Rabu, 10 September 2014

Mau Pergi Kemana?



“Anda mau pergi kemana?”

Ada yang pernah bertanya seperti itu kepada Anda? Tentu pernah. Lantas apa jawaban Anda? Tentu saja jawabannya bermacam-macam, tidak akan sama. Mungkin ada yang menjawab “mau pergi bekerja”, “mau pulang”, “mau pergi ke kantor”, dll. Jawaban mana yang benar? Tentu saja tidak seperti jawaban ujian sekolah yang hanya ada satu jawaban yang benar. Pertanyaan itu memberikan keleluasaan kepada kita untuk menjawabnya.
Pada salah satu adegan di film Alice in wonderland, diceritakan bahwa alice tiba di sebuah persimpangan jalan. Jalan yang dilaluinya bercabang menjadi dua. Satu ke kiri, satu lagi ke kanan. Alice bingung mau mengambil jalan yang mana. Dalam bimbangnya dia bertanya kepada Cheshire Cat, “maukah anda menolong saya? Jalan mana yang harus saya tempuh?” kucing bijaksana itu menatap wajah Alice. Lalu dia berkata, “itu tergantung pada maksud dan tujuan perjalananmu.” Mendengar nasihat itu, Alice berkata bahwa dirinya tidak terlalu peduli pada tujuan. Sang kucing kembali tersenyum, lalu berkata dengan lemah lembut, “jika demikian, tidak masalah kemana pun kamu mau pergi.”
Apakah kita pernah mengalami situasi seperti Alice? Tidak tahu harus mengambil jalan yang mana, pada akhirnya kita jadi bimbang, gamang, dan ujung-ujungnya tidak memilih jalan yang mana pun. Tahu-tahu kita sadar kalau kita sudah tua tanpa tahu umur kita dihabiskan untuk apa. Betapa sia-sia bukan?
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi apabila kita sudah punya jawaban yang jelas atas pertanyaan tadi.
“Anda mau kemana?”
Sesungguhnya ini bukan sekedar pertanyaan tentang sebuah tindakan, melainkan tentang misi hidup kita. Kita diajak untuk menyadari tentang apa tujuan hidup kita, karena tujuan akan menentukan tindakan. Apa tujuan hidup kita, maka kesanalah kita akan bergerak maju. Kita akan memilih jalan yang akan membawa kita pada tujuan itu.

Jadi, apa tujuan hidup anda????

                                                      

Selasa, 09 September 2014

Violet


 
Kata hampa seolah tergambar dalam huruf-huruf berapi dalam bayangannya, membakar semua pikiran dan harapan kebahagiaan. Ia berusaha menghubungkan pikirannya dengan rokok, merasakan asap itu menenangkan tubuhnya beserta kerinduannya dan segenap pikirannya. Ia mengingat hari itu, hari dimana mereka duduk berdua, menghabiskan secangkir kopi, mengobrol, dan mendengarkan musik. Perasaan tenang dan gembira menyelimutinya waktu itu. Ia berharap jarum jam berhenti berputar, dan waktu tidak cepat berlalu. Berulang kali ia berkata, “lupakan..lupakan..lupakan..!” tetapi kemudian ia ingat betapa ia sangat menikmati kebersamaan itu. Di atas semua emosi yang ia rasakan, ada satu yang berbentuk kelegaan, yaitu ingatan bahwa ia mencintai lelaki itu, mencintai dalam sepi, dalam sunyi. Sampai-sampai ia tak bisa lagi melihat perbedaan antara kesendirian dan kebersamaan. Baginya, lelaki itu tetap ada, menemani setiap hari-harinya, bicara dan tersenyum kepadanya setiap saat. 

Senja kali ini pun masih sama, dia masih mengingat lelaki itu. Lelaki yang hanya mengisi kekosongan hari-harinya sebentar saja. Lelaki yang dia nanti beribu-ribu hari lamanya. Lelaki yang menyentuhnya dengan sepenuh perasaan dan dia menerimanya dengan kedamaian jiwa yang begitu menentramkan. Lelaki yang dia yakini dia mencintainya dalam setiap helaan nafas dan aliran darahnya. Lelaki yang kini meninggalkannya. Dunianya kembali sunyi, kembali tanpa suara, kembali hening. Dunia yang hanya ada mereka berdua. Dia dan dirinya. Cukup. Tak ada siapa-siapa lagi. Dan baginya, itulah dunia sesungguhnya. 

Dia menulis di secarik kertas. Goresan-goresan tipis dan miring seumpama rumput tertiup angin. Begitu labil. Tapi di akhir kalimat, dia membubuhkan titik yang teramat tebal. Sangat jelas. dia tekan pena nya kuat-kuat. Seolah-olah menyangkal seluruh ketidaktegasan kalimat-kalimat sebelumnya. Tapi kemudian, diremasnya kertas itu, dan di lemparnya ke keranjang sampah di sudut kamarnya. Dan dia pun kembali menulis kalimat yang sama, dengan pena yang sama, dan titik yang ditulis dengan cara yang sama. Dan lagi-lagi, remasan kertas itu hanya menjadi penghuni keranjang sampah. Ribuan lembar dia telah menulis. Entah telah berapa banyak kertas yang dia habiskan. Tapi kalimat-kalimat yang berakhir dengan titik yang jelas itu pada akhirnya hanya memenuhi keranjang sampah. Pada lembaran terakhir..baru satu kata yang dia tulis..              “ Violet…”
                                                                                    

                                                                 Pagisunyi
                                                                                                                                       220614     02:47

Senin, 08 September 2014

Aku dan Ayah


Oleh : Noer Milansyah

Pernahkah kau tahu siapa yang paling terluka ketika seorang pria menyakitimu? Bisa kupastikan jawabannya adalah AYAH.
Hubunganku dengan ayah tak seperti di sinetron atau di film-film, dimana seorang ayah akan membelai kepala anaknya dengan lembut dan memeluknya ketika anak gadisnya menangis. Tidak. Hubunganku dengan ayah tak seperti itu. Keluarga kami tidak mengenal bahasa tubuh seperti itu, tidak akrab dengan ungkapan seperti itu. Kami seisi rumah kaku. Tak ada ucapan sayang, tak ada pelukan, tak ada ciuman. Bahkan kata-kata pun terlalu asing buat kami. Jadilah kami anak-anak ayah dan ibu yang lebih akrab dengan teman masing-msing daripada dengan sesama anggota keluarga. Bagi keluarganya yang tidak seperti kami, jangan heran. Ada kok keluarga seperti itu. Keluargaku.
Ayah memang tak pernah memelukku lagi setelah aku dewasa. Tapi selalu kurasakan jemari ayah mengusap lembut kepalaku setiap kali kulihat matanya dalam tingkahnya yang kaku. Aku selalu mendengar ungkapan sayang di balik kata-katanya yang pedas ketika memarahiku. Selalu kutemukan cinta sebening embun di balik wajah datar ayah. Ayah adalah patung batu penjagaku.
Walau aku dan ayah banyak bertentangan, tapi ayah adalah segalanya buatku.
Aku tahu ayah menyukai perceraianku. Dia tak berusaha menghalang-halangi, tak berusaha mendamaikan kami. Bahkan ketika hatiku hancur tak punya sandaran, ayah masih tak mau membantuku. Aku tahu..aku tahu..ukuran kebahagiaanku menurutnya tak sama dengan ukuranku. Ayah lebih senang aku sendirian. Terlihat dari semua keputusannya terhadapku, terlihat dari diam nya, terlihat dari sorot matanya. Aku tahu..aku tahu ayah menganggap ini yang terbaik buatku.
Aku dan ayah adalah air dan minyak. Hanya cinta tak kasat mata yang masih menandakan kami dua orang yang saling  mencintai. Aku dengan isi kepalaku, dan ayah yang masih tetap dengan prinsip-prinsip kaku nya. Aku tahu ayah..prinsip yang kuanggap kaku itulah yang mejadikanku seperti ini sekarang. Aku menjadi dewasa ayah, aku menjadi perempuan tangguh ayah..semuanya karenamu.
Masa kecilku bersama ayah adalah kilauan permen kristal warna warni yang manis. Ayahlah yang memelukku ketika aku merengek-rengek karena sakit atau sedang tak enak hati. Ayahlah yang menyuapiku ketika aku malas makan. Ayahlah yang mendongengiku ketika aku sulit tidur. Ayahlah yang mengajariku memegang pensil pertamaku, ayahlah yang membelikanku buku tulis bergambar wajah orang utan yang sampai sekarang tak pernah kulupakan. Ayahlah yang setiap hari membawakanku buku cerita bermacam-macam. Ayahlah yang menyisihkan gaji nya untuk membelikanku majalah anak setiap bulan. Ayahlah yang membelikanku kartu pos dan prangko supaya aku bisa menulis surat pada teman-teman di majalah itu. Ayahlah yang pada hari ulang tahunku memberiku sebuah buku. Ayah yang setiap jam 4 subuh membangunkanku dengan kaset kasidah atau ceramah Zainuddin MZ yang dia putar kencang-kencang dari radio. Ayah yang mengajariku mengaji. Ayah yang tak pernah membiarkanku melewatkan solat berjamaah. Ayahlah yang menjawab setiap pertanyaan nyelenehku tentang Tuhan. Ayahlah tiang di rumah kami. Penyangga kebobrokan hati kami. Hatiku…
Ayah yang sampai usia lanjutnya tak pernah mau berhenti belajar. Ayah tak malu belajar komputer ketika dia telah memiliki cucu. Ayah yang masih rajin mengumpulkan kitab-kitab dan buku – buku kesukaannya. Ayah yang tak segan-segan mengeluarkan uang tak sedikit untuk membeli buku-buku agama. Ya..ayah senang membaca. Ayah senang belajar. Ayah memang tak kenal sastra, tapi aku kenal Hamka darinya, gerbang ku menuju dunia cerita, dunia buku, dunia sastra. Ayah adalah pembaca yang hebat. Kesukaannya adalah buku-buku agama, koleksinya adalah kitab-kitab agama. Buku yang dibelinya adalah buku-buku agama. Ayah akan memarahiku ketika aku terlalu banyak membaca komik, akan membentakku ketika aku terlalu larut menonton film. Seandainya dia tahu..aku kesepian ayah..buku adalah pelarianku. Buku adalah temanku…
Ayah juga yang mengantarkanku ke SMP. Menjemputku setiap sore ketika matahari berwarna merah saga. Membawakanku payung dan jas hujan ketika langit yang murung menumpahkan air matanya. Ayah juga yang mengambil rapot pertamaku dan dengan wajah berseri-seri dan berkata pada semua orang kalau aku rangking satu. Ayah yang tak pernah bosan menyuruhku memakai jilbab. Yang keinginanya baru kuturuti ketika aku kelas 2 SMP. Ayah pulalah yang mengambil surat kelulusanku, yang menyarankanku untuk masuk ke MAN. Bersama ayahlah semuanya kulalui.
Ayah..aku tahu konflik kita dimulai ketika aku lulus aliyah. Aku punya jiwa petualang ayah. Semua karena buku-buku yang kau berikan. Jiwaku telah lama melanglang buana ayah…aku telah menemui seisi dunia, lewat buku. Lewat buku yang semenjak aku kecil telah kau sodorkan padaku. Aku ingin melihat seisi dunia ayah, tidakkah kau mengerti? Aku tidak ingin kuliah disini ayah…
Aku cinta ayah, walau tak pernah kukatakan itu padanya. Dan sungguh ayah…sangat ingin aku membahagiakanmu. Sangat ingin ayah...
***
Dan kini, ayah terbaring sakit. Mataku lepas memandang lewat jendela kamar putih itu. masih pukul enam pagi. Belum terdengar keramaian di luar kamar ini, hanya sesekali terdengar langkah-langkah orang lewat. Dari kemarin, jantungku belum berhenti berdegup kencang. Perasaan cemas dan was-was membuat badanku terus bergetar dan seluruh tubuhku dingin. Terakhir kurasakan perasaan seperti ini ketika anakku sakit dan harus dirawat selama sebulan penuh karena terserang demam berdarah. Dan sekarang, perasaan itu kembali menyelimutiku ketika kemarin siang tiba-tiba ayah pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kupandangi kembali tubuh ayah yang tergolek lemah di tempat tidurnya. Selang infuse dan tabung oksigen terus terpasang dari kemarin. Jantung koroner. Begitu kata dokter. Sedikit banyak aku tahu apa itu jantung koroner, dan vonis dokter itu tiba-tiba membuat tubuhku lemas. Tulang-tulangku terasa ngilu, ada sesak yang tiba-tiba menyergap. Tak terasa, kedua pipiku mulai basah lagi.
Aku kembali menatap keluar jendela. Sebuah taman tampak ceria dengan bunga aster di kanan kirinya. Rumah sakit ini berbeda dengan rumah sakit umum daerah tempat biasa ayah berobat. Ini rumah sakit kelas menengah, semua fasilitas ada di sini. Aku memaksakan membawa ayah kesini, urusan biaya, biar kupikirkan belakangan. Aku hanya ingin ayah sembuh. Aku telah lupa kapan terakhir kali berdo’a, tapi saat ini..tak terasa aku bergumam lirih, “Tuhan..tolong jangan ambil ayah..”
****
Ayah  adalah pria tua berbadan kurus dengan rambut yang hampir semua memutih. Tapi tangan ayah adalah tangan paling kekar, pun ketika usianya telah memasuki senja. Kini, tangan kekar itu terhubung dengan selang infus yang dari kantong di atasnya menetes air setitik demi setitik. Kupandangi wajahnya yang tidur. Ayah terlelap setelah tadi perawat menyuntikkan satu ampul obat ke selang infusnya. Jantung koroner yang membawa ayah memasuki rumah sakit ini tiga hari yang lalu. Saat itu ayah baru pulang dari sekolah tempatnya mengajar. Biasanya ayah membawa motor, tapi karena dokter melarangnya, sudah seminggu itu ayah naik angkutan umum ke sekolah. Siang itu pukul dua lebih seperempat, kelelahan rupanya membuatnya ambruk di trotoar jalan. Untung ada seorang muridnya yang juga sama-sama sedang menunggu angkutan umum dan segera berteriak minta tolong ketika ayah tersunghkur di jalanan beraspal itu. Orang-orang yang menolongnya tidak membawa ayah ke rumah, tapi langsung melarikannya ke rumah sakit. Pihak sekolah yang pertama kali memberi tahu. Rupanya, rumah sakit menghubungi nomor yang diberikan oleh murid ayah itu. Tepat pukul empat sore, kami bertiga kakak beradik tergopoh-gopoh datang ke rumah sakit dengan wajah cemas. Betapa tidak, ayah sudah berkali-kali pingsan seperti itu. Dokter sebenarnya sudah melarangnya untuk bekerja, jangankan bekerja, beraktivitas di luar rumah pun sebenarnya sudah tidak boleh. Tapi ayah bersikeras, kasihan murid-murid katanya, setiap kali aku melarangnya ke sekolah. Ayah memang senang menjadi guru, pekerjaan itu telah ditekuninya bahkan sebelum aku lahir ke dunia. Sejak aku kecil, seingatku ayah telah menjadi sosok yang begitu kubanggakan. Dulu, ketika usiaku masih tiga-empat tahun, aku sering diajak ayah ke sekolah. Berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang jaraknya puluhan kilometer. Lintas kecamatan. Ayah mengajar di kecamatan tetangga. Jarak nya sangat jauh dari rumah. Apalagi, ayah menempuhnya dengan berjalan kaki. Belum ada angkutan umum waktu itu. Seingatku, kami akan menyusuri jalanan desa berbatu yang seterusnya disambung dengan jalan tanah yang licin dan berlumpur kalau sudah musim penghujan. Kemudian kami akan berbelok memasuki jalan setapak yang di kiri kanannya tumbuh ilalang tinggi-tinggi. Aku ingat, di antara ilalang-ilalang itu banyak pohon nanas yang tumbuh, kata ayah, kami sudah memasuki perkebunan warga. Aku senang sekali berjalan ke sekolah setiap hari bersama ayah. Walau kaki kecilku hanya kuat berjalan beberapa puluh meter saja. Selebihnya, ayah akan dengan riangnya menggendongku. Waktu itu aku senang saja, tak peduli dengan peluh ayah yang hampir membuat seluruh kemejanya basah, tak peduli dengan wajah ayah yang sudah memerah karena kepanasan. Tapi ayah tetap menggendongku. Perjalanan berjam-jam itu akan aku lewatkan bersama dongeng-dongeng ayah sepanjang perjalanan. Aku paling senang dengan cerita perang badar, cerita paling heroik yang kudengar waktu itu. Bagaimana tidak, pasukan kaum muslimin yang hanya sedikit jumlahnya itu mampu mengalahkan pasukan kaum qurais yang berlipat-lipat banyaknya. Di situlah tangan Tuhan bekerja, begitu kata ayah. Selain cerita-cerita di zaman nabi, ayah juga sering mendongengi aku dengan cerita binatang dari tanah Sunda. Tentang sakadang kuya, sakadang monyet, Dalem Boncel, Paninggaran jeung Japati, cerita tentang raksasa dan anak yatim piatu, juga tak ketinggalan cerita Si Kabayan yang selalu membuatku terpingkal-pingkal. Cerita-cerita ayah itu mengalir bak aliran air yang tak pernah kering setiap harinya. Belakangan, baru kusadari, kalau cerita-cerita ayah waktu itulah, yang membentuk karakterku sekarang.
Sesampainya ke sekolah, kami akan disambut oleh teriakan-teriakan murid-murid ayah Mereka berebut menyalami tangan ayah. Aku pun suka ikut-ikutan diajak bersalaman oleh mereka. Kalau sudah seperti itu, aku akan bersembunyi di balik punggung ayah, merasa anak-anak kelas 4 dan 5 sekolah dasar itu adalah makhluk-makhluk yang terlampau besar untukku. Aku tak berani bermain-main dengan meraka. Tapi itu hari-hari pertama aku ikut ke sekoalh, selanjutnya, aku menjadi sangat akrab dengan mereka. mereka sering meminjamiku buku tulis dan pensilnya untuk kucorat coret. Kadang-kadang, aku meniru tulisan-tulisan mereka yang waktu itu menurutku mirip rumput yang tumbuh di pekarangan sekolah. Semua tulisannya bersambung dan panjang-panjang. Itu kalau aku ikut mengajar dengan ayah di kelas 5 atau 6. Tapi aku paling senang kalau ikut ayah mengajar di kelas 1 atau 2, ayah menulis memakai huruf yang dipisah-pisah, dan aku bisa menirunya dari kolong meja. Ayah adalah guru agama, beliau mengajar di semua kelas  di Sekolah Dasar Negeri itu. Akhirnya, karena teramat sering mengikuti ayah ke kelas-kelas. Tanpa diajari, aku mampu membaca dan menulis ketika usiaku baru menginjak empat tahun.
***
Aku ingat hari itu senin kedua di bulan Juni tahun 1991. Aku diantar ibu ke sekolah. “Tidak usah ikut ayah, kamu sekolah di dekat sini saja”, kata ibu waktu itu. Aku yang telah berusia tujuh tahun dan sudah didaftrakan ibu untuk bersekolah di SD Negri di kampungku itu merengek-rengek tidak mau ditinggalkan ketika hari pertama masuk sekolah telah tiba. Ibu terpaksa ikut duduk di dalam kelas, baru, setelah ibu guru kelas satu masuk, aku mulai mau ditunggui di luar saja. Pada hari kedua, ibu guru meminta kami membaca ke depan seorang-seorang. "Untuk mengetes siapa yang sudah bisa baca," begitu kata bu guru. Dan aku, dengan beraninya melangkah ke depan dan membaca keras-keras seluruh bacaan di buku itu. Ibu guru bertepuk tangan, dan kuingat, waktu itu beliau berkata “Bagus, nak..!” Selanjutnya aku menjalani hari-hari di kelas satu dengan pelajaran yang kuanggap mudah. Bagaimana tidak, aku sudah kelas lima di sekolah ayah.
***
Dan kenanganku bersama ayah, kini semakin menari-nari dalam ingatanku ketika kulihat sosoknya terbaring lemah di ruangan serba putih ini. Ingin kupeluk dia dan kukatakan padanya kalau aku teramat menyayanginya. Ayah adalah cinta yang tak pernah pergi dari sisiku. Pun ketika semua orang meninggalkanku. Ayah tetap setia. Sepotong doaku, Tuhan..sembuhkan ayah..


Sudut jendela,
April, 2014



Cerita di Angkot

Seangkot dengan sejoli anak SMA. Sepanjang jalan tak berhenti berceloteh, yang perempuan sepertinya "ngambek" pada teman prianya, terdengar dari pembicaraan mereka. Saya tak bermaksud menguping, tapi lha wong mereka duduknya tepat di depan hidung saya kok. Heheh..

Mereka mengobrol sangat serius. Sepertinya sedang ada masalah genting yang butuh penanganan 1x24 jam, tak bisa ditunda-tunda. Wajah keduanya serius. Mereka berbisik-bisik, sepertinya merembugkan sesuatu. Terus mereka membuka smartphone mereka, sibuk membuka-buka entah apa. "Tuh kan..lihat sendiri, aku harus gimana coba?" Ujar yang perempuan. Teman pria nya terlihat dengan penuh kesungguhan menenangkan dengan sejuta kata-kata yang menentramkan. 

Saya penasaran, masalah apakah gerangan yang sedang menimpa mereka. Jadi saya pasang kuping baik-baik, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut mereka. Tapi ujung-ujungnya saya jadi tertawa sendiri. Ternyata, masalah darurat yang sedang mereka hadapi adalah urusan memasang foto selfie di instagram, dan salah seorang teman nya ada yang komentar bahwa lipstik yang dia pakai terlalu terang warna nya. Hehehe

Memperhatikan mereka, saya kok jadi mikir sendiri. "Sesederhana itukah hidup di mata mereka?" Saya jadi sedikit iri, kok rasanya enak ya jadi remaja seperti mereka yang "urusan daruratnya" cuma sekedar salah memakai lipstik.


Kamis, 22 Mei 2014

Black Magic Woman

Black Magic Woman


Entah kenapa yang pertama kali saya nikmati dari sebuah lagu itu adalah liriknya. Soal genre musik dan lain sebagainya urusan belakangan. Mau dangdut, keroncong, blues, jazz, pop, dll, oke-oke saja. Bagi saya, semua genre musik itu enak untuk dinikmati. Karena saya penikmat lirik, maka sambil dengar musik, sambil mikir. Hehe... Berusaha menangkap kata demi kata. Tak jadi soal kalau lagu nya berbahasa Sunda atau Indonesia, tinggal merem sambil membiarkan musik terus mengalun. Tapi lain lagi perkaranya kalau lagu nya berbahasa asing. Saya harus mati-matian pasang kuping supaya dapat menangkap syairnya. Nah, akhir-akhir ini saya sedang suka dengan lagu ini. Lagu lama tapi mulai sering saya dengarkan kembali. Black Magic Woman. Saya sering putar yang versi Santana feat Gypsi Queen, bukan versi Fleetwood Mac. Musiknya enak, tapi itu dia...saya harus berkali - kali memutarnya baru dapat memahami kata-katanya. maklum..bahasa Inggris saya pas-pasan. Hehehe...
Liriknya unik, coba saja perhatikan,

I Got a Black Magic Woman
I Got a Black Magic Woman
Yes, I Got a Black Magic Woman
She's got me so blind I can't see
But she's a Black Magic Woman
She's tryin to make a devil out of me

Don't turn your back on me baby
Don't turn your back on me baby
Yes, don't turn your back on me baby
Don't mess around with your tricks
Don't turn your back on me baby
You just might wake up my magic sticks

You got your spell on me baby
You got your spell on me baby
Yes, you got your spell on me baby
Turnin my heart into stone
I need you so bad
Magic Woman I can't leave you alone

****

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.