Minggu, 12 April 2015

Antara Aku dan Istriku



 Oleh :Noer Milansyah

Aku adalah lelaki itu. Lelaki yang sama yang telah menyakitinya ribuan tahun lalu. Hari ini aku kembali, kembali untuk kembali menyakiti hatinya dan mengoyak-ngoyak perasaanya.  Tapi entahlah..aku tak mengerti jalan pikirannya, setiap kali kedatanganku, dia selalu menyambutku dengan senyum terindah yang pernah kulihat. Bola matanya selalu berbinar terang dan lengkung di bibirnya tak pernah menjadi lurus setiap kali dia menatapku.. entahlah..sekali lagi aku jadi bingung dan membiarkan hatiku bertanya-tanya, “benarkah wanita ini yang telah tega kusakiti?” seperti halnya hari ini, aku datang, dengan tak pernah membawa kebahagiaan. Tapi tak pernah sedikit pun kutemukan kesedihan di raut wajahnya. Dia, membukakan pintu, tersenyum seperti biasanya, dan membiarkanku masuk seakan tak pernah terjadi apa-apa. Di sini, hatiku mulai bertanya-tanya lagi, “Siapakah sebenarnya yang pecundang? Dia atau aku?” ah..tentu saja bukan dia. Tak ada pecundang yang membukakan pintu bagi rival nya dengan tersenyum.
***
Secangkir teh hangat menemani kebersamaan kami sore itu. Dia, wanitaku itu sedang duduk di sampingku dengan tatapan kosong matanya. Setelah sekian lama, ternyata sifatnya tak berubah. Lima tahun setelah kami mengikat janji, dan bersumpah untuk setia sebagai suami istri, hanya dia yang menepati janjinya untuk tetap  setia. Sedangkan aku? Kata setia sepertinya tidak pernah ada dalam kamus hidupku. Setia bagiku hanyalah sebuah omong kosong dan sederajat dengan mitos tentang hantu sandekala untuk menakut-nakuti anak kecil yang keasyikan bermain dan lupa pulang walau hari telah gelap. Tapi tampaknya tidak begitu bagi dia.  Wanitaku itu. Setia sepertinya telah jadi kata-kata keramat yang pantang untuk dilanggar, sehingga tak sedikit pun dia berani menghilangkan kata itu dari benaknya. Pernah suatu kali dia berkata kepadaku, bahwa tak ada cita-cita yang paling agung bagi seorang wanita selain menjadi istri yang setia. Aku tersenyum mendengarnya.  Berbangga hati karena memiliki seorang istri yang begitu menjunjung tinggi arti sebuah pernikahan. Mungkin, akan ada yang bertanya, bagaimana dengan cinta? Ah..jangan tanyakan lagi soal cinta padanya. Tak sedetik pun dalam hidupnya yang dia lewatkan tanpa berkata “aku cinta padamu”. Dan aku, tentu saja aku juga mencintainya.
***
Tapi aku adalah laki-laki. makhluk tuhan yang diciptakan terlebih dahulu dari perempuan. Sedangkan perempuan, perempuan hanya diciptakan dari tulang rusukku. Sekali lagi kutegaskan, aku laki-laki! walau tak ada yang menyangkal kelaki-lakianku, tetap akan kutegaskan lagi, aku adalah laki-laki! camkan itu! Supaya semuanya paham apa yang akan kuutarakan selanjutnya.
***
Perihal cintaku pada wanitaku itu, tak pernah kusangkal. Aku memang menyintainya. Bahkan sangat menyintainya. Tapi bukankah setia dan tidak setia tidak ada hubunganya dengan cinta dan tidak cinta? Itu adalah dua hal yang berbeda. Dan aku sedang jatuh cinta. Tentu tak ada yang salah dengan jatuh cinta. Siapa orang yang bisa melarang jatuh cinta? Presiden atau ketua PBB sekali pun tak ada yang bisa mencegah ketika cinta datang dengan tiba-tiba. Itu pulalah yang terjadi padaku. Aku jatuh cinta kembali. Bukan kepada wanitaku itu. Bukan. Tapi kepada seorang wanita yang selalu memakai blazer merah marun di kantorku. Kami kenal telah lama, selama aku bekerja di kantor itu. Tapi begitulah mungkin cinta, datang tak diundang, pergi pun mungkin nanti tanpa permisi. Sampai sejauh ini kukira ini tak jadi masalah. Urusan hati..siapa yang bisa mengintervensi? Tapi rupanya cintaku kepadanya semakin menjadi-jadi. Apalagi ketika gayung bersambut. Rupanya dia juga menaruh hati padaku. Tentu bisa disimpulkan apa yang terjadi selanjutnya ketika dua orang yang saling jatuh cinta bertemu. Ya..kami pun berlaku selayaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Kemana – mana bersama. Bahkan jam kerja pun rela tersita demi sebuah pertemuan pelepas rindu.
***
wanitaku itu rupanya mencium aroma tidak sedap dariku. Dalam hal ini kuakui kalau wanita adalah makhluk paling sensitive dan paling berperasaan. Mereka kadang bisa berlaku selaku polisi atau anjing pelacak. Bagaimana tidak, hubunganku dengan kekasih gelapku di kantor sudah kututupi serapat mungkin. Tak ada yang tahu, termasuk teman-temanku. Tak ada seorang pun yang tahu. Tapi rupanya naluri perempuan tak pernah bisa dibohongi. Entah dengan cara seperti apa, kurasa dia tahu apa yang kulakukan di belakangnya. Tapi anehnya, tak terlontar pertanyaan itu. Pertanyaan yang kutunggu-tunggu dan telah kusiapkan jawabanya jauh-jauh hari sesiap seperti akan menghadapi presentasi di kantor. Tapi, hari demi hari..tak pernah terlontar tanya itu. “Apakah kamu selingkuh?”. Sama sekali tak pernah kudengar.
***
“Makan malam sudah siap Mas”, katanya membuyarkan lamunanku. Kulihat wajahnya tampak sedikit lelah. Dia mengenakan T-shirt putih dan celana baggy berwarna cream. Harus kuakui, dia cantik. Bahkan di usianya yang tak lagi muda. Aku hanya tersenyum, tak berkata apa-apa. Malam itu kami makan dalam diam. Kebisuan yang terasa mencekam. Tak biasanya dia sehening ini. Anak lelaki kami satu-satunya sedang mengikuti acara perkemahan di sekolah. Minggu siang dia baru akan pulang. Kuperhatikan dia mengunyah makanan pelan. Wajahnya menatap kosong pada makanan yang ada di piring. Aku jadi ragu untuk membuka pembicaraan. Siang tadi, Tari mendesakku lagi untuk segera menikahinya. Hubungan tanpa kejelasan yang telah berlangsung hampir dua tahun itu rupanya tak lagi membuatnya nyaman. Dia mulai bertingkah aneh. Setiap siang selama sebulan ini terus menerus membahas pernikahan. Dia meyakinkanku betapa pernikahanku selama ini tidak bahagia, bahwa istriku telah menjelma menjadi sosok yang membosankan dan rumah telah seperti sarang nyamuk buatku. Dia  juga meyakinkanku bahwa kehidupan tanpa istriku di sampingku akan lebih menyenangkan. Apalagi kalau kami telah menikah nanti. Dia sangat yakin kehidupan kami akan jauh berbeda dari kehidupanku dan istriku sekarang. Tari seorang wanita yang enerjik, ceria, dan berselera humor tinggi. Dia juga punya selera tinggi dalam berpenampilan. Lelaki mana yang tak jatuh hati padanya. Tapi toh Tari malah memilih diriku di antara pria-pria yang mengelilinginya. Lebih memilih pria beristri dengan seorang anak belasan tahun. Dan tentu saja, sebagai lelaki aku bangga. Diinginkan seorang wanita muda yang cantik dan cerdas. Tak semua pria seberuntung aku.
***
Tiba-tiba aku berada di sini, di pusat perbelanjaan sedang memilih sweater dan jaket untukku dan Tari. Tari bersikeras ingin membeli sweater yang senada denganku untuk musim hujan kali ini. katanya, sekali-kali kami harus mengikuti gaya anak muda yang selalu menyerasikan pakaian mereka dengan pasangannya. “Coba lihat yang ini..!”, pekik Tari sambil meraih sweater rajut berwarna coklat muda.   “ini cocok buat kita. Warnanya lembut, sesuai untukku dan untukmu Mas,” katanya dengan senang. “Terserah kamu sajalah”, jawabku singkat. Akhirnya sepasang sweater berwarna coklat muda itu telah berada dalam kantong belanjaan di tangan Tari. Sebetulnya aku tak terlalu suka warna itu. Bagiku coklat lebih mirip warna tanah. Tapi tak apalah, asal Tari senang, aku pun senang. Sore itu aku habiskan untuk berjalan-jalan dengan Tari. Makan dan tentu saja bersenang-senang. Menjelang magrib, kuraih ponselku. “Aneh,” pikirku. “Tak ada sms dari dia.” Biasanya tak terlewat sehari pun dia berkirim pesan padaku. entah itu menanyakan sudah makan atau belum, sekedar menyapa, atau berkata I love you. Tapi hari ini, sama sekali tak ada pesan dari dia.
Niatku untuk mengutarakan keinginan bercerai dengannya tak pernah terlontar. Sementara Tari terus mendesak. Bahkan siang tadi dia sudah memberi ultimatum. Tak boleh lewat dari bulan ini, aku harus sudah mengutarakan keinginanku untuk bercerai. Tari tidak mau mendengar alasan apapun dariku. Aku memang tak lagi merasakan cinta yang menggebu-gebu pada wanitaku itu. Bahkan akhir-akhir ini aku malah yakin kalau aku tak lagi menyintainya seperti dulu. Dia terlalu membosankan sekarang. Tak lagi semenarik dulu. Dia lebih memerhatikan anak kami satu-satunya dibandingkan memanjakanku seperti dulu lagi. Selain itu, dia…ah entahlah, pokoknya aku yakin aku harus berpisah dengannya. Dan pagi ini, sudah kubulatkan tekad. Akan kukatakan niatku itu ketika kami sedang makan pagi di meja makan. Baru saja aku akan membuka mulut, dia sudah mendahuluiku berbicara. “Mas, siang ini aku mau pergi sebentar, ada perlu.” katanya datar. “Mau kemana?”, tanyaku kemudian. “Ke rumah teman.” Dan dia buru-buru menyudahi makan pagi nya. Urung lagi lah niatku untuk mengutarakannya. Kupikir, nanti malam saja aku akan mengutarakannya.
***
Aku tiba di rumah pukul delapan malam. Dia menyambutku dengan senyum di ambang pintu. Membawakan tasku, dan mengatakan bahwa anak lelaki kami sedang belajar kelompok di rumah temannya. Kami makan malam hanya berdua saja. “Aku memasak makanan kesukaanmu mas,” katanya. Dan benar saja, tersaji banyak makanan di meja makan dan makan malam kali itu terasa nikmat sekali.
“Mas, aku tidur duluan, hari ini aku lelah sekali”, katanya sambil berlalu ke arah kamar.
Aku belum beranjak ke tempat tidur. Ada pertandingan bola di TV. Dua jam kemudian aku merasa mengantuk. Aku memutuskan untuk tidur, dan ketika aku akan mematikan lampu duduk di atas meja kerjaku, kulihat sebuah bungkusan berwarna biru. Kudekati, ternyata sebuah kotak besar terbungkus kertas biru muda berkilauan. Di atasnya ada pita berwarna senada. Kuperhatikan. Mungkin itu kado istriku untuk pernikahan temannya. Tapi tiba-tiba pandanganku berhenti sejenak pada sebuah kertas di atas nya. Kubuka, dan kubaca. “Selamat hari ulang tahun pernikahan kita Mas. Tak terasa sudah dua belas tahun. Aku menyintaimu seperti dua belas tahun lalu.”
***
Aku menarik nafas panjang, kemudian kubuka kotak itu. Tiba-tiba nafasku tercekat. Sebuah sweater berwarna abu-abu terlipat manis di sana. Sweater yang kemarin sore aku lihat tergantung di deretan paling atas toko baju ketika aku membeli sweater bersama Tari. Sweater yang sebetulnya lebih kuinginkan daripada sweater coklat muda yang dibeli tari. Aku terduduk lemas. Kupandangi sweater itu, kemudian memandangi wajah istriku yang terlelap ditempat tidur. Dia memilh sweater dengan warna yang sama seperti keinginanku. Dia  memilih warna abu-abu, sama denganku. Dan sesaat, aku tersadar, apa alasanku menyintai wanita ini…
***



Pojok Kamar
September, 2006

Malam Ini Lampu Mati (Lagi)


Kebetulan lampu mati.
Di kamarku malam ini.
Bulan mati juga sedang menyambangi
Langit malam ini.
Dan jendela kaca kusam,
Yang telah ada semenjak aku belum ada
Memantulkan cahaya remang-remang
Dari bohlam tetangga yang cuma lima watt.
Membuat bayang-bayang samar.

Ruang sunyi

23012015

Siang dan Sunyi



Oleh : Noer Milansyah 


 

Siang bermuram durja
Matanya yang sayu terlihat begitu rindu.
Matahari meninggalkannya pergi
Berkelana menyusuri langit dari pagi
Terkadang memang menepi tapi tak berhenti.

Siang kehilangan matahari
Pada terik yang tak pernah dia temui lagi.
Pada hangat yang dia rindui.
Pagi telah  mencurinya
Mengajaknya lari
Menyisakan mendung di wajahnya

Pagi tak pernah mau mengerti
Siang butuh matahari
Dia beku,
Menggigil,
Dan sepi.

Matahari tak pernah kembali
Langit menelannya
Ruang Sunyi
11022015

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.