Selasa, 17 November 2015

Cerita Subuh





Sekumpulan sunyi bernyanyi padanya di subuh yang sepi.

Mungkin ada yang hilang, mungkin juga ada yang tidak hilang. Ketika bulan sabit masih tergantung di subuh yang sunyi, suara jengkerik yang masih ramai, dan embun yang baru turun, ada hati yang juga sepi. Benarkah cahaya ilahi itu telah benar-benar pergi darinya? Cahaya yang dia butuhkan ketika semuanya tak lagi menjadi seperti semula. Tetapi hatinya tak benar-benar kering. Ada keajaiban yang menyihir kebekuan hatinya kemarin siang. Ketika seorang professor beruban dan berjanggut putih berdiri di depan kelasnya. Professor tua itu mengingatkan dia pada apa yang menjadi awal cita-citanya dahulu. Kata-katanya yang  lembut dan tidak pernah menjudge itu mampu membuat matanya terasa panas dan hatinya melumer. Dia tahu telah berjalan sedemikian jauh dan tertinggal dari rombongan. Dia hanya seorang musafir tak berkawan di tengah padang pasir yang kering dan tandus. Tak tahu arah tujuan, dan hampir mati kehausan. Tiba-tiba, professor tua itu menjelma oase yang memuaskan dahaganya. Dia tak jadi mati kering. Matanya basah oleh ingatan-ingatan tentang kecintaannya pada Tuhan. Tuhan yang dahulu begitu dekat dan dicintainya tanpa syarat. Tuhan yang membuatnya menjadi manusia paling berbahagia di dunia.

Kabut tipis mulai turun di luar kelasnya. Langit biru, bukit hijau, dan semua yang berwarna beberapa menit lalu terlihat dari balik jendela, telah berubah putih semua. Gerimis di kota kecil itu menjelma hujan deras yang menantang suara-suara mereka di dalam kelas. Beberapa orang kawannya tampak antusias menyimak setiap ucapan sang professor. Professor bersuara lantang itu tetap tak bisa dikalahkan oleh hujan. Sampai tiba pada bagian bahwa Allah lah tujuan segala upaya manusia di dunia ini, matanya mendadak basah. Apa sebenarnya tujuan dia di dunia? Apakah hanya sekedar mengejar cita-cita? Apakah hanya untuk mencari cinta? Apakah hanya untuk mencintai dan peduli? Iya, dia hanya mencari hal-hal seperti itu. Dia lupa bahwa hidup tak selamanya akan terus bersamanya. Suatu hari dia akan pergi, akan meninggalkan. Dan kemana dia setelah itu? Apakah dia hanya akan menjadi kabut-kabut tipis yang mudah menghilang, ataukah hanya menjadi mentari yang ketika terbenam juga hilang? Atau jadi angin yang sebentar kemudian terbang? Ataukah jadi air yang pada saat kemarau tak lagi mengalir? Tidak. Semua itu bukanlah keabadian. Semua itu akan berakhir. Ditinggalkan atau meninggalkan. Bukankah seperti itu rumus kehidupan manusia di dunia? Ada, kemudian hilang dan pergi. Atau hilang, kemudian ada, lantas hilang kembali. Tak ada yang selamanya hilang, tak ada yang selamanya ada. Tak ada juga perjalanan yang tanpa akhir. Semua pasti bermula dan berujung. Bukankah manusia itu seorang pejalan yang hebat? Ketika kakinya tak mampu lagi menapak, dia akan berenang, terbang, atau apapun yang mampu membuatnya bergerak. Manusia tak pernah berhenti bergerak. Tak pernah berhenti hidup selama perputaran bumi masih dikehendaki Tuhan. 

Kokok ayam mulai terdengar. Subuh juga akan berlalu meninggalkannya pergi. Awal musim penghujan. Kabut tipis hampir setiap pagi mampir di jendelanya. Membuatnya bisa menuliskan namanya di kaca jendela. Kadang-kadang juga cita-citanya. Atau sesekali surat cinta yang dia kirim untuk kekasih sepi nya. Surat itu kadang berkata, “Aku merindukanmu sebanyak tetesan hujan…”

Kali ini dia tak lagi berkirim surat. Subuhnya dihabiskan di atas hamparan sajadah yang hampir-hampir tak dia kenali lagi. Dingin, asing. Benda itu bahkan terasa janggal di tangannya ketika dia menyentuhnya. Matanya berusaha berkata “Ini aku..!” Dan duduk berlama-lama di atasnya, adalah nostalgia yang menghamparkan sejuta kenangan di hatinya. 

Subuh bernyanyi. Orkestranya adalah sekumpulan sunyi yang tiba-tiba berubah menjadi nada-nada yang indah. Nyanyian itu memenuhi kamarnya. Mengajak menari kepada pintu, jendela, lemari, dan rak-rak buku nya. Ini kah bahagia yang dia cari? Ketika hatinya mampu melihat sedikit cahaya di kegelapan? Ketika dia dapat mengajak subuhnya bernyanyi dan sunyi nya menari? Tidakkah sekarang dunianya menjadi ramai? Tidakkah sekarang dia berkawan? Dia masih belum tahu…

Gerimis semalam meninggalkan basah di jalan, di dahan, di ranting, di genting, juga di hatinya. Langit yang mulai membiru, dan matahari yang kira-kira akan segera membuka matanya, membuat pagi ini terlihat seperti wajah seorang gadis cantik yang baru terbangun dari tidurnya. Bukankah kecantikan itu lebih banyak tertangkap pada sesuatu yang alami, ketika tidak ada sedikitpun kepalsuan yang menutupinya? Dia membuka jendelanya lebar-lebar. Merasakan oksigen memenuhi paru-parunya. Membiarkan angin lembut menyentuh pipinya seperti tangan seorang gadis kecil. Halus dan dingin. Dia melihat sesuatu yang luput dari penglihatannya selama ini. Keindahan! Ya, bahkan semut yang sedang berbaris di dinding pun sekarang tampak begitu indah di matanya. Apakah selama ini matanya buta? Ataukah justru keindahan itu yang tidak ada? Ah, tidak..! Matanya sajalah yang kira-kira tak dapat melihat. Berapa ribu keindahan yang telah dia lewatkan? Berapa juta kenikmatan yang luput dia rasakan? Tiba-tiba dia terhenyak. Banyak. Sudah terlampau banyak. Bukankah matahari juga dia ingkari? Bukankah udara yang dia hirup juga tak pernah diakuinya? Juga aliran darahnya, detak jantungnya…apakah dia mengakui semua itu? Tidak..! Iya, dia selalu menyangkalnya. Menyangkal setiap kenikmatan yang dianugerahkan Tuhan pada hidupnya yang singkat. Dan betapa Tuhan masih teramat baik dengan tak mengambil itu semua darinya, bahkan setelah apa yang dia lakukan pada-Nya. Dia mengkhianati Tuhan! Dan lihat, betapa Tuhan masih merengkuhnya dalam kasih sayang.

Dia menarik nafas panjang, tersenyum pada serombongan semut yang sedang berjalan, dan kemudian berkata hampir tak terdengar, “Selamat pagi matahari..subuh ini aku bertemu kekasihku.”


Sudut Jendela

05:00

08112015



Selasa, 13 Oktober 2015

Manusia Plastik



“Tuhan maha adil.” 

Kata yang sempat kusangsikan, tapi akhirnya selalu tak bisa kusangkal kebenarannya. Dan kukira, soal keadilan, bukan ukuran manusia untuk menakarnya. Pemikiran seperti itu tiba-tiba saja menghampiriku ketika sedang duduk selama lima menit di depan hamparan kebun papaya yang sedang berbunga di samping kolam lele yang baru saja ditanami ketika menunggu jam mengajar. Sekuntum bunga pepaya yang masih muda jatuh ke tanah. Tapi ada tunas bunga baru yang bersiap hendak tumbuh. Kiranya seperti itu pula hidup ini. Ketika sesuatu pergi, sebetulnya dia hanya berpindah tempat. Hanya digantikan oleh sesuatu lain yang ditakdirkan Tuhan, dan yang pergi itu pun tengah menjalani takdir Tuhan yang lain. Apa salahnya hidup yang seperti itu? Bukankah hidup ini terus berjalan seperti perputaran bumi? Jalani dan jalani saja. Berhenti justru akan menggangu keseimbangan.

Aku tidak tahu harus memaknai ini sebagai apa. Harus menerjemahkan ini ke dalam bahasa apa. Yang aku tahu, aku hanya sedang belajar berbahasa, belajar berkata-kata. Tiba-tiba aku teringat suatu siang di tahun yang berbeda, ketika sedang duduk dengan seseorang yang istimewa di sebuah ruang baca. Di depanku, seorang kawan tengah khusyuk dengan ensiklopedi bebahasa Inggris. Tiba-tiba, seorang lelaki berkemeja  hitam memasuki ruangan itu. Langkahnya terhenti ketika tak sengaja beradu pandang denganku dan menangkap sorot “asing” dari mataku. Jantungku berdegup kencang, dan dadaku terasa sesak. Dua orang yang tengah bersamaku hanya saling berpandangan. Tak ada yang dapat memahami “bahasa” itu selain aku dan lelaki berkemeja hitam itu.  Dia memalingkan wajahnya dariku. Aku menahan diri untuk tak menghampirinya. Tetapi, awan mendung yang tiba-tiba menghampiri langitku saat itu tak mampu dihalau walau dengan kehadiran seseorang yang teramat istimewa di sampingku. Aku sedang tak di tempatku. Aku tengah menyambangi langit mendung di wajah lelaki berkemeja hitam itu. Kulihat, bayangannya perlahan meninggalkan hatiku…

Aku menarik nafas lega. Begitukah rasanya jadi pencuri? Seumur hidup aku tak pernah mencuri. Tak pernah tahu bagaimana rasanya. Tapi lelaki berkemeja hitam itu telah memberitahuku banyak hal. Telah mengajariku banyak hal. Dan semenjak saat itu, aku bersumpah, aku tak akan pernah lagi mencuri apapun..! Masih kuingat bayangannya menghilang diantara deretan rak buku, kemudian langkahnya terdengar samar menuju pintu. Aku tak tahan menanggung perasaan sebagai pencuri. Akhirnya kukejar bayangannya, dan sebagai pencuri, aku hanya bisa berkata, “Bagaimana kabarmu?”

Dan hari ini, Tuhan memberiku keadilan yang selalu kupertanyakan seumur hidupku. Bukan hanya jawaban yang kuperoleh, Tuhan memberiku semua yang tak pernah kuketahui. Sewaktu kecil, aku selalu bertanya kepada ibuku, “Bagaimana rasanya menjadi seperti itu?”, “Bagaimana rasanya menjadi seperti ini?”, “Bagaimana rasanya menjadi ini, menjadi itu…?” Dan sepanjang perjalanan hidupku yang tak terlalu panjang, Tuhan memberikan lebih dari sekedar  jawabannya kepadaku. 

Suatu hari aku menekan nomor ponselnya di ponselku. Aku hampir tak yakin kalau itu masih nomor yang sama. Tapi nomor yang kuharap salah itu ternyata benar. Dan suara di seberang sana juga masih suara yang kukenal. Setelah bertahun-tahun..setelah hampir-hampir kehilangan ingatan, aku hanya mampu berkata, “Maaf..”. Setelah sekian lama, hanya itu yang ingin kukatakan.  Dan air mata yang dengan angkuhnya tak kubiarkan untuk mengalir itu akhirnya tak dapat kubendung lagi. Aku tak ingin apa-apa. Hanya  sebuah kalimat pendek “Aku memaafkanmu” yang ingin kudengar. 

Hampir sepuluh tahun berlalu, aku telah mendengar kalimat itu darinya. Dan aku lega. Meski beban itu belum sepenuhnya meninggalkanku. Aku cukup bahagia, ketika mendengar dia bahagia. Kebahagiaan yang pernah aku rampas darinya, kebahagiaan yang bahkan belum sempat menyinggahi meski sekedar ruang sempit di hatinya. Dan bukankah Tuhan dengan teramat bijaksana telah menunjukkan bagaimana semua ini semestinya terjadi? Sebagaimana Tuhan telah memperlihatkan bunga papaya yang jatuh itu. Bunga yang gugur, jatuh ke tahan, dan digantikan tunas yang baru. Begitulah seharusnya semua siklus berjalan, berputar, dan di situlah akan didapati keseimbangan yang hakiki. Tak ada yang abadi, semua memiliki masa nya masing-masing. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mengisi ruang satu ke ruang lain, dan berjalan dari satu alam ke alam lain. Yang sesungguhnya, hal seperti itu tak menghilangkan keberadaan, hanya ruang dan waktu yang berbeda. Kemanakah kita setelah mati? Bukankah kita juga hanya akan berpindah tempat? Dari alam yang serba tak kekal ini menuju ke keabadian yang sejati? Bukankah seperti itu firman Tuhan kepada kita hamba-hambanya? Lantas, apa yang mesti kurisaukan sekarang? Apa-apa yang hilang, bukankah hanya menunggu saat-saat untuk ditemukan kembali? Dan tentang takdir Tuhan..manusia terlalu tak tahu apa-apa untuk menanyakannya. 

Hidup dan kehidupan adalah keserasian yang telah Tuhan berikan. Kita lah yang terkadang merusak keselarasan. Menyepadankan ini dengan itu, mematutkan yang disana dengan yang disini. Mereka membuat ukuran dan penilaiannya sendiri-sendiri. Sedang penilaian mereka itu sendiri, tak pernah sama, tak pernah ajeg, tak pernah seragam. Ini bukan soal harus menerima apa-apa yang diberikan Tuhan begitu saja. Tidak, bukan soal itu. Manusia diberi keleluasaan untuk memilih apapun, untuk menentukan apapun. Ini lebih tentang bagaimana sikap manusia untuk menyadari semua sifat-sifat kemanusiaan yang telah ada pada dirinya.

Terakhir kali aku melihat lelaki berkemeja hitam itu, ketika bayangannya ditelan rimbun pepohonan, suaranya tersapu deru kendaraan, dan semenjak itu ada yang terbang dari hatiku. Sebuah keyakinan. Ya, aku kehilangan sesuatu yang berharga! Keyakinan pada diriku sendiri. Semenjak hari itu, aku tak lagi menamai diriku seperti sebelumnya. Aku terlahir menjadi manusia yang berbeda. Manusia yang sebelumnya tak kukenali. Manusia yang telah mencabut akar kemanusiaannya dari tanah kehidupan. Manusia yang lebih memilih menjadi plastik yang tak dapat diuraikan tanah ketimbang menjadi daun-daun yang gugur mengikuti takdirnya. Ya, aku memilih menjadi manusia plastik yang tak gampang rapuh, yang tak mudah membusuk, dan tak mudah hancur diinjak-injak orang. Untuk itu, aku lebih memilih menjadi orang macam plastik yang mengkilat, kuat, dan praktis. Meski kusadari, pada akhirnya aku hanya akan menjadi sampah yang sulit diuraikan tanah. Aku tak akan diterima bumi. Aku mesti didaur ulang, menjadi barang baru, dan begitulah siklus kehidupanku selanjutnya. Itulah resikonya menjadi manusia plastik. Ya..aku pun demikian. Semenjak lelaki berkemeja hitam itu ditelan bumi, aku tak lagi akrab dengan bumi. Duniaku semuanya semu. Aku menenggelamkan diri dari satu sumur kepalsuan, ke sumur kepalsuan lainnya. Dan siklus itu sampai sekarang masih mengugkungku seperti lingkaran setan yang sukar diputus.

Salahkah  jika aku igin kembali membumi? Aku ingin menjadi daun-daun gugur yang tak abadi saja. Meski siklusku singkat, tapi aku akan menjadi sesuatu yang berguna. Aku akan menggemburkan tanah, memberikan kehidupan bagi tumbuhan-tumbuhan lainnya. Kukira, seperti itulah seharusnya hidupku. Dan memang seperti itulah aku dahulu. Sebelum aku menjadi pencuri, aku hanya selembar daun yang hijau, dengan tangkai yang rapuh. Mendambakan keabadian seperti benda-benda yang setiap hari dia lihat berseliweran. Sayang, pilihannya tak memberinya kedamaian. Sekeras apapun dia berusaha menjadi plastic, dia ditakdirkan menjadi daun. Meski rapuh, tapi dia berguna. Tapi menjadi plastik yang akhirnya hanya berupa sampah, sungguh dia tak menemukan kedamaian disana.  

Ah sudahlah, aku hanya ingin tak lagi tak tembus air. Aku ingin menyerap semua sumber kehidupan. Aku ingin melebur bersama tanah, debu, dan angin. Aku ingin kembali ke asalku. Aku ingin akrab dengan duniaku kembali. Ya, aku ingin kembali membumi.


Sudut jendela, 2015
Selepas maghrib

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.