Oleh : Noer Milansyah
Pernahkah kau tahu siapa
yang paling terluka ketika seorang pria menyakitimu? Bisa kupastikan jawabannya
adalah AYAH.
Hubunganku dengan ayah
tak seperti di sinetron atau di film-film, dimana seorang ayah akan membelai
kepala anaknya dengan lembut dan memeluknya ketika anak gadisnya menangis.
Tidak. Hubunganku dengan ayah tak seperti itu. Keluarga kami tidak mengenal bahasa
tubuh seperti itu, tidak akrab dengan ungkapan seperti itu. Kami seisi rumah
kaku. Tak ada ucapan sayang, tak ada pelukan, tak ada ciuman. Bahkan kata-kata
pun terlalu asing buat kami. Jadilah kami anak-anak ayah dan ibu yang lebih
akrab dengan teman masing-msing daripada dengan sesama anggota keluarga. Bagi
keluarganya yang tidak seperti kami, jangan heran. Ada kok keluarga seperti
itu. Keluargaku.
Ayah memang tak pernah
memelukku lagi setelah aku dewasa. Tapi selalu kurasakan jemari ayah mengusap
lembut kepalaku setiap kali kulihat matanya dalam tingkahnya yang kaku. Aku
selalu mendengar ungkapan sayang di balik kata-katanya yang pedas ketika
memarahiku. Selalu kutemukan cinta sebening embun di balik wajah datar ayah.
Ayah adalah patung batu penjagaku.
Walau aku dan ayah banyak
bertentangan, tapi ayah adalah segalanya buatku.
Aku tahu ayah menyukai
perceraianku. Dia tak berusaha menghalang-halangi, tak berusaha mendamaikan
kami. Bahkan ketika hatiku hancur tak punya sandaran, ayah masih tak mau
membantuku. Aku tahu..aku tahu..ukuran kebahagiaanku menurutnya tak sama dengan
ukuranku. Ayah lebih senang aku sendirian. Terlihat dari semua keputusannya
terhadapku, terlihat dari diam nya, terlihat dari sorot matanya. Aku tahu..aku
tahu ayah menganggap ini yang terbaik buatku.
Aku dan ayah adalah air
dan minyak. Hanya cinta tak kasat mata yang masih menandakan kami dua orang
yang saling mencintai. Aku dengan isi
kepalaku, dan ayah yang masih tetap dengan prinsip-prinsip kaku nya. Aku tahu
ayah..prinsip yang kuanggap kaku itulah yang mejadikanku seperti ini sekarang.
Aku menjadi dewasa ayah, aku menjadi perempuan tangguh ayah..semuanya karenamu.
Masa kecilku bersama ayah
adalah kilauan permen kristal warna warni yang manis. Ayahlah yang memelukku
ketika aku merengek-rengek karena sakit atau sedang tak enak hati. Ayahlah yang
menyuapiku ketika aku malas makan. Ayahlah yang mendongengiku ketika aku sulit
tidur. Ayahlah yang mengajariku memegang pensil pertamaku, ayahlah yang
membelikanku buku tulis bergambar wajah orang utan yang sampai sekarang tak
pernah kulupakan. Ayahlah yang setiap hari membawakanku buku cerita
bermacam-macam. Ayahlah yang menyisihkan gaji nya untuk membelikanku majalah
anak setiap bulan. Ayahlah yang membelikanku kartu pos dan prangko supaya aku
bisa menulis surat pada teman-teman di majalah itu. Ayahlah yang pada hari
ulang tahunku memberiku sebuah buku. Ayah yang setiap jam 4 subuh
membangunkanku dengan kaset kasidah atau ceramah Zainuddin MZ yang dia putar
kencang-kencang dari radio. Ayah yang mengajariku mengaji. Ayah yang tak pernah
membiarkanku melewatkan solat berjamaah. Ayahlah yang menjawab setiap
pertanyaan nyelenehku tentang Tuhan. Ayahlah tiang di rumah kami. Penyangga
kebobrokan hati kami. Hatiku…
Ayah yang sampai usia
lanjutnya tak pernah mau berhenti belajar. Ayah tak malu belajar komputer
ketika dia telah memiliki cucu. Ayah yang masih rajin mengumpulkan kitab-kitab
dan buku – buku kesukaannya. Ayah yang tak segan-segan mengeluarkan uang tak
sedikit untuk membeli buku-buku agama. Ya..ayah senang membaca. Ayah senang
belajar. Ayah memang tak kenal sastra, tapi aku kenal Hamka darinya, gerbang ku
menuju dunia cerita, dunia buku, dunia sastra. Ayah adalah pembaca yang hebat.
Kesukaannya adalah buku-buku agama, koleksinya adalah kitab-kitab agama. Buku
yang dibelinya adalah buku-buku agama. Ayah akan memarahiku ketika aku terlalu
banyak membaca komik, akan membentakku ketika aku terlalu larut menonton film.
Seandainya dia tahu..aku kesepian ayah..buku adalah pelarianku. Buku adalah temanku…
Ayah juga yang
mengantarkanku ke SMP. Menjemputku setiap sore ketika matahari berwarna merah
saga. Membawakanku payung dan jas hujan ketika langit yang murung menumpahkan
air matanya. Ayah juga yang mengambil rapot pertamaku dan dengan wajah
berseri-seri dan berkata pada semua orang kalau aku rangking satu. Ayah yang tak
pernah bosan menyuruhku memakai jilbab. Yang keinginanya baru kuturuti ketika
aku kelas 2 SMP. Ayah pulalah yang mengambil surat kelulusanku, yang
menyarankanku untuk masuk ke MAN. Bersama ayahlah semuanya kulalui.
Ayah..aku tahu konflik
kita dimulai ketika aku lulus aliyah. Aku punya jiwa petualang ayah. Semua
karena buku-buku yang kau berikan. Jiwaku telah lama melanglang buana ayah…aku
telah menemui seisi dunia, lewat buku. Lewat buku yang semenjak aku kecil telah
kau sodorkan padaku. Aku ingin melihat seisi dunia ayah, tidakkah kau mengerti?
Aku tidak ingin kuliah disini ayah…
Aku cinta ayah, walau tak
pernah kukatakan itu padanya. Dan sungguh ayah…sangat ingin aku
membahagiakanmu. Sangat ingin ayah...
***
Dan kini, ayah terbaring
sakit. Mataku lepas memandang lewat jendela kamar putih itu. masih pukul enam
pagi. Belum terdengar keramaian di luar kamar ini, hanya sesekali terdengar
langkah-langkah orang lewat. Dari kemarin, jantungku belum berhenti berdegup
kencang. Perasaan cemas dan was-was membuat badanku terus bergetar dan seluruh
tubuhku dingin. Terakhir kurasakan perasaan seperti ini ketika anakku sakit dan
harus dirawat selama sebulan penuh karena terserang demam berdarah. Dan sekarang,
perasaan itu kembali menyelimutiku ketika kemarin siang tiba-tiba ayah pingsan
dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kupandangi kembali tubuh ayah yang tergolek
lemah di tempat tidurnya. Selang infuse dan tabung oksigen terus terpasang dari
kemarin. Jantung koroner. Begitu kata dokter. Sedikit banyak aku tahu apa itu
jantung koroner, dan vonis dokter itu tiba-tiba membuat tubuhku lemas.
Tulang-tulangku terasa ngilu, ada sesak yang tiba-tiba menyergap. Tak terasa,
kedua pipiku mulai basah lagi.
Aku kembali menatap
keluar jendela. Sebuah taman tampak ceria dengan bunga aster di kanan kirinya.
Rumah sakit ini berbeda dengan rumah sakit umum daerah tempat biasa ayah
berobat. Ini rumah sakit kelas menengah, semua fasilitas ada di sini. Aku
memaksakan membawa ayah kesini, urusan biaya, biar kupikirkan belakangan. Aku
hanya ingin ayah sembuh. Aku telah lupa kapan terakhir kali berdo’a, tapi saat
ini..tak terasa aku bergumam lirih, “Tuhan..tolong jangan ambil ayah..”
****
Ayah adalah pria tua berbadan kurus dengan rambut
yang hampir semua memutih. Tapi tangan ayah adalah tangan paling kekar, pun
ketika usianya telah memasuki senja. Kini, tangan kekar itu terhubung dengan
selang infus yang dari kantong di atasnya menetes air setitik demi setitik.
Kupandangi wajahnya yang tidur. Ayah terlelap setelah tadi perawat
menyuntikkan satu ampul obat ke selang infusnya. Jantung koroner yang
membawa ayah memasuki rumah sakit ini tiga hari yang lalu. Saat itu ayah baru
pulang dari sekolah tempatnya mengajar. Biasanya ayah membawa motor, tapi
karena dokter melarangnya, sudah seminggu itu ayah naik angkutan umum ke
sekolah. Siang itu pukul dua lebih seperempat, kelelahan rupanya membuatnya
ambruk di trotoar jalan. Untung ada seorang muridnya yang juga sama-sama sedang
menunggu angkutan umum dan segera berteriak minta tolong ketika ayah
tersunghkur di jalanan beraspal itu. Orang-orang yang menolongnya tidak membawa ayah ke rumah, tapi langsung melarikannya ke rumah sakit. Pihak sekolah yang
pertama kali memberi tahu. Rupanya, rumah sakit menghubungi nomor yang diberikan
oleh murid ayah itu. Tepat pukul empat sore, kami bertiga kakak beradik
tergopoh-gopoh datang ke rumah sakit dengan wajah cemas. Betapa tidak, ayah
sudah berkali-kali pingsan seperti itu. Dokter sebenarnya sudah melarangnya
untuk bekerja, jangankan bekerja, beraktivitas di luar rumah pun sebenarnya
sudah tidak boleh. Tapi ayah bersikeras, kasihan murid-murid katanya, setiap
kali aku melarangnya ke sekolah. Ayah memang senang menjadi guru, pekerjaan itu
telah ditekuninya bahkan sebelum aku lahir ke dunia. Sejak aku kecil, seingatku ayah telah menjadi sosok yang begitu kubanggakan. Dulu, ketika usiaku masih
tiga-empat tahun, aku sering diajak ayah ke sekolah. Berjalan kaki dari rumah
ke sekolah yang jaraknya puluhan kilometer. Lintas kecamatan. Ayah mengajar di
kecamatan tetangga. Jarak nya sangat jauh dari rumah. Apalagi, ayah menempuhnya
dengan berjalan kaki. Belum ada angkutan umum waktu itu. Seingatku, kami akan
menyusuri jalanan desa berbatu yang seterusnya disambung dengan jalan tanah
yang licin dan berlumpur kalau sudah musim penghujan. Kemudian kami akan
berbelok memasuki jalan setapak yang di kiri kanannya tumbuh ilalang
tinggi-tinggi. Aku ingat, di antara ilalang-ilalang itu banyak pohon nanas yang
tumbuh, kata ayah, kami sudah memasuki perkebunan warga. Aku senang sekali
berjalan ke sekolah setiap hari bersama ayah. Walau kaki kecilku hanya kuat
berjalan beberapa puluh meter saja. Selebihnya, ayah akan dengan riangnya
menggendongku. Waktu itu aku senang saja, tak peduli dengan peluh ayah yang
hampir membuat seluruh kemejanya basah, tak peduli dengan wajah ayah yang
sudah memerah karena kepanasan. Tapi ayah tetap menggendongku. Perjalanan
berjam-jam itu akan aku lewatkan bersama dongeng-dongeng ayah sepanjang
perjalanan. Aku paling senang dengan cerita perang badar, cerita paling heroik
yang kudengar waktu itu. Bagaimana tidak, pasukan kaum muslimin yang hanya
sedikit jumlahnya itu mampu mengalahkan pasukan kaum qurais yang berlipat-lipat
banyaknya. Di situlah tangan Tuhan bekerja, begitu kata ayah. Selain
cerita-cerita di zaman nabi, ayah juga sering mendongengi aku dengan cerita
binatang dari tanah Sunda. Tentang sakadang kuya, sakadang monyet, Dalem Boncel, Paninggaran jeung Japati, cerita tentang raksasa dan anak yatim piatu, juga tak ketinggalan cerita Si Kabayan yang selalu membuatku terpingkal-pingkal.
Cerita-cerita ayah itu mengalir bak aliran air yang tak pernah kering setiap
harinya. Belakangan, baru kusadari, kalau cerita-cerita ayah waktu itulah,
yang membentuk karakterku sekarang.
Sesampainya ke sekolah,
kami akan disambut oleh teriakan-teriakan murid-murid ayah Mereka berebut
menyalami tangan ayah. Aku pun suka ikut-ikutan diajak bersalaman oleh mereka.
Kalau sudah seperti itu, aku akan bersembunyi di balik punggung ayah, merasa
anak-anak kelas 4 dan 5 sekolah dasar itu adalah makhluk-makhluk yang terlampau
besar untukku. Aku tak berani bermain-main dengan meraka. Tapi itu hari-hari
pertama aku ikut ke sekoalh, selanjutnya, aku menjadi sangat akrab dengan
mereka. mereka sering meminjamiku buku tulis dan pensilnya untuk kucorat coret.
Kadang-kadang, aku meniru tulisan-tulisan mereka yang waktu itu menurutku mirip
rumput yang tumbuh di pekarangan sekolah. Semua tulisannya bersambung dan
panjang-panjang. Itu kalau aku ikut mengajar dengan ayah di kelas 5 atau 6.
Tapi aku paling senang kalau ikut ayah mengajar di kelas 1 atau 2, ayah
menulis memakai huruf yang dipisah-pisah, dan aku bisa menirunya dari kolong
meja. Ayah adalah guru agama, beliau mengajar di semua kelas di Sekolah Dasar Negeri itu. Akhirnya, karena teramat sering mengikuti ayah ke
kelas-kelas. Tanpa diajari, aku mampu membaca dan menulis ketika usiaku baru
menginjak empat tahun.
***
Aku ingat hari itu senin
kedua di bulan Juni tahun 1991. Aku diantar ibu ke sekolah. “Tidak usah ikut ayah, kamu sekolah di dekat sini saja”, kata ibu waktu itu. Aku yang telah
berusia tujuh tahun dan sudah didaftrakan ibu untuk bersekolah di SD Negri di
kampungku itu merengek-rengek tidak mau ditinggalkan ketika hari pertama masuk
sekolah telah tiba. Ibu terpaksa ikut duduk di dalam kelas, baru, setelah ibu
guru kelas satu masuk, aku mulai mau ditunggui di luar saja. Pada hari kedua,
ibu guru meminta kami membaca ke depan seorang-seorang. "Untuk mengetes siapa
yang sudah bisa baca," begitu kata bu guru. Dan aku, dengan beraninya melangkah ke depan dan membaca keras-keras seluruh bacaan di buku itu. Ibu guru
bertepuk tangan, dan kuingat, waktu itu beliau berkata “Bagus, nak..!” Selanjutnya aku menjalani hari-hari di kelas satu dengan pelajaran yang kuanggap
mudah. Bagaimana tidak, aku sudah kelas lima di sekolah ayah.
***
Dan kenanganku bersama
ayah, kini semakin menari-nari dalam ingatanku ketika kulihat sosoknya
terbaring lemah di ruangan serba putih ini. Ingin kupeluk dia dan kukatakan
padanya kalau aku teramat menyayanginya. Ayah adalah cinta yang tak pernah
pergi dari sisiku. Pun ketika semua orang meninggalkanku. Ayah tetap setia. Sepotong doaku,
Tuhan..sembuhkan ayah..
Sudut jendela,
April, 2014