Kamis, 09 April 2015

Gerhana*

Oleh : Noer Milansyah

Bulan bulat penuh mengintip dari balik rumpun bambu. Tersenyum ceria pada seorang wanita yang sedang berjalan tergesa menembus gelapnya malam. Cahaya keemasan menyelinap melewati pucuk-pucuk bambu yang sesekali bergoyang tertiup angin malam. Sepintas, pucuk-pucuk bambu itu terlihat bagai jemari denawa yang hendak mencengkram purnama dengan tangan kekarnya. Menculiknya seperti Rahwana yang mengambil Sinta dari tangan Rama, kemudian menyembunyikannya di Asoka. Bukankah begitu menurut cerita? Kisah yang jadi simbol cinta sepanjang masa. Rama yang menyelamatkan Sinta, dan Sinta yang tetap setia menunggu Rama. Cerita yang sebetulnya tak terlalu disukainya. Dia sama sekali tak melihat romantisme dari cerita itu. Kenapa harus selalu perempuan yang dituntut untuk setia? Kalau Rama menyintai Sinta, tentu tidak akan pernah ada ujian kesucian yang membuat Sinta menjatuhkan diri ke dalam kobaran api. Bukankah cinta seharusya memercayai dan mengabdi? Bukannya mencurigai dan menuntut untuk memberi bukti kesetiaan cinta. Baginya, kisah itu hanyalah salah satu dari kisah - Kisah yang lagi-lagi menempatkan lelaki menjadi makhluk yang semena-mena. Sinta yang diculik Rahwana bukan atas keinginannya, ditawan di Alengka dan dengan setia menunggu suaminya Rama, setelah bertemu justru malah harus menjalani ujian kesucian. Ujian kesucian  yang sebetulnya hanya menunjukkan dua hal. Pertama, Rama tidak bisa menerima Sinta yang tidak suci lagi karena diculik Rahwana. Kedua, Rama hanya menilai Sinta dari kesucian fisik yang kasat mata. Kenapa perempuan selalu dinilai dari hal-hal semacam itu? Kenapa penderitaan Sinta karena penculikan Rahwana harus bertambah pula dengan sikap suaminya Rama yang hanya mengurusi perihal kesucian? Seperti itulah yang dipikirkan wanita itu. Baginya, semua lelaki berjenis sama. Tidak peduli dia raja atau rakyat jelata, beragama tidak beragama..semuanya sama. Hanya memandang perempuan sebagai makhluk kedua.   
Malam terus beranjak. Dingin. Sedingin hati wanita itu. Langkahnya cepat, pikirannya berkelana pada masa-masa yang telah silam. Menyambangi kehidupan demi kehidupan yang telah dilewatinya. Baginya, hidup adalah perjalanan menyeberangi sungai yang begitu lebar dan dalam. Melawan arus, dan menaklukan batu-batu terjal dan curam. Sementara, jembatan untuk dia menyeberang, hanyalah sebatang bambu keropos yang licin. Kadang, dia berpikir, apakah perjalanannya harus dia tuntaskan sampai disini, sebelum menginjakkan kaki di batang bambu dan mulai meniti melintasi sungai kehidupan yang terasa teramat gelap. Seperti gerhana. Begitu dia bertanya setiap hari pada dirinya.
Terdengar oleh wanita itu suara ibunya dahulu yang selalu mengingatkan untuk berhati-hati menyeberang, berhati-hati meniti jembatan licin supaya tidak menjerumuskannya ke dalam jurang yang dalam dan terjal. Suara ibunya lantang memecah keheningan berbaur dengan deru arus sungai yang setiap malam terdengar dari balik gubuknya di bantaran sungai itu.
“Rin, lelaki adalah makhluk halus yang bisa merasuk ke tubuhmu, membuatmu kesurupan dan gila.” Begitu berkali-kali ibunya berkata kepadanya.
“setelah kamu menjadi gila, jangan harap dia akan berbaik hati membuatmu kembali waras,” Sambungnya.
“Jangan sekali-kali mendekati pria. Kalau perlu, pasang mantra penolak bala di depan pintu kamarmu,” kata-kata itu diucapkan ibunya dengan sorot mata tajam.
***
Wanita itu berjalan memecah kegelapan. Rambutnya yang terurai tertiup semilir angin malam. Purnama masih setia menemani. Semilir angin musim kemarau seakan mematahkan dahan-dahan kegelisahan di hatinya. Langkahnya tersendat-sendat. Sempat terpikir untuk berbalik arah. Tapi kemudian dia mempercepatnya kembali. Kenapa harus kembali? bukankah tadi sebelum berangkat hatinya telah diliputi tekad yang tidak bisa digoyahkan lagi? Sudah dengan penuh keyakinan akan menemui Mak Ijah. Mengingat itu, langkahnya semakin cepat. Melintasi pematang sawah, kebun-kebun palawija dan singkong, dan akhirnya sampai ke sebuah dusun yang dari tempatnya berdiri mulai terlihat atap-atap rumah berjejer. Dia mengatur nafasnya yang tersengal, diusapnya keringat di keningnya. Kemudian dengan perlahan,  menuju ke satu rumah yang dari kejauhan terlihat bercahaya. Bulan membuat bayang-bayang besar di tanah. Bayangan batang-batang pohon dan daun-daun seperti lukisan hitam-putih di atas kanvas. Di sebelah timur tampak hamparan sawah yang keemasan ditimpa cahaya bulan. Lambaian daun pohon pisang dan kelapa  seperti seseorang yang merindukan kekasihnya. Begitu pilu.  Wanita itu mengingat masa-masa kecilnya, bermain dan berlari di pematang sawah, membantu ibunya memanen padi, dan duduk di belakang sepeda ayahnya sepulang dari sekolah, atau mandi bersama kawan-kawannya di sungai. Kenangan yang indah. Sampai suatu hari, pada usianya yang kedua belas, ketika purnama membentuk bayang-bayang besar di halaman rumahnya, dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ibunya menangis meraung-raung di sudut kamar, dan itulah saat terakhir dia melihat ayahnya. Kata nenek, ayah diculik genderuwo karena terlalu sering pulang larut malam. Beberapa tahun kemudian, aku baru tahu bahwa genderuwo itu ternyata bisa berparas cantik juga.
***
Purnama semakin bersinar terang. Sementara lampu lima watt di kamar mak Ijah tidak mampu mengganti gerhana di hati wanita itu. Bau anyir darah, wangi kemenyan, perih di antara kedua kakinya, dan sakit di perut serta di hatinya. Semua bersekutu membuat bayang-bayang gelap yang menyelimuti kepalanya. Kemudian menjelma sebentuk makhluk mengerikan yang bahkan tidak mempunyai mata. Wanita itu ingin menjerit, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Makhluk itu semakin mendekat, merasuk ke kepalanya, ke jantungnya, ke hatinya, ke aliran darahnya..dan tiba-tiba, dia tidak ingat apa-apa. Benar kata ibunya, dia telah menjadi gila.
***
Bulat bulat penuh menggantung di angkasa. Tersenyum pada gemerlap kota di tengah bulan Agustus yang cerah. Keramaian dan keceriaan menjelang peringatan kemerdekaan. Semarak taman kota yang tampak ceria. Air mancur ditengah taman tampak berpendar-pendar tertimpa cahaya lampu. Seorang wanita terduduk di bawah pohon akasia. Telah ribuan hari semenjak terakhir kali dia melihat purnama, juga di taman itu. Purnama yang tersenyum kepada mereka berdua…dia dan lelaki itu. Sekarang dia hanya seorang diri. Sedang menatap purnama yang menggantung indah di angkasa sambil mengelus perutnya yang rata. Matanya kosong menatap langit. Dilihatnya nun jauh di sana, di permukaan bulan yang bundar itu, ada seorang anak lelaki kecil yang sedang berlari-lari, ditunggui oleh seorang nenek berambut putih. Mungkin itu Nini Anteh**. Seperti yang sering didongengkan neneknya sewaktu dia kecil.  Dan sekarang, Nini Anteh sedang mengajak bermain anak laki-lakinya. Wanita itu beranjak dari tempat duduknya. Mengejar bulan yang tidak mau berhenti sambil terus berteriak.
“Tunggu ibu Nak, tunggu ibu…” teriaknya sambil beranjak dan berlari meninggalkan tempat duduknya.
Bocah lelaki kecil di bulan itu terus berlari dan tertawa. Rambutnya yang lurus seperti miliknya berkilauan ditimpa cahaya. Perempuan itu terus berlari. Tapi tiba-tiba, bocah lelaki itu berhenti berlari, dia menoleh dan melambaikan tangan. Perempuan itu bahagia bukan kepalang. Seketika dia menghentikan langkahnya. Dia akan naik ke langit, terbang ke bulan, dan menggendong anak lelakinya.
Tapi tiba-tiba, terdengar suara orang-orang berteriak,
“tabrak lari..!”
“orang gila.”
“perempuan tertabrak”
“orang gila tertabrak.”
“panggil polisi!”
***
Tapi wanita itu tak mendengar apa-apa. Dia sedang terbang ke bulan. Akan menggendong anak lelakinya yang lima tahun lalu dibawa makhluk mengerikan tak bermata di rumah Mak Ijah. Wanita itu terus terbang, semakin jauh meninggalkan kerumunan orang-orang. Dia tidak peduli pada polisi yang kemudian datang, pada ambulance yang meraung-raung kencang, pada angin malam, pada dingin dan kelam..juga pada lelaki yang seharusnya dipanggil ayah oleh anak lelakinya. Dia tak peduli, dia hanya ingin terbang, menuju bulan, menuju anak lelakinya. Dia hanya ingin menggendongnya….
                                                                      ***

Ket :
* Gerhana : ada cerpen dengan judul sama dalam bahasa sunda, Samagaha, di dalamnya ada bercerita tentang Nini Anteh.
** Nini Anteh:  adalah salah satu dongeng Sunda, yang merupakan sastra lisan yang sering diceritakan para orang tua kepada anak-anaknya tentang seorang nenek yang tiada henti-hentinya menenun di bulan. Pada kenyataannya yang disebut Nini Anteh itu adalah bayangan hitam atau motif yang nampak pada permukaan bulan apabila kita memandangnya. Bayangan itu menurut sebagian orang mirip dengan seorang nenek. Nenek itu disebut Nini Anteh karena  ia kelihatan sedang memintal benang kantih. Selama menenun, Nini Anteh selalu ditemani oleh seekor kucing kesayangannya yang bernama Candramawat. Kain hasil tenunannya itu bila telah selesai akan diberikan kepada aki yang sedang menyadap di bumi.


Sudut Jendela
Ramadhan, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.