Rabu, 01 Agustus 2018

Memelihara Kucing

Saya sudah memutuskan mau memelihara kucing saja. Bukan kucing anggora atau kucing hias lainnya yang selalu sengaja saya lihat-lihat di pasar hewan dekat jalan menuju kantor, tapi kucing kampung berwarna kuning yang selalu datang ke belakang rumah setiap pagi dan sore. Entah dari mana asalnya, tapi kucing itu selalu datang dari arah kebun di belakang rumah. Saya butuh kucing, setidaknya untuk mengganti kura-kura yang mati beberapa waktu lalu. Tapi tak seperti kura-kura, kucing kampung bukan hewan pendiam yang bisa dielus atau digendong, dia lebih suka melompat-lompat atau mengejar anak ayam yang baru keluar kandang. Tapi tak apalah, setidaknya dia masih bisa diajak bicara sesekali. Menemani minum kopi atau menungguiku makan dengan alasan sederhana, menunggu sisa ikan! Kemudian kami akan sama-sama saling membutuhkan, saya butuh ditemani makan, dia butuh sisa ikan. Hubungan paling rasional antara sesama makhluk Tuhan, bukan?

Dan sebagai hewan peliharaan baru, dia pun perlu diberi nama juga. Sudah saya timbang-timbang beberapa nama pilihan, tak jadi saya menamainya si Joni, karena terlalu tak cocok dengan wajah polosnya yang lucu setiap kali dia menatapku. Dan karena kebingungan mencari nama, ujung-ujungnya saya panggil juga dia si Pussi.

Si Pussi sedari pagi telah mengeong-ngeong di balik jendela. Biasanya sebelum resmi jadi peliharaan dia suka menunggu saya membuka jendela dan duduk manis di tembok rumah sebelah sambil melihat ayam lewat. Dia tahu kebiasaan saya minum kopi di ambang jendela sambil mengunyah sesuatu. Tak peduli apa yang saya makan, dia selalu memungut apapun yang saya lemparkan. Sesekali saya tertawa melihat tingkahnya ketika melompat-lompat atau mengejar anak-anak ayam. Dan kalau sedang tak ada orang, dia akan jadi pendengar setia setiap saya bercerita. Mulai sekarang dia yang akan mendengarkan saya bercerita tentang pekerjaan, tentang laporan, tentang orang-orang, tentang apa saja yang dimakan, tentang kemana saja saya pergi seharian, tentang anak-anak di sekolah yang kadang menjengkelkan, tentang ban sepeda motor saya yang lagi-lagi ditambal, tentang laut disini yang sedang pasang, tentang puisi yang baru saya tulis, tentang cita-cita, tentang mimpi-mimpi...tentang semuanya...
***
Kadang saya berpikir, betapa manusia itu makhluk yang paling takut sendirian. Sampai-sampai mereka butuh kucing atau sekedar tanaman kecil dalam pot. Sesuatu yang menyimbolkan kehidupan. Semua yang hidup, butuh sesuatu yang hidup lainnya. Itulah mungkin, memelihara hewan ataupun menanam sesuatu menjadi semacam kebutuhan bagi sebagian orang. Saya suka dan senang melihat makhluk hidup. Apapun. Manusia, hewan, tumbuhan.. semuanya membawa kegembiraan tersendiri. Saya paling senang melihat anak-anak. Selama 14 tahun terakhir, hari-hari saya dihabiskan bersama mereka. Percayalah, apabila kau orang yang menghabiskan banyak waktu bersama anak-anak, maka kau adalah orang paling bahagia di dunia. Mereka melatihmu untuk sabar, melatihmu untuk mendengar ocehan, teriakan, makian, rajukan, rayuan, tangisan.. Betapa anak-anak adalah miniatur manusia itu sendiri. Manusia mana yang tak kekanak-kanakan? Mereka kadang-kadang berteman, sebentar kemudian bermusuhan, sebentar tersenyum, sebentar saling memajukan mulut. Kadang saling memberi, tak jarang saling merebut. Tapi tahukah apa yang  membedakan anak-anak dengan manusia dewasa? Anak-anak akan cepat berbaikan, berpelukan, bersalaman, saling tersenyum kembali, bermain bersama lagi, dan saling menyayangi kembali. Sedang apa yang dilakukan orang dewasa? Mereka dengan angkuh berkata, "Kita tidak akan bertemu kembali!", "Aku membencimu seumur hidupku!", "Jangan pernah menampakkan diri di hadapan mukaku lagi!", "Akan kubalas perlakuanmu dengan yang lebih dari ini!" mereka mendahului ketetapan Tuhan dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah dijaga. Jika sudah demikian, lantas siapa sebetulnya yang patut disebut anak-anak?
***

Jelaga
310718

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.