Oleh : Noer Milansyah
Bulan bulat penuh mengintip dari balik rumpun bambu. Tersenyum ceria pada
seorang wanita yang sedang berjalan tergesa menembus gelapnya malam. Cahaya
keemasan menyelinap melewati pucuk-pucuk bambu yang sesekali bergoyang tertiup
angin malam. Sepintas, pucuk-pucuk bambu itu terlihat bagai jemari denawa yang
hendak mencengkram purnama dengan tangan kekarnya. Menculiknya seperti Rahwana
yang mengambil Sinta dari tangan Rama, kemudian menyembunyikannya di Asoka.
Bukankah begitu menurut cerita? Kisah yang jadi simbol cinta sepanjang masa. Rama
yang menyelamatkan Sinta, dan Sinta yang tetap setia menunggu Rama. Cerita yang
sebetulnya tak terlalu disukainya. Dia sama sekali tak melihat romantisme dari
cerita itu. Kenapa harus selalu perempuan yang dituntut untuk setia? Kalau Rama
menyintai Sinta, tentu tidak akan pernah ada ujian kesucian yang membuat Sinta
menjatuhkan diri ke dalam kobaran api. Bukankah cinta seharusya memercayai dan
mengabdi? Bukannya mencurigai dan menuntut untuk memberi bukti kesetiaan cinta.
Baginya, kisah itu hanyalah salah satu dari kisah - Kisah yang lagi-lagi
menempatkan lelaki menjadi makhluk yang semena-mena. Sinta yang diculik Rahwana
bukan atas keinginannya, ditawan di Alengka dan dengan setia menunggu suaminya
Rama, setelah bertemu justru malah harus menjalani ujian kesucian. Ujian
kesucian yang sebetulnya hanya
menunjukkan dua hal. Pertama, Rama tidak bisa menerima Sinta yang tidak suci lagi
karena diculik Rahwana. Kedua, Rama hanya menilai Sinta dari kesucian fisik
yang kasat mata. Kenapa perempuan selalu dinilai dari hal-hal semacam itu? Kenapa
penderitaan Sinta karena penculikan Rahwana harus bertambah pula dengan sikap
suaminya Rama yang hanya mengurusi perihal kesucian? Seperti itulah yang
dipikirkan wanita itu. Baginya, semua lelaki berjenis sama. Tidak peduli dia
raja atau rakyat jelata, beragama tidak beragama..semuanya sama. Hanya
memandang perempuan sebagai makhluk kedua.
Malam terus beranjak. Dingin. Sedingin hati wanita itu. Langkahnya cepat,
pikirannya berkelana pada masa-masa yang telah silam. Menyambangi kehidupan
demi kehidupan yang telah dilewatinya. Baginya, hidup adalah perjalanan menyeberangi
sungai yang begitu lebar dan dalam. Melawan arus, dan menaklukan batu-batu
terjal dan curam. Sementara, jembatan untuk dia menyeberang, hanyalah sebatang
bambu keropos yang licin. Kadang, dia berpikir, apakah perjalanannya harus dia
tuntaskan sampai disini, sebelum menginjakkan kaki di batang bambu dan mulai
meniti melintasi sungai kehidupan yang terasa teramat gelap. Seperti gerhana.
Begitu dia bertanya setiap hari pada dirinya.
Terdengar oleh wanita itu suara ibunya dahulu yang selalu mengingatkan
untuk berhati-hati menyeberang, berhati-hati meniti jembatan licin supaya tidak
menjerumuskannya ke dalam jurang yang dalam dan terjal. Suara ibunya lantang
memecah keheningan berbaur dengan deru arus sungai yang setiap malam terdengar
dari balik gubuknya di bantaran sungai itu.
“Rin, lelaki adalah makhluk halus yang bisa merasuk ke tubuhmu, membuatmu
kesurupan dan gila.” Begitu berkali-kali ibunya berkata kepadanya.
“setelah kamu menjadi gila, jangan harap dia akan berbaik hati membuatmu
kembali waras,” Sambungnya.
“Jangan sekali-kali mendekati pria. Kalau perlu, pasang mantra penolak
bala di depan pintu kamarmu,” kata-kata itu diucapkan ibunya dengan sorot mata
tajam.
***
Wanita itu berjalan memecah kegelapan. Rambutnya yang terurai tertiup
semilir angin malam. Purnama masih setia menemani. Semilir angin musim kemarau
seakan mematahkan dahan-dahan kegelisahan di hatinya. Langkahnya
tersendat-sendat. Sempat terpikir untuk berbalik arah. Tapi kemudian dia
mempercepatnya kembali. Kenapa harus kembali? bukankah tadi sebelum berangkat
hatinya telah diliputi tekad yang tidak bisa digoyahkan lagi? Sudah dengan
penuh keyakinan akan menemui Mak Ijah. Mengingat itu, langkahnya semakin cepat.
Melintasi pematang sawah, kebun-kebun palawija dan singkong, dan akhirnya
sampai ke sebuah dusun yang dari tempatnya berdiri mulai terlihat atap-atap
rumah berjejer. Dia mengatur nafasnya yang tersengal, diusapnya keringat di
keningnya. Kemudian dengan perlahan, menuju ke satu rumah yang dari kejauhan
terlihat bercahaya. Bulan membuat bayang-bayang besar di tanah. Bayangan
batang-batang pohon dan daun-daun seperti lukisan hitam-putih di atas kanvas.
Di sebelah timur tampak hamparan sawah yang keemasan ditimpa cahaya bulan. Lambaian
daun pohon pisang dan kelapa seperti
seseorang yang merindukan kekasihnya. Begitu pilu. Wanita itu mengingat masa-masa kecilnya,
bermain dan berlari di pematang sawah, membantu ibunya memanen padi, dan duduk
di belakang sepeda ayahnya sepulang dari sekolah, atau mandi bersama
kawan-kawannya di sungai. Kenangan yang indah. Sampai suatu hari, pada usianya
yang kedua belas, ketika purnama membentuk bayang-bayang besar di halaman
rumahnya, dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ibunya menangis
meraung-raung di sudut kamar, dan itulah saat terakhir dia melihat ayahnya. Kata
nenek, ayah diculik genderuwo karena terlalu sering pulang larut malam.
Beberapa tahun kemudian, aku baru tahu bahwa genderuwo itu ternyata bisa
berparas cantik juga.
***
Purnama semakin bersinar terang. Sementara lampu lima watt di kamar mak
Ijah tidak mampu mengganti gerhana di hati wanita itu. Bau anyir darah, wangi
kemenyan, perih di antara kedua kakinya, dan sakit di perut serta di hatinya.
Semua bersekutu membuat bayang-bayang gelap yang menyelimuti kepalanya.
Kemudian menjelma sebentuk makhluk mengerikan yang bahkan tidak mempunyai mata.
Wanita itu ingin menjerit, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Makhluk itu
semakin mendekat, merasuk ke kepalanya, ke jantungnya, ke hatinya, ke aliran
darahnya..dan tiba-tiba, dia tidak ingat apa-apa. Benar kata ibunya, dia telah
menjadi gila.
***
Bulat bulat penuh menggantung di angkasa. Tersenyum pada gemerlap kota di
tengah bulan Agustus yang cerah. Keramaian dan keceriaan menjelang peringatan
kemerdekaan. Semarak taman kota yang tampak ceria. Air mancur ditengah taman
tampak berpendar-pendar tertimpa cahaya lampu. Seorang wanita terduduk di bawah
pohon akasia. Telah ribuan hari semenjak terakhir kali dia melihat purnama,
juga di taman itu. Purnama yang tersenyum kepada mereka berdua…dia dan lelaki
itu. Sekarang dia hanya seorang diri. Sedang menatap purnama yang menggantung
indah di angkasa sambil mengelus perutnya yang rata. Matanya kosong menatap
langit. Dilihatnya nun jauh di sana, di permukaan bulan yang bundar itu, ada
seorang anak lelaki kecil yang sedang berlari-lari, ditunggui oleh seorang
nenek berambut putih. Mungkin itu Nini Anteh**. Seperti yang sering
didongengkan neneknya sewaktu dia kecil.
Dan sekarang, Nini Anteh sedang mengajak bermain anak laki-lakinya.
Wanita itu beranjak dari tempat duduknya. Mengejar bulan yang tidak mau
berhenti sambil terus berteriak.
“Tunggu ibu Nak, tunggu ibu…” teriaknya sambil beranjak dan berlari
meninggalkan tempat duduknya.
Bocah lelaki kecil di bulan itu terus berlari dan tertawa. Rambutnya yang
lurus seperti miliknya berkilauan ditimpa cahaya. Perempuan itu terus berlari.
Tapi tiba-tiba, bocah lelaki itu berhenti berlari, dia menoleh dan melambaikan
tangan. Perempuan itu bahagia bukan kepalang. Seketika dia menghentikan
langkahnya. Dia akan naik ke langit, terbang ke bulan, dan menggendong anak
lelakinya.
Tapi tiba-tiba, terdengar suara orang-orang berteriak,
“tabrak lari..!”
“orang gila.”
“perempuan tertabrak”
“orang gila tertabrak.”
“panggil polisi!”
***
Tapi wanita itu tak mendengar apa-apa. Dia sedang terbang ke bulan. Akan
menggendong anak lelakinya yang lima tahun lalu dibawa makhluk mengerikan tak bermata
di rumah Mak Ijah. Wanita itu terus terbang, semakin jauh meninggalkan
kerumunan orang-orang. Dia tidak peduli pada polisi yang kemudian datang, pada
ambulance yang meraung-raung kencang, pada angin malam, pada dingin dan
kelam..juga pada lelaki yang seharusnya dipanggil ayah oleh anak lelakinya. Dia
tak peduli, dia hanya ingin terbang, menuju bulan, menuju anak lelakinya. Dia
hanya ingin menggendongnya….
***
Ket :
* Gerhana : ada cerpen
dengan judul sama dalam bahasa sunda, Samagaha,
di dalamnya ada bercerita tentang Nini Anteh.
** Nini Anteh: adalah salah satu dongeng Sunda, yang merupakan sastra lisan yang sering diceritakan para orang tua kepada anak-anaknya tentang seorang nenek yang tiada henti-hentinya menenun di bulan. Pada kenyataannya yang disebut Nini Anteh itu adalah bayangan hitam atau motif yang nampak pada permukaan bulan apabila kita memandangnya. Bayangan itu menurut sebagian orang mirip dengan seorang nenek. Nenek itu disebut Nini Anteh karena ia kelihatan sedang memintal benang kantih. Selama menenun, Nini Anteh selalu ditemani oleh seekor kucing kesayangannya yang bernama Candramawat. Kain hasil tenunannya itu bila telah selesai akan diberikan kepada aki yang sedang menyadap di bumi.
** Nini Anteh: adalah salah satu dongeng Sunda, yang merupakan sastra lisan yang sering diceritakan para orang tua kepada anak-anaknya tentang seorang nenek yang tiada henti-hentinya menenun di bulan. Pada kenyataannya yang disebut Nini Anteh itu adalah bayangan hitam atau motif yang nampak pada permukaan bulan apabila kita memandangnya. Bayangan itu menurut sebagian orang mirip dengan seorang nenek. Nenek itu disebut Nini Anteh karena ia kelihatan sedang memintal benang kantih. Selama menenun, Nini Anteh selalu ditemani oleh seekor kucing kesayangannya yang bernama Candramawat. Kain hasil tenunannya itu bila telah selesai akan diberikan kepada aki yang sedang menyadap di bumi.
Sudut Jendela
Ramadhan, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar