Senin, 30 Maret 2020

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini. 

Rabu, 01 Agustus 2018

Kali Pertama Aku Membunuh

Aku bermimpi membunuh seseorang. Jasadnya aku masukkan ke dalam drum besar kemudian kurendam dengan cairan kimia. Kubiarkan selama tiga hari dan setelahnya isi drum itu berubah menjadi cairan berbau busuk dan berwarna hitam kemerahan. Seperti warna basi berkarat bercampur tanah liat. Aku punya pilihan menghanyutkan drum itu ke lautan atau menumpahkan isinya ke dalam jurang. Aku memilih yang kedua. Kutuang isinya ke jurang, dan kucuci drumnya lantas kujual ke tukang rongsokan. Biar didaur ulang, biar hilang dosa-dosa yang melekat di dindingnya. Aku muak dengan dosa!
Aku amat membenci orang itu. Semasa hidup dia terlampau dalam membuat luka di batinku. Aku sama sekali tak ingat apa yang telah dia lakukan. Aku hilang ingatan. Hanya saja..setiap menatap matanya...aku merasakan kebencian yang amat sangat. Mata lembut itu seperti mata kucing besar di tengah belantara yang sedang mengincar mangsa. Aku merasa dia dulu amat dekat denganku. Entah sedekat apa. Aku benar benar hilang ingatan. Aku hanya merasakan kebencian yang amat sangat setiap bertatapan dengan mata itu.

Entah mengapa aku membunuhnya. Kata orang dia pernah amat sangat menyintaiku. Tapi..iya kah? Cinta seperti apa? Aku sama sekali tak mengingatnya. Aku hanya merasakan kebencian teramat dalam ketika menatap matanya. Mata lembutnya..entah kenapa...

Semenjak aku memasukkan jasadnya ke dalam drum dan merendamnya dengan cairan kimia, aku merasa seperti telah melepaskan beban berat untuk sebuah beban baru yang lebih berat. Dulu aku menanggung kebencian..sekarang menanggung kesedihan. Kesedihan yang juga tak kumengerti. Sama seperti kebencian yang tak kumengerti setiap kali bertatapan dengan matanya.

"Untung dia hilang ingatan," seseorang berkata di balik punggungku. Aku mendengar mereka berbisik bisik mengenai aku dan pria yang jasadnya kumasukkan ke dalam drum itu. "Jikalau tidak, aku yakin dia akan gantung diri tak kuat menanggung beban itu." Orang orang terus bicara di balik punggungku, dan aku terus bertanya tanya, "Siapa orang itu?"

Aku membunuhnya dengan tenang. Bahkan sambil tersenyum. Kuberikan dia secangkir kopi di ambang jendela yang berkabut. Cara paling romantis untuk mati. Aku menatap matanya yang selalu membuatku merasakan membenci. Aku tak salah ingat, aku tersenyum padanya..menikmati saat-saat kopi itu merenggut nyawanya dan cangkir putih berukir bunga cempaka itu terjatuh hancur menimpa lantai. Ya, aku tersenyum. Meski aku tahu aku sama sekali tidak sedang merasa gembira. Aku bahkan tak merasakan apa apa. Aku hanya ingin tersenyum.
Dia, pria yang jasadnya kumasukkan ke dalam drum, sesaat sebelum matanya yang terbeliak menahan sakit itu terpejam, sempat kulihat berkaca kaca. Entah mengapa..saat itu aku tak lagi membencinya. Aku hanya merasa dingin. Hatiku terasa dingin. Ya...dingin...aku sungguh tak merasakan apa apa...
***

Ruangbisu
030817

Memelihara Kucing

Saya sudah memutuskan mau memelihara kucing saja. Bukan kucing anggora atau kucing hias lainnya yang selalu sengaja saya lihat-lihat di pasar hewan dekat jalan menuju kantor, tapi kucing kampung berwarna kuning yang selalu datang ke belakang rumah setiap pagi dan sore. Entah dari mana asalnya, tapi kucing itu selalu datang dari arah kebun di belakang rumah. Saya butuh kucing, setidaknya untuk mengganti kura-kura yang mati beberapa waktu lalu. Tapi tak seperti kura-kura, kucing kampung bukan hewan pendiam yang bisa dielus atau digendong, dia lebih suka melompat-lompat atau mengejar anak ayam yang baru keluar kandang. Tapi tak apalah, setidaknya dia masih bisa diajak bicara sesekali. Menemani minum kopi atau menungguiku makan dengan alasan sederhana, menunggu sisa ikan! Kemudian kami akan sama-sama saling membutuhkan, saya butuh ditemani makan, dia butuh sisa ikan. Hubungan paling rasional antara sesama makhluk Tuhan, bukan?

Dan sebagai hewan peliharaan baru, dia pun perlu diberi nama juga. Sudah saya timbang-timbang beberapa nama pilihan, tak jadi saya menamainya si Joni, karena terlalu tak cocok dengan wajah polosnya yang lucu setiap kali dia menatapku. Dan karena kebingungan mencari nama, ujung-ujungnya saya panggil juga dia si Pussi.

Si Pussi sedari pagi telah mengeong-ngeong di balik jendela. Biasanya sebelum resmi jadi peliharaan dia suka menunggu saya membuka jendela dan duduk manis di tembok rumah sebelah sambil melihat ayam lewat. Dia tahu kebiasaan saya minum kopi di ambang jendela sambil mengunyah sesuatu. Tak peduli apa yang saya makan, dia selalu memungut apapun yang saya lemparkan. Sesekali saya tertawa melihat tingkahnya ketika melompat-lompat atau mengejar anak-anak ayam. Dan kalau sedang tak ada orang, dia akan jadi pendengar setia setiap saya bercerita. Mulai sekarang dia yang akan mendengarkan saya bercerita tentang pekerjaan, tentang laporan, tentang orang-orang, tentang apa saja yang dimakan, tentang kemana saja saya pergi seharian, tentang anak-anak di sekolah yang kadang menjengkelkan, tentang ban sepeda motor saya yang lagi-lagi ditambal, tentang laut disini yang sedang pasang, tentang puisi yang baru saya tulis, tentang cita-cita, tentang mimpi-mimpi...tentang semuanya...
***
Kadang saya berpikir, betapa manusia itu makhluk yang paling takut sendirian. Sampai-sampai mereka butuh kucing atau sekedar tanaman kecil dalam pot. Sesuatu yang menyimbolkan kehidupan. Semua yang hidup, butuh sesuatu yang hidup lainnya. Itulah mungkin, memelihara hewan ataupun menanam sesuatu menjadi semacam kebutuhan bagi sebagian orang. Saya suka dan senang melihat makhluk hidup. Apapun. Manusia, hewan, tumbuhan.. semuanya membawa kegembiraan tersendiri. Saya paling senang melihat anak-anak. Selama 14 tahun terakhir, hari-hari saya dihabiskan bersama mereka. Percayalah, apabila kau orang yang menghabiskan banyak waktu bersama anak-anak, maka kau adalah orang paling bahagia di dunia. Mereka melatihmu untuk sabar, melatihmu untuk mendengar ocehan, teriakan, makian, rajukan, rayuan, tangisan.. Betapa anak-anak adalah miniatur manusia itu sendiri. Manusia mana yang tak kekanak-kanakan? Mereka kadang-kadang berteman, sebentar kemudian bermusuhan, sebentar tersenyum, sebentar saling memajukan mulut. Kadang saling memberi, tak jarang saling merebut. Tapi tahukah apa yang  membedakan anak-anak dengan manusia dewasa? Anak-anak akan cepat berbaikan, berpelukan, bersalaman, saling tersenyum kembali, bermain bersama lagi, dan saling menyayangi kembali. Sedang apa yang dilakukan orang dewasa? Mereka dengan angkuh berkata, "Kita tidak akan bertemu kembali!", "Aku membencimu seumur hidupku!", "Jangan pernah menampakkan diri di hadapan mukaku lagi!", "Akan kubalas perlakuanmu dengan yang lebih dari ini!" mereka mendahului ketetapan Tuhan dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah dijaga. Jika sudah demikian, lantas siapa sebetulnya yang patut disebut anak-anak?
***

Jelaga
310718

Obrolan di Warung Kopi

Suatu malam tiba-tiba saya duduk di sebuah warung kopi pinggir jalan. Tanpa disengaja ada seseorang yang dikenal menghampiri. "Sedang apa disini?" Saya cuma senyum karena tak usah dijawab pun dia tahu saya sedang menunggu pesanan kopi. Akhirnya kopi yang dipesan pun datang. "Masih kopi yang sama juga dengan dulu?" Lagi-lagi saya cuma tersenyum. Malas sebetulnya meladeni obrolannya. Tadi pergi sendiri pun berniat ingin duduk-duduk sendirian saja sambil menghirup udara kering awal Agustus di tengah kota Sukabumi. "Apa kabarmu sekarang?" Tanyanya kembali. Saya cuma mengangkat bahu sambil tersenyum kecut yang mungkin dia artikan sebagai senyum sinis. Buktinya setelah itu dia malah menyeringai dan mulai lagi dengan ocehannya mengenai "Dunia yang dipenuhi manusia-manusia serigala." Dan sebelum dia mulai menceramahi saya perihal betapa bobroknya dunia yang sedang kami tempati ini, saya mendahuluinya berbicara, "Saya sedang tak ingin berdebat soal apapun." Giliran dia yang mengangkat bahu dan mulai mengeluarkan rokok kreteknya. Lama kami terdiam sampai kemudian dia berkata, "Konon katanya efek endorphin bisa sampai tiga ratus kali lebih dahsyat dari morphin." Dia mengisap rokoknya perlahan dan melanjutkan perkataannya, "Jadi daripada kau tidur berhari-hari, lebih baik kau pergi nonton komedi!" Saya meliriknya sepintas untuk kemudian menyeruput kopi di gelas sedikit demi sedikit. "Apa kau tahu, kepalamu itu sesekali mesti terbentur, tak sadarkan diri, dan setelah terbangun otakmu akan sedikit beres." Saya tak menggubris ocehannya dengan terus bermain-main dengan sendok di gelas kopi.

Malam semakin ramai. Lalu lalang kendaraan dan hilir mudik orang-orang terlihat bagai tayangan slow motion sebuah film. Udara mulai terasa dingin. Saya semakin merapatkan jaket yang dipakai. Belakangan kulit terasa semakin sensitif saja, tak boleh kena dingin sedikt, langsung berubah merah dan kering. Agustus kesekian, dan masih dengan udara yang kering. Gelak tawa di meja seberang, riuh rendah percakapan di tenda-tenda makanan sebelah memberitahukan bahwa orang-orang mencari hiburan di tengah penatnya aktivitas mencari nafkah di siang hari. Bahagianya mereka karena hanya bekerja sebatas pagi sampai siang atau pun sore. Sedang saya, malam-malam begini masih harus ada di luar rumah dan berkutat dengan pekerjaan. Bukan maksud hati mendewakan yang tak semestinya, tapi mau bagaimana lagi? Hidup terkadang harus terjebak dalam lingkaran mau tidak mau dan apa boleh buat. Satu-satunya cara membuat semua terasa ringan dan menyenangkan adalah menerima apapun yang kita dapat, menyukainya, dan akhirnya apapun itu akan kita syukuri habis-habisan. Begitulah terkadang cara Tuhan mengajarkan manusia tentang hidup dan kehidupan. Ini bukan melulu soal apa yang kita suka dan tidak kita suka. Sesungguhnya ini hanya soal otakmu dipakai dengan cara apa dan hatimu digunakan untuk merasa apa. Maka otak dan hati inilah yang memutuskan menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Bukan sesuatunya, bukan objeknya. Maka apabila kita tidak mendapatkan apa yang kita sukai, perihal pekerjaan misalnya, maka bilanglah pada hati dan otak untuk menyukai saja apa yang kita dapat.

Malam semakin larut, gelas kopi telah kosong. Kawan saya tadi telah mengisap lagi rokoknya yang entah keberapa batang. "Apa perlu kupukulkan kepalamu?" Katanya sambil tertawa. Mau tak mau saya tersenyum juga. "Ya..tolong pukul belakang kepalaku biar ingat bumi itu bulat!"
***

Malamkesekian
010818

Selasa, 31 Juli 2018


KASIH SAYANG TERHADAP SESAMA MAKHLUK
Oleh: Noer Milansyah


Dalam kitab Almawa’idhul ‘Usfuuriyah, ada satu hikayat yang menceritakan bahwa pada suatu saat sayyidina Umar r.a. berjalan-jalan di sepanjang kota Madinah. Disana beliau melihat ada anak kecil tengah mempermainkan burung pipit yang ada di tangannya. Melihat hal itu, Sayyidina Umar merasa kasihan terhadap burung tersebut sehingga beliau memutuskan untuk membelinya dari anak kecil tadi untuk kemudian dilepaskan supaya dapat terbang bebas.
Diceritakan, setelah sayyidina Umar wafat, masyarakat bermimpi berjumpa dengannya. Di dalam mimpi tersebut mereka bertanya, “Apa gerangan yang diperbuat Allah terhadapmu?
Sayyidina Umar pun menjawab, “Dia mengampuniku dan tak menyiksaku.”
Kemudian mereka pun bertanya kembali, “Sebab apa? Karena kedermawananmukah? Keadilanmukah? Ataukah karena kezuhudanmu, wahai Umar?
Sayyidina Umar kembali menjawab, “Bukan. Sesungguhnya ketika aku kau baringkan, lalu kau kubur dan kau tinggalkan sendirian, aku didatangi dua malaikat yang menakutkan sekali, sehingga melayanglah akalku dan bergemetarlah sendi-sendiku. Kemudian kedua malaikat itu pun memegang dan mendudukanku karena hendak menanyaiku. Namun, sebelum mereka sempat bertanya, aku mendengar sebuah suara (datangnya dari Allah) yang berbunyi, ‘Tinggalkan saja hambaKu dan jangan kau takut-takuti! Sesungguhnya Aku berbelas kasih, tak menyiksanya , sebagaimana ia berbelas kasih pada burung pipit saat di dunia. Karena itulah, maka Aku pun berbelas kasih terhadapnya.’ “ Demikian cerita Sayyidina Umar dalam mimpi mereka.
Hikayat lainnya bercerita bahwa dahulu kala di kalangan Bani Israil ada abid berjalan-jalan di sebuah bukit pasir. Saat itu rakyat Bani Israil tengah tertimpa musibah kelaparan. Maka di dalam hati kecilnya terbersit suatu keinginan, “Seandainya saja bukit pasir ini jadi tepung, tentu saja perut Bani Israil akan kukenyangkan. Namun sayang...kasihan sekali mereka.”
Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada salah seoarang nabi-nabi Bani Israil, supaya mengatakan pada abid tersebut bahwa sesungguhnya Allah memberinya pahala seukuran dengan apabila bukit pasir itu menjadi tepung lalu ia sedekahkan.
Demikianlah, betapa besar kasih sayang Allah pada siapa saja yang menyintai sesama makhlukNya. Meski terhadap burung kecil sekali pun, tidak boleh kita menyia-nyiakan apalagi menyiksanya. Jika terhadap burung kecil saja kita harus memiliki rasa belas kasih, apalagi terhadap sesama manusia.
Begitu pula ketika kita berbelas kasih kepada orang lain dan beniat membantu sesama, maka Allah telah berikan terlebih dahulu pahala sebesar keinginan kita untuk bersedekah mesti pada kenyataannya kita tak mampu bersedekah sebesar yang kita inginkan itu.
Rasa belas kasih inilah yang perlu kita pupuk kembali dan kita tularkan pada lingkungan sekitar kita. Menebarkan kedamaian dan kasih sayang adalah salah satu yang paling disukai Allah. Tebarkanlah kasih sayang pada sesama makhluk Allah, niscaya Allah pun akan mengasihi kita.
***
Referensi
Almawa’idhul ‘Usfuuriyah





Senin, 27 November 2017

Hang Tuah Cinta Laut

Kami adalah anak-anak negeri,
Seperti kecintaan kami pada ibu pertiwi,
Begitu pun cinta kami pada tanah yang kami pijak ini,
Pada debur ombak yang kami arungi ini,
Pada angin berembus dan aroma pasir yang wangi di setiap pantai yang membentang di Indonesia Raya ini.

Jika engkau bertanya, dimanakah tanah airmu?
Maka akan kujawab disinilah dimana ikan ikan begitu melimpah ruah,
Terumbu karang membentang indah,
Pasir pasir berkilauan bak mutiara,
Ombak ombak berkejaran amat gairah.
Disinilah di bumi yang kami pijak yang kami sebut tanah air,
Tempat darah tertumpah ketika kami lahir,
Tempat tertawa bahagia juga menagis sedih,
Sampai akhir menutup mata seperti lagu Indonesia Pusaka,
Disinilah tanah air kami.

Kami anak-anak negeri,
Hangtuah kecil yang mana laut menjadi bagian dari kami.
Ijinkan kami menjaga warisan nenek moyang kami,
Negeri maritim yang amat kaya dan luas ini.

(NB: "Hang Tuah Cinta Laut" tolong yaa..ditunggu..! Puisi anak! Kata seorang teman di WA nya. Akhirnya saya buatkan juga meski jadinya seperti ini.. hehe..😅 maaf yaaa...saya tak pandai bikin puisi..)

Minggu, 15 Oktober 2017

Mendung, Upacara Bendera, dan Wisuda

Senin ini mendung sekali. Membuat malas beranjak dan enggan meski sekedar untuk menyingkap selimut dan bangun dari tempat tidur. Senin adalah selalu hari yang sibuk. Hari yang sebetulnya akhir-akhir ini tak terlampau saya sukai. Hari yang selalu membuat saya merasa bersalah setiap harinya. Harus mencuri-curi waktu dari satu sekolah ke sekolah lainnya, berlari mengejar sesuatu yang entah apa itu. Akhirnya..perasaan berdosa pada anak-anaklah yang membuat saya selalu berpikir untuk meninggalkan semua itu. Cukup fokus di satu sekolah adalah idealnya, tapi saya tidak pernah punya kebebasan untuk memilih seperti itu. Selalu saja terjebak pada mau tidak mau, dan apa boleh buat. Tapi tuntutan keadaan seperti itu akhir-akhir ini kalah oleh   perasaan amat sangat bersalah pada anak-anak SD dan SMP itu. Mereka sesungguhnya berhak memeroleh sesuatu yang terbaik dari gurunya ini. Bukan selalu sisa-sisa waktu melulu. Meski mati-matian saya menyangkal bahwa saya tidak memberikan semua yang saya mampu untuk mereka.
Pagi ini mendung sekali. "Bu..guru yang lain belum hadir, ibu saja ya yang jadi pembina upacara," seru anak-anak berseragam putih biru itu. Padahal selepas memberi tugas di SD karena hendak berangkat ke kampus untuk pra wisuda tadinya hanya akan minta ijin tidak masuk. Tapi melihat dan mendengar mereka adalah godaan yang selalu tak bisa dielakkan. Akhirnya di senin yang mendung itu..sebelum pukul 7, saya sudah berdiri di lapangan upacara di tengah kerumunan anak-anak berseragam putih biru.
Sudah lewat pukul delapan, tapi mendung masih enggan pergi. Dingin. Cuaca akhir-akhir ini tak menentu. Kadang hujan kadang panas, tak pernah bisa diprediksi. Semakin siang semakin dingin dan membayangkan berjam jam di bus sudah amat melelahkan. "Apakah saya harus berangkat?" Rasanya enggan. Ini hanya wisuda. Haruskah dan pentingkah untuk hadir? Tapi yang lain semua hadir. Apa baik kalau saya tak hadir? Apa sebetulnya makna wisuda? Apakah hanya seremoni tanpa arti? Ah..tentu saja tidak! Saya harus tetap hadir..ini perayaan kelulusan.

Sabtu, 21 Januari 2017

Penghujung

Penghujung

Uji komprehensif lagi. Entah saya yang salah menghitung waktu, atau memang waktu berlalu begitu cepat. Rasanya-rasanya baru kemarin saya naik bus sendirian untuk mendaftar kuliah, baru kemarin mengikuti ujian masuk dan kuliah perdana, baru kemarin melihat kampus ini untuk pertama kali nya. Semua tampak seperti baru kemarin...

Tak mudah ketika memutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi. Seribu satu pertimbangan selain "Keinginan untuk menuntut ilmu" bermunculan menghalau niat untuk kembali belajar di kampus. Dan alasan klise terkait biaya menjadi penghalang utama. Tapi keinginan itu begitu kuat. Dengan hanya berbekal keyakinan, saya ucap bismillah dan nekat mendaftar kuliah, meski uang di kantong hanya cukup untuk biaya pendaftaran dan ongkos buat pulang naik bus saja. Selanjutnya..."Terserah Allah saja," begitu pikir saya waktu itu.

Dan ternyata..keyakinan saya tak salah. Tak semata-mata kita diwajibkan menuntut ilmu jika Allah tak menjamin jalan menuju kesana. Dan benar saja, rezeki itu ternyata bukan hanya dari honor saya yang pas pasan. Rezeki itu dari mana-mana, melalui tangan siapa saja. Karunia Allah itu tak terbatas pada apa yang dinamakan orang sebagai gaji atau penghasilan, tapi meliputi apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Termasuk ketika saya memiliki orang tua yang selalu mendukung apapun yang berkenaan dengan menuntut ilmu.

Saya mungkin memiliki sentimen berlebih mengenai kuliah saya ini. Hal itu dikarenakan masa dua tahun perkuliahan bukanlah jalanan mulus tanpa onak, tapi justru sebaliknya, terjal dan menukik. Tiada apapun yang menjadi harapan saya selain semua ini tak sia-sia. Banyak ilmu yang saya temui,  pengetahuan baru yang saya dapat, dan pemahaman serta sudut pandang yang semakin luas. Kiranya, semua itu dapat bermanfaat dan menjadi bekal dalam mengarungi lautan kehidupan selanjutnya.

Terakhir..bukankah sebaik-baik ilmu adalah yang berguna untuk orang lain? Paling tidak, saya ingin menjadi guru yang lebih baik, lebih membumi, lebih bisa memaknai hakikat menjadi guru, dan tentunya..lebih bermanfaat. Semoga...

Awal Semester Akhir
210117
18:45

Senin, 16 Januari 2017

Lalampahan

Geuning basa bulan sapasi ngeunteung dina tungtung lamunan,
Aya harepan nu ngawang-ngawang,
Mapat ngembat balungbang ka jalan bentang,
Mapag ringkang nu geus tiheula miang…

Nyorang sawangan na umpalan peuting,
Na ieu kitu jalan nu kudu disorang ku kuring?
***

181016
peutingjempling

Si Pucuk Kalumpang dan Nilai Kehidupan

Cerita yang selalu membuat saya menangis ketika kecil selain dongeng Budak Pahatu adalah dongeng Si Pucuk Kalumpang. Sampai sekarang masih selalu tak habis pikir bagaimana bisa orang Sunda jaman dahulu membikin cerita seperti itu. Kadang saya tak paham apa sebab cerita-cerita tersebut selalu membuat saya menangis. Karena jika hanya perasaan sedih, rasanya tak cukup bisa membuat menangis. Dan ketika membaca kembali cerita-cerita tersebut yang dahulu hanya saya dengar sebagai dongeng pengantar tidur, ternyata mengingatkan kembali pada perasaan-perasaan itu. Perasaan yang sewaktu kecil tak saya ketahui apa namanya. Dan tahulah sekarang..perasaan itu adalah sunyi dan hampa. Kesunyian yang menjerit kencang  ketika ibunya Pucuk Kalumpang terpaksa memberikan bayi perempuan pertamanya itu pada Nini paraji, dan hampa sehampa-hampanya ketika sang ibu melihat anaknya, Si Pucuk Kalumpang, membawa kain putih hasil tenunannya sendiri buat ayah yang tak menginginkannya bahkan ingin membinasakannya. Begitulah..meski pun akhirnya sama seperti kisah Nyi Bungsu Rarang maupun Purba Sari yang kemudian bertemu bahagia, Si Pucuk Kalumpang pun mendapat bahagia pula. Lagi-lagi..kebahagiaan yang diperoleh setelah penderitaan yang tak alang kepalang. Begitulah dongeng, selalu.. penderitaan diganjar kebahagiaan, kesedihan dibalas kesenangan. Asal sabar dan menerima semua ketentuan dengan keikhlasan.

Dongeng mengajarkan kita untuk memetik buah manis setelah sekian lama merasakan susah payahnya menanam. Dongeng-dongeng semacam ini menghargai proses perjalanan hidup manusia. Bahwa segala sesuatu tak didapat begitu saja dengan instan. Meski pun ada unsur-unsur mistis dan hal-hal yang tak masuk akal, tetapi tak dijadikannya itu sebagai jalan pintas untuk mencapai suatu tujuan. Dan lagi-lagi..saya dibuat takjub dengan cara para orang tua jaman dulu mengajarkan nilai-nilai kehidupan.

Lantas, masih relevan kah dongeng dengan masa sekarang? Tentunya tak cukup jawaban iya atau tidak. Tapi ini perihal bagaimana seseorang memaknai sebuah cerita sehingga tak hanya jadi sekedar cerita. Dongeng, meski tak secara eksplisit dapat membawa pengaruh positif terhadap kehidupan, tetapi tak dapat disangkal pula bahwa dongeng-dongeng yang bermuatan nilai-nilai kebajikan sedikitnya dapat melahirkan manusia-manusia yang setidaknya menghargai nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri. Manusia yang tak senang mencari keuntungan instan dengan menggandakan uang atau mencuri di siang terang , tak suka tawuran atau sekedar bersilat lidah menjatuhkan orang, apalagi menjadi seorang yang mahir memancing di air keruh.

Dongeng pada dasarnya menyampaikan yang tak tersampaikan, mewakili yang tak terucapkan, menasihati dan mengkritik sekaligus tanpa harus menyinggung siapa pun. Dongeng adalah dunia penuh warna yang perlu kita perlihatkan pada anak-anak. Mewarnai masa tumbuh kembang mereka dengan warna warni yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan tentu akan menjadi suatu hal yang menggembirakan.

Selamat mendongeng!

Ujungpetang
160117

Senin, 17 Oktober 2016

Antara Katak dalam Panci dan Katak dalam Tempurung

Musim hujan, tiba-tiba teringat katak. Kodok sih sebetulnya yang saya ingat. Tapi karena tak ada peribahasa "Kodok dalam tempurung," ya anggaplah katak yang berada dalam tempurung. Saya tak ingin menuding orang lain sebagai katak. Saya lah katak itu. Setidaknya itu yang dikatakan kawan saya belakangan. Karena pada dasarnya saya senang mendengarkan, maka cerita perihal katak ini pun saya dengar baik-baik.

Seorang kawan saya mulai bercerita, "Ada seekor katak dalam sebuah panci. Dia nyaman berada disana karena merasa tak dalam bahaya. Sampai kemudian panci itu diangkat ke sebuah tungku oleh pemiliknya. Si katak tetap diam dalam panci, karena masih merasa nyaman dengan air yang dingin. Lama-lama air tersebut menjadi hangat, katak masih diam saja. Dia pun nyaman-nyaman saja dengan air hangat. Kemudian air hangat tadi mulai memanas, katak mulai merasa gerah, tapi dia tidak melompat karena merasa air yang mulai memanas itu tak terlalu membahayakan hidupnya. Sampai akhirnya, air di panci mulai mendidih. Katak, mulai berpikir untuk melompat. Tapi itu sudah bukan saatnya untuk  berpikir. Akhirnya katak itu mati dalam panci berisi air mendidih sebelum dia sempat melompat." Dan seperti biasa..saya hanya manggut-manggut.

Kawan yang lain memulai percakapan juga tentang katak. "Mungkin semua orang dipengaruhi musim hujan," begitu pikir saya. Sebetulnya dia tak secara gamblang berbicara soal katak. Dia hanya bilang bahwa katak dalam tempurung tak bisa kemana-mana. Ditinjau dari sudut manapun, saya tak punya celah untuk menyangkal perkataannya. Jadi saya dengarkan saja ceramahnya perihal katak ini. Saya selalu senang mendengarkan. Dan dengan mendengarkan, saya jadi lebih banyak mengerti dan memahami. "Keresahan itu harus selalu kau jaga. Itu yang akan mendorongmu keluar dari tempurungmu," katanya dengan nada bicara yang selalu saya sukai. "Keluarlah!" Satu kata itu lah yang akhirnya menutup perbincangan kami.

Beberapa hari kemudian sampai sekarang, saya masih memikirkan cerita katak ini. Betulkah katak begitu bodoh dan ceroboh sehingga untuk memutuskan melompat atau tidak pun dia tidak sanggup? Atau sebegitu poloskah si katak ini sehingga mau saja berdiam dalam tempurung? Bisa jadi! Atau..bisa juga tidak. Hanya saja, saya meyakini satu hal. Bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk sudah lengkap dengan semua kemampuan mereka untuk mempertahankan diri. Ada yang berhibernasi untuk melawan cuaca ekstrim, ada yang kuat menempuh perjalanan bermil-mil dalam kondisi yang penuh mara bahaya, juga ada yang memangsa dan menjadi buas untuk mempertahankan hidupnya. Semuanya bersinergi dengan alam, menyatu dan membuat keseimbangan. Begitulah hidup dan kehidupan. Maka sesungguhnya Tuhan teramat paham akan semua keterbatasan makhluknya. Bukankah dengan tegas Dia telah mengatakan bahwa tak ada cobaan dan ujian yang akan diberikan-Nya yang melampaui batas kemapuan hamba-Nya? Itu sudah merupakan suatu jaminan yang tak diragukan lagi. Tuhan sangat paham sampai dimana batas kemampuan kita.

Dan sesungguhnya, perihal cerita katak ini, saya merenungkannya berkali-kali. Kenapa manusia membuat peribahasa seperti itu?  Saya pun teringat kuliah dua minggu ke belakang. Dosen kami yang selalu tersenyum setiap memasuki kelas itu tiba-tiba bertanya, "Kenapa dongeng anak itu tokohnya selalu binatang? Kenapa harus binatang?" Pertanyaan sederhana yang jawabannya tak sederhana. Mengapa tokohnya harus binatang? Apakah kita kekurangan tokoh manusia sehingga ketika memperdebatkan tentang langit yang akan runtuh saja harus meminjam tokoh Kancil dan Gajah? Ataukah juga tak ada tokoh yang cocok untuk memerankan keberingasan seorang raja sehingga hanya Harimau yang pantas? Tak adakah manusia  cerdas sehingga yang dikenal cerdik oleh anak-anak hanyalah si Kancil? Ya, kenapa? Membahasnya saya kira mesti mengkhatamkan dahulu berjilid-jilid buku.

Dan sama hal nya seperti katak, hewan adalah simbol perwatakan manusia. Ada si Monyet yang culas dan serakah, ada si Kura-kura yang baik hati tapi lamban dan terlampau polos sehingga mudah ditipu. Ada si Buaya yang beringas namun selalu tak menggunakan pikirannya, ada Harimau yang gagah dan sombong tapi kurang cerdas. Ada si Ular yang licik, Kerbau yang penolong, Serigala yang tak tahu balas budi, Gajah yang tak berpendirian, serta sederet tokoh ternama lainnya dalam dunia fabel. Dalam dunia yang sesungguhnya, adakah hewan-hewan tersebut memiliki sifat demikian? Tidak! Tentu saja tidak. Itu semua sifat-sifat manusia. Ya..manusia ingin menyindir sebagian manusia lainnya dengan meminjam tokoh binatang. Karena manusia diciptakan dengan ego yang begitu tinggi, lebih sering mereka tak menyadari ketika sekali waktu dalam kehidupannya tiba-tiba dia menjelma  si Monyet, si Buaya, si Harimau atau Kerbau. Dan manusia mana yang rela dirinya dikatakan memiliki sifat-sifat demikian? Maka dari itu, meminjam tokoh binatang kiranya dapat  menyindir tanpa menyinggung.

Benarkah saya ini katak? Kenapa harus katak? Apa karena katak dapat melompat tapi tak tinggi? Saya coba mengingat-ngingat apa kelebihan katak, dan selain dapat melompat dan bernyanyi di kala hujan, saya tak menemukan kelebihan yang lain. Malah saya merinding membayangkan kataklah yang selalu dimangsa ular.

Tapi..tunggu! Bukankah katak berhibernasi juga? Bukankah katak dapat hidup di dua alam? Bukankah proses kehidupan katak begitu panjang? Selain kupu-kupu, kataklah hewan yang juga bermetamorfosis. Siklus hidupnya melalui beberapa tahap. Katak juga bernafas melalui kulit. Ya..katak bukan hewan sederhana. Dia kuat tak makan selama hibernasi yang panjang, mampu bernafas melalui kulit, bisa hidup di dua alam. Dan lagi-lagi, ciptaan Tuhan yang mana yang sia-sia?

Dan saya sedikit menemukan alasan kenapa katak sanggup bertahan dalam panci tanpa melompat. Katak tahan pada cuaca yang ekstrim. Sedang perihal katak dalam tempurung, jangankan dalam tempurung, terbenam dalam tanah tanpa bergerak sedikit pun di musim kemarau akan mampu membuatnya bertahan hidup.

Begitulah, setiap makhluk memiliki cara sendiri dalam bertahan hidup. Kita tak mungkin menggunakan sudut pandang burung ketika memaknai setiap tingkah polah katak. Akan menjadi tak sesuai ketika kita mencoba menyelami cara berperilaku seekor kelinci dari sudut pandang seekor ikan. Mungkin saja, melanglang buana bagi seekor katak hanya cukup dilakukannya dalam semedi selama hibernasi, bukan dengan cara melintasi samudera seperti penyu atau melanglang angkasa seperti burung. Mungkin saja. Tapi itu bukan berarti hidup itu melulu hanya di bawah tempurung. Jikalau katak bisa terbang, bukankah itu bagus juga? Jika katak dapat berenang melintasi samudera, bukankah itu akan jadi hebat? Tapi untuk bisa seperti itu, sepertinya katak harus anti mainstream. Harus keluar dari zona nyaman nya dalam tempurung. Harus melompat keluar panci dan menempuh resiko jika lompatannya tak tepat dan dia malah mendarat tepat di atas tungku yang penuh bara api.

Ya..mungkin intinya, jadilah katak yang bijak. Saya kira, itu yang ingin disampaikan kawan saya tadi. Setidaknya, dia berhasil membuat saya memikirkan katak seharian. 😅😅😅
***

16102016
Suatumalam

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.