
lama, selama aku bekerja di kantor itu. Tapi begitulah mungkin cinta, datang
tak diundang, pergi pun mungkin nanti tanpa permisi. Sampai sejauh ini kukira
ini tak jadi masalah. Urusan hati..siapa yang bisa mengintervensi? Tapi rupanya
cintaku kepadanya semakin menjadi-jadi. Apalagi ketika gayung bersambut.
Rupanya dia juga menaruh hati padaku. Tentu bisa disimpulkan apa yang terjadi
selanjutnya ketika dua orang yang saling jatuh cinta bertemu. Ya..kami pun
berlaku selayaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Kemana – mana bersama.
Bahkan jam kerja pun rela tersita demi sebuah pertemuan pelepas rindu.
***
wanitaku itu
rupanya mencium aroma tidak sedap dariku. Dalam hal ini kuakui kalau wanita
adalah makhluk paling sensitive dan paling berperasaan. Mereka kadang bisa
berlaku selaku polisi atau anjing pelacak. Bagaimana tidak, hubunganku dengan
kekasih gelapku di kantor sudah kututupi serapat mungkin. Tak ada yang tahu,
termasuk teman-temanku. Tak ada seorang pun yang tahu. Tapi rupanya naluri
perempuan tak pernah bisa dibohongi. Entah dengan cara seperti apa, kurasa dia
tahu apa yang kulakukan di belakangnya. Tapi anehnya, tak terlontar pertanyaan
itu. Pertanyaan yang kutunggu-tunggu dan telah kusiapkan jawabanya jauh-jauh
hari sesiap seperti akan menghadapi presentasi di kantor. Tapi, hari demi
hari..tak pernah terlontar tanya itu. “Apakah kamu selingkuh?”. Sama sekali tak
pernah kudengar.
***
“Makan malam
sudah siap Mas”, katanya membuyarkan lamunanku. Kulihat wajahnya tampak sedikit
lelah. Dia mengenakan T-shirt putih dan celana baggy berwarna cream. Harus
kuakui, dia cantik. Bahkan di usianya yang tak lagi muda. Aku hanya tersenyum,
tak berkata apa-apa. Malam itu kami makan dalam diam. Kebisuan yang terasa
mencekam. Tak biasanya dia sehening ini. Anak lelaki kami satu-satunya sedang
mengikuti acara perkemahan di sekolah. Minggu siang dia baru akan pulang.
Kuperhatikan dia mengunyah makanan pelan. Wajahnya menatap kosong pada makanan
yang ada di piring. Aku jadi ragu untuk membuka pembicaraan. Siang tadi, Tari
mendesakku lagi untuk segera menikahinya. Hubungan tanpa kejelasan yang telah
berlangsung hampir dua tahun itu rupanya tak lagi membuatnya nyaman. Dia mulai
bertingkah aneh. Setiap siang selama sebulan ini terus menerus membahas
pernikahan. Dia meyakinkanku betapa pernikahanku selama ini tidak bahagia,
bahwa istriku telah menjelma menjadi sosok yang membosankan dan rumah telah
seperti sarang nyamuk buatku. Dia juga
meyakinkanku bahwa kehidupan tanpa istriku di sampingku akan lebih
menyenangkan. Apalagi kalau kami telah menikah nanti. Dia sangat yakin
kehidupan kami akan jauh berbeda dari kehidupanku dan istriku sekarang. Tari
seorang wanita yang enerjik, ceria, dan berselera humor tinggi. Dia juga punya
selera tinggi dalam berpenampilan. Lelaki mana yang tak jatuh hati padanya. Tapi
toh Tari malah memilih diriku di antara pria-pria yang mengelilinginya. Lebih
memilih pria beristri dengan seorang anak belasan tahun. Dan tentu saja,
sebagai lelaki aku bangga. Diinginkan seorang wanita muda yang cantik dan
cerdas. Tak semua pria seberuntung aku.
***
Tiba-tiba aku
berada di sini, di pusat perbelanjaan sedang memilih sweater dan jaket untukku
dan Tari. Tari bersikeras ingin membeli sweater yang senada denganku untuk
musim hujan kali ini. katanya, sekali-kali kami harus mengikuti gaya anak muda yang
selalu menyerasikan pakaian mereka dengan pasangannya. “Coba lihat yang ini..!”,
pekik Tari sambil meraih sweater rajut berwarna coklat muda. “ini
cocok buat kita. Warnanya lembut, sesuai untukku dan untukmu Mas,” katanya
dengan senang. “Terserah kamu sajalah”, jawabku singkat. Akhirnya sepasang
sweater berwarna coklat muda itu telah berada dalam kantong belanjaan di tangan
Tari. Sebetulnya aku tak terlalu suka warna itu. Bagiku coklat lebih mirip
warna tanah. Tapi tak apalah, asal Tari senang, aku pun senang. Sore itu aku
habiskan untuk berjalan-jalan dengan Tari. Makan dan tentu saja
bersenang-senang. Menjelang magrib, kuraih ponselku. “Aneh,” pikirku. “Tak ada
sms dari dia.” Biasanya tak terlewat sehari pun dia berkirim pesan padaku.
entah itu menanyakan sudah makan atau belum, sekedar menyapa, atau berkata I
love you. Tapi hari ini, sama sekali tak ada pesan dari dia.
Niatku untuk
mengutarakan keinginan bercerai dengannya tak pernah terlontar. Sementara Tari
terus mendesak. Bahkan siang tadi dia sudah memberi ultimatum. Tak boleh lewat
dari bulan ini, aku harus sudah mengutarakan keinginanku untuk bercerai. Tari
tidak mau mendengar alasan apapun dariku. Aku memang tak lagi merasakan cinta
yang menggebu-gebu pada wanitaku itu. Bahkan akhir-akhir ini aku malah yakin
kalau aku tak lagi menyintainya seperti dulu. Dia terlalu membosankan sekarang.
Tak lagi semenarik dulu. Dia lebih memerhatikan anak kami satu-satunya
dibandingkan memanjakanku seperti dulu lagi. Selain itu, dia…ah entahlah,
pokoknya aku yakin aku harus berpisah dengannya. Dan pagi ini, sudah kubulatkan
tekad. Akan kukatakan niatku itu ketika kami sedang makan pagi di meja makan.
Baru saja aku akan membuka mulut, dia sudah mendahuluiku berbicara. “Mas, siang
ini aku mau pergi sebentar, ada perlu.” katanya datar. “Mau kemana?”, tanyaku
kemudian. “Ke rumah teman.” Dan dia buru-buru menyudahi makan pagi nya. Urung
lagi lah niatku untuk mengutarakannya. Kupikir, nanti malam saja aku akan mengutarakannya.
***
Aku tiba di
rumah pukul delapan malam. Dia menyambutku dengan senyum di ambang pintu.
Membawakan tasku, dan mengatakan bahwa anak lelaki kami sedang belajar kelompok
di rumah temannya. Kami makan malam hanya berdua saja. “Aku memasak makanan
kesukaanmu mas,” katanya. Dan benar saja, tersaji banyak makanan di meja makan dan
makan malam kali itu terasa nikmat sekali.
“Mas, aku tidur
duluan, hari ini aku lelah sekali”, katanya sambil berlalu ke arah kamar.
Aku belum
beranjak ke tempat tidur. Ada pertandingan bola di TV. Dua jam kemudian aku
merasa mengantuk. Aku memutuskan untuk tidur, dan ketika aku akan mematikan
lampu duduk di atas meja kerjaku, kulihat sebuah bungkusan berwarna biru. Kudekati,
ternyata sebuah kotak besar terbungkus kertas biru muda berkilauan. Di atasnya
ada pita berwarna senada. Kuperhatikan. Mungkin itu kado istriku untuk
pernikahan temannya. Tapi tiba-tiba pandanganku berhenti sejenak pada sebuah
kertas di atas nya. Kubuka, dan kubaca. “Selamat hari ulang tahun pernikahan
kita Mas. Tak terasa sudah dua belas tahun. Aku menyintaimu seperti dua belas
tahun lalu.”
***
Aku menarik
nafas panjang, kemudian kubuka kotak itu. Tiba-tiba nafasku tercekat. Sebuah
sweater berwarna abu-abu terlipat manis di sana. Sweater yang kemarin sore aku
lihat tergantung di deretan paling atas toko baju ketika aku membeli sweater
bersama Tari. Sweater yang sebetulnya lebih kuinginkan daripada sweater coklat
muda yang dibeli tari. Aku terduduk lemas. Kupandangi sweater itu, kemudian
memandangi wajah istriku yang terlelap ditempat tidur. Dia memilh sweater
dengan warna yang sama seperti keinginanku. Dia memilih warna abu-abu, sama denganku. Dan
sesaat, aku tersadar, apa alasanku menyintai wanita ini…
***
Pojok Kamar
September, 2006