Jumat, 26 Juni 2015

Pagi, Refleksi, dan Ingatan Tentang Cerpen A.A. Navis


Sebelum puasa, ngopi pada pukul lima pagi itu adalah kenikmatan yang tak terbeli. Sambil duduk di depan jendela yang terbuka, mendengar kokok ayam dan kodok serta jangkerik yang bersahutan, sesekali ditimpali suara anak-anak dari pengeras suara masjid. Bukankah semua itu nikmat Tuhan yang patut disyukuri? Juga kedamaian yang sulit ditemui di siang hari. Pagi adalah jeda yang selalu kunanti. Seperti hal nya pagi ini,  angin mulai menyentuh pori-pori. Mendinginkan pipi dan juga hati, membuat dunia terasa lebih bukan seperti mimpi. Dan dengar, cericit burung dari pohon belimbing dan atap rumah mulai terdengar. Kadang, di saat-saat seperti ini, aku sedikit mengerti tentang dunia, tentang manusia, dan tentang hati yang ada di antara keduanya. Meski kadang, hidup dan kehidupan terlampau tak bisa kuraba dan kuberi makna.  

Teringat percakapan beberapa waktu lalu bersama tukang ojek yang mengantarku ke sekolah sepulang mengawas ujian dari sekolah tetangga. Ketika lagi-lagi membincangkan perihal pembunuhan yang menjadi berita hangat di televisi, yang lagi-lagi, katanya bermotif sakit hati. Dan si bapak tukang ojek itu memiliki pandangan tersendiri. “Neng, hidup itu melulu dan tidak melulu urusan hati. Kuncinya adalah membebaskan. Ketika kita merelakan, sesungguhnya itu yang kita dapatkan.” Bapak tua yang masih kuat mengojek itu berkata sambil menjalankan motornya. Aku tersenyum mendengarnya. Ternyata pelajaran berharga itu bisa didapat dari mana saja, dari siapa saja. Aku mengiyakan perkataannya.  Lagipula, memang urusan seperti itu selalu menjadi hal yang tidak akan pernah habis menjadi bahan perbincangan. Sakit hati, dendam, benci, juga cinta dan kasih sayang adalah sesuatu yang menjadikan kita lebih manusia, dan juga lebih tidak manusia.
***

Kenapa manusia bisa menjadi terlampau kejam? Kadang aku dibuat tidak mengerti. Bukankah saling menyayangi adalah fitrah manusia itu sendiri? kenapa harus menyimpan benci dan juga dendam yang hanya akan disesali? Apakah puas ketika berhasil memaki, mencelakai, atau membenci dengan sepenuh hati? Itukah hakikat menjadi manusia? Puaskah manusia menjadi pembenci? Bahagiakah dia dengan membenci? Kurasa tidak..setidaknya itu yang kurasakan, memaafkan dan melepaskan terkadang membuatku merasa punya hati…

Diam-diam aku jadi teringat seorang murid, dan seorang lagi..dan seorang lagi…dan ternyata banyak. Sering, aku melihat ada kebencian di mata mereka. Ada kemarahan dan juga dendam, yang berujung pada kesakitan yang terlihat dalam setiap tatapan mereka. Dalam tatapan mata anak-anak yang setiap hari bersama kita. Tak pernahkah kita melihatnya? Ataukah kita hanya melihatnya sebagai anak yang bandel, nakal, pembangkang, atau pembuat onar?

Ada beberapa anak yang harus diraih tangannya, dipeluk dan atau sekedar diberi senyuman. Mereka anak-anak yang harus diputus siklus nya. Aku menamakannya siklus. Karena anak yang tidak mendapat kasih sayang, terbiasa mendapat kekerasan, dilecehkan, dan menerima perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan lainnya dari orang – orang di sekeliling mereka, adalah pribadi-pribadi yang harus dimasukan ke dalam zona merah. Mereka anak-anak yang berpotensi suatu hari nanti melakukan hal serupa kepada anak-anak mereka atau kepada orang-orang di dekat mereka. Ada anak yang agresif bahkan tidak segan-segan menyakiti binatang atau kawannya sendiri, ada yang dengan tanpa beban merusak barang-barang, ada juga yang diam seribu bahasa sampai-sampai aku tak pernah mendengar suaranya barang sepatah kata. Ada juga yang setiap saat tak segan berbohong. Malah, aku pernah mendapati seorang anak yang memiliki kecendrungan seksual ekshibisionisme. Siapa mereka? Mereka adalah anak-anak kita. Anak-anak semesta yang tidak seharusnya mewarisi dosa kita, mewarisi ketidakbahagiaan kita, atau bahkan mewarisi ketidakwarasan kita. Mereka anak-anak yang suatu hari nanti akan mewarisi bumi. Menjadi manusia-manusia penerus peradaban. Akankah kita membiarkannya menjadi sosok yang asal jadi? Kadang kita merasa telah menjadi orang baik dengan tidak pernah mengganggu orang lain, tidak pernah  mencampuri urusan orang lain. Tetapi, apakah membiarkan bukan termasuk kejahatan? 

Waktu SD, aku pernah membaca cerpennya AA NavisRobohnya Surau Kami.” Aku sangat menyukai bahkan mencintai cerita tersebut. Cerita tentang kakek yang sangat terpukul oleh bualannya Joko Aji tentang seorang saleh yang dimasukkan ke dalam neraka. Lantas orang-orang saleh itu mendemo Tuhan, mereka berkata,
“Tuhanku, sepanjang hidup kami, kami habiskan waktu kami untuk menyembahMu. Lantas, kenapa sekarang Engkau malah memasukkan kami ke neraka?”
kemudian tuhan balik bertanya, “apa yang kau lakukan selama di dunia?”
“menyembahmu.”
“selain itu?”
“membaca kitabMu.”
“selain itu?”
“berdzikir kepadamu.”
“selain itu?”
“terus beribadah kepadamu?”
“selain itu?”
Dan orang-orang saleh itu pun bingung…mereka merasa tak melewatkan sehari pun untuk menyembah Tuhan. Dan kalau pun mereka lupa, tentu Tuhan lebih tahu. Begitu pikir mereka.
Tapi kemudian Tuhan berkata, “bukankah kalian itu yang tinggal di negeri bernama Indonesia, yang tanahnya subur dan kaya raya, serta memiliki harta yang melimpah ruah. Sebuah negeri yang pernah dijajah berabad-abad yang kekayaannya diangkut ke negeri orang lain serta kalian hanya beribadah? Yang harta benda untuk anak cucu kalian, kalian biarkan hilang begitu saja?”
Kemudian Tuhan pun berkata kembali kepada malaikat, ”masukkan mereka ke neraka!” Dan orang-orang saleh itu pun bertambah bingung. Tapi untuk bertanya kembali kepada Tuhan, mereka tak berani. Akhirnya mereka bertanya kepada malaikat, “apa salah kalau kami habiskan hidup kami untuk menyembah Tuhan?” Malaikat pun menjawab, “tentu tidak. Yang salah itu sifat egoistis kalian.”
***

Begitulah..cerita yang tidak pernah aku lupakan. Pertanyaannya adalah, akankah kita menjadi orang saleh yang tidak peduli pada anak cucu? Atau malah menjadi orang yang tidak saleh dan juga tidak peduli? Yang acuh tak acuh pada generasi setelahnya? Kenapa kita hanya memikirkan hidup kita sekarang? Dengan tanpa beban kita menumpuk sampah setiap hari, menghabiskan energi tanpa berpikir panjang, mengucapkan kata-kata tak pantas kepada anak-anak kita yang akan mengendap di kepala mereka sepanjang hidupnya, melakukan kekerasan verbal dan psikis pada mereka. Dalam hal ini, kita bukan lagi membiarkan..tapi telah ikut andil dalam merusak tatanan, tanpa kita sadari.  

Ketidakbahagiaan itu bukan sesuatu yang harus diwariskan. Apabila kita tidak bahagia, cukup kita saja. Tidak anak cucu kita. Mereka berhak mendapat kehidupan yang lebih baik. Kita yang berperan memutus siklus itu. Dimulai dari rumah kita sendiri. Berhenti memaki anak, berhenti membentak dan memarahi anak hanya karena urusan yang memang wajar dilakukan anak. Menangis dan merengek itu memang pekerjaan anak-anak. Kalau tak begitu, mereka bukan anka-anak. Berhenti memaksakan kehendak kita pada anak. Anak-anak bukanlah cerminan kita. Bukan bayangan kita di kaca. Mereka punya pemikiran sendiri. Biarkan mereka dengan pemikiran-pemikirannya. Jangan paksakan cita-cita kita pada anak-anak kita, karena mereka punya cita-cita sendiri. Dan anak-anak juga bukan pelampiasan kekesalan dan kesedihan kita. Jangan mengeluh di depan anak, jangan menangis atau meluapkan kemarahan di hadapan mereka.

Itu bukan berarti kita harus menjadi orang tua atau guru yang serba permisif. Anak-anak tentu harus mengetahui benar salah. Anak tetap harus diajarkan norma, agama, dan etika. Hanya saja,  lakukan dengan santun dan disukai anak. Anak itu bukan harus diceramahi terus-menerus, tetapi harus diberi contoh. Bernada menggurui juga kadang tidak disukai anak. Daripada menceramahi mereka panjang lebar, kenapa tak menceritakan saja sebuah dongeng kepada mereka? Masih ingatkah sewaktu kita kecil pada dongeng si kancil? Anak akan belajar menjadi cerdas dan penolong dari tokoh kancil, juga akan menyadari dengan sendirinya bahwa kita tidak boleh jahat seperti buaya atau harimau misalnya. Bukankah sewaktu kecil juga kita lebih senang mendengarkan dongeng? Atau beri mereka buku cerita sebanyak mungkin. Tentu saja, kita yang memilihkan buku-buku tersebut. Banyak cara untuk menanamkan budi pekerti pada anak. Daripada anak disuruh duduk diam mendengarkan nasihat-nasihat kita yang hanya akan masuk ke kuping kanan dan keluar dari kuping kiri, kenapa tak memberi saja mereka buku-buku cerita yang sarat akan pendidikan moral? Aku yakin, karena aku pun pernah menjadi anak-anak, cara-cara seperti itu akan lebih mengendap dan lebih merasuk ke dalam jiwa mereka.

Jadi, masih akankah kita menjadi generasi tua yang tidak peduli?? kalau iya…mungkin suatu hari nanti, Tuhan akan bertanya pada kita, “apa yang kau lakukan ketika di dunia?”
***

Selasa, 23 Juni 2015

The Gift of Magi (O Henry)



Hadiah dari Sang Magi*

Satu dolar delapan puluh tujuh sen. Hanya itu. Dan enam puluh sen diantaranya berupa recehan. Recehan-recehan itu dia kumpulan sedikit demi sedikit dari hasil menawar mati-matian pada tukang daging, tukang sayur, serta toko kelontong tempatnya berbelanja. Sampai-sampai membuat pipinya memerah karena malu menawar dengan harga yang sangat rendah. Sampai tiga kali Della menghitung. Tetap satu dolar delapan puluh tujuh sen. Dan besok adalah hari natal.

Tak ada hal yang bisa dilakukannya selain menghempaskan diri ke sofa yang telah lusuh dan menangis sejadi-jadinya. Apa yang ada dipikiran Della hanyalah kehidupan yang menurutnya hanya melulu berputar pada tangis dan tawa. Terutama untuk kehidupannya, Della merasa lebih banyak diwarnai oleh tangis kepedihan.
Sementara sang nyonya rumah perlahan mengatasi tangisnya, mari kita lihatlah tempat tinggalnya. Yang dinamai tempat tinggal  itu hanyalah sebuah kamar sewa seharga 8$ per minggu. Meskipun tak bisa dikatakan kediaman itu lebih mirip tempat tinggal seorang pengemis, tapi melihat kondisinya, sepertinya tak salah juga kalau ada yang mengatakannya demikian.

Di bagian depan kamar sewa itu terdapat sebuah kotak surat yang lebih sering tak terpakai, serta sebuah tombol listrik yang bisa dijangkau dengan jari untuk membunyikan bel. Dan di bagian  atas kotak surat tersebut terdapat kartu yang bertuliskan “Mr. James Dillingham Young.”
Nama “Dillingham” sebetulnya cukup membanggakan untuk digunakan ketika penghasilan penghuni kamar sewa itu 30 $ per minggu. Tapi sekarang, ketika pendapatan itu menyusut menjadi 20 $ per minggu, huruf-huruf yang menyusun kata “Dillingham” itu terlihat samar, dan semakin kesini semakin buram. Sempat terpikir oleh mereka untuk menyingkatnya saja menjadi “D”. Tapi kapan pun, setiap kali Tuan James Dillingham Young itu tiba di kamar sewa nya yang terletak di bagian atas, maka dia akan disambut dengan pelukan hangat dari istrinya Nyonya James Dillingham Young dan hanya akan dipanggil “Jim” oleh istrinya itu. Sedangkan Nyonya James Dillingham Young sendiri lebih dikenal dengan nama Della. Dan sejauh ini, hubungan mereka berdua sebagai suami istri, terbilang baik.

Della menyudahi tangisnya dan menyeka air matanya dengan kain yang telah lusuh. Dia berdiri di samping jendela dan melihat nanar ke balik kaca jendela pada seekor kucing abu-abu yang sedang berjalan di atas pagar abu-abu, pada halaman yang juga nampak abu-abu. Besok adalah hari natal, dan dia hanya memiliki satu dolar delapan puluh tujuh sen untuk membeli hadiah natal untuk Jim. Dia telah menabung setiap sen yang dia bisa selama berbulan-bulan untuk mendapatkan uang dengan jumlah itu. 20 $ seminggu tidaklah cukup untuk keperluan mereka sehari-hari. Biaya yang dikeluarkan selalu lebih mahal dari apa yang diperhitungkan. Selalu seperti itu. Hanya 1.87 $ yang dia punya untuk membeli hadiah natal Jim. Jim yang begitu disayanginya. Berjam-jam yang lalu dia habiskan hanya untuk berangan-angan ingin memberikan sesuatu yang bernilai untuk Jim. Sesuatu yang bagus, langka, dan berkilau. Sesuatu yang pantas dimiliki oleh Jim.
Terdapat kaca-kaca pembatas di antara jendela-jendela di ruangan itu. Mungkin anda pernah melihat kaca-kaca seperti itu seharga 8 $. Orang yang bertubuh kecil dan lincah mungkin bisa melihat bayangannya dengan cepat pada strip-strip kaca yang memanjang, dan mendapatkan pantulan yang cukup akurat dari penampilannya. Dalam pantulan kaca-kaca itu, Della menjadi lebih tinggi dan tampak cantik.
Tiba-tiba, dia berbalik dari jendela dan berdiri di depan kaca. Matanya tampak berbinar, tapi wajahnya mendadak memucat selama beberapa detik. Dengan cepat dia menarik ikatan rambutnya dan membiarkan rambut indahnya yang panjang itu tergerai. 

Saat ini, hanya ada dua hal yang menjadi kebanggaan pasangan James Dillingham Young. Yang pertama adalah arloji emas milik Jim yang dia dapatkan turun temurun dari ayahnya, dan ayahnya dari kakeknya. Dan yang satu lagi adalah rambut Della. Jika Ratu Sheba**  tinggal di seberang kamar sewanya, Della akan membiarkan rambutnya tergerai indah di jendela setiap waktu hanya untuk menyaingi perhiasan dan kekayaan Ratu Sheba. Dan bila Raja Solomon menjadi penjaga gedung dengan semua harta bendanya tersimpan di ruang bawah tanah, Jim akan sesering mungkin mengeluarkan jam tangan emasnya dan membuat Raja Solomon terus mengelus janggutnya karena iri.

Dan sekarang, rambut indah Della tergerai bergelombang serta berkilau seperti  aliran air terjun berwarna coklat. Panjangnya hampir mencapai lutut dan terlihat seperti kain yang menutupi kepalanya. Kemudian dia menggulung dan mengikatnya kembali dengan cepat. Setelah itu, dia berdiri beberapa saat sampai beberapa tetes air matanya terjatuh pada karpet merah lusuh di bawah telapak kakinya. 

Bergegas Della meraih jaket serta topi coklat usangnya. Dengan putaran roknya serta masih dengan binar di matanya, dia tergesa keluar dari pintu dan menuruni tangga menuju ke jalan.
Langkahnya terhenti ketika membaca sebuah papan nama bertuliskan : “Madame Sofronie. Menangani segala jenis rambut.” Della berlari ke atas tangga toko. Mengumpulkan keberanian yang tersisa dalam dirinya sambil mengatur nafasnya yang tersengal. Seorang wanita bertubuh besar, berkulit putih, berwajah dingin dan keras menatapnya.
“Maukah anda membeli rambut saya?” tanya Della.
“Aku memang membeli rambut.” Jawab wanita itu. “Tanggalkan topimu dan mari kita lihat berapa harga yang pantas untuk rambutmu.”
Dan tergerailah rambut yang bak air terjun coklat itu.
“Dua puluh dolar.” Kata wanita sambil menimang-nimang rambut Della dengan tangannya.
“Berikan uang itu kepadaku segera!” Kata Della. 

Dan oh..untuk selanjutnya, serasa terbang dengan sayap, Della menghabiskan dua jam untuk berkeliling kota. Sejenak melupakan perubahan besar pada rambutnya. Dia menyusuri setiap inci kota untuk mencari hadiah yang sesuai untuk Jim.

Akhirnya Della menemukannya juga. Benda ini pasti sebelumnya telah dibuat khusus untuk Jim. Bukan untuk orang lain. Tidak ada benda yang sama di toko yang lain. Dia telah keluar masuk toko-toko untuk menemukan benda ini. Sebuah rantai jam yang terbuat dari platinum dengan desain sederhana tapi elegan. Benar-benar tampak seperti barang berharga dan bernilai tinggi, bukan hanya dilihat dari ornament yang tampak dari luarnya saja. ini benar-benar barang yang sangat bagus dan berharga. Dan yang paling utama, rantai itu sepadan dan serasi dengan jam saku nya Jim. Dari pertama kali melihatnya, Della  telah yakin bahwa benda itu memang diperuntukkan buat Jim. Bahkan, modelnya mewakili pribadi Jim. Tenang dan bernilai. Della menghabiskan 21 $ untuk mendapatkannya, dan dia bergegas menuju rumah dengan 78 sen di tangan. Dengan rantai baru yang akan terpasang di jam sakunya, kini Jim tidak perlu gusar lagi mencemaskan pantas tidaknya jam nya untuk digunakan dimanapun. Tentu akan sangat menyenangkan untuk Jim apabila bisa menggunakan jam itu dimanapun dan kapanpun tanpa harus merasa malu untuk mengeluarkannya karena tali nya yang telah usang. 

Setibanya Della di rumah, kesenangan yang meliputinya memberinya sedikit kemampuan untuk berpikir bijaksana. Diambilnya alat pengeriting rambut , menyalakannya, dan diperbakinya apa yang nampak kurang pantas dari rambutnya. Ditatanya rambutnya dengan riang. Sungguh, ini bukanlah pekerjaan yang mudah.
Dalam empat puluh menit, kepalanya telah ditutupi oleh gulungan-gulungan rambut kecil yang membuatnya terlihat lebih menakjubkan. Dia melihat bayangan dirinya pada sebuah cermin yang panjang dengan teliti dan hati-hati. 

“Jika Jim tak membunuhku…” dia berkata pada dirinya sendiri. “sebelum dia melihatku lebih lama, dia pasti akan bilang kalau aku terlihat seperti gadis nakal dari Coney Island***. Tapi apa yang bisa kulakukan? Oh..! apa yang bisa kulakukan dengan satu dolar delapan puluh tujuh sen?”

Tepat pukul tujuh, kopi telah tersaji dan peggorengan telah dia letakkan di atas kompor, siap digunakan untuk memasak potongan daging. 

Jim tidak pernah telat. Della menimang-nimang rantai jam saku yang berada di telapak tangannya sambil duduk di sudut meja tak jauh dari pintu yang selalu dilalui oleh Jim setiap kali memasuki rumah. Tak lama kemudian, dia mendengar suara langkah kaki menuju ke atas . Untuk beberapa saat, wajah Della berubah pucat. Della memiliki kebiasaan berdoa untuk setiap hal kecil dalam kehidupannya, dan kali ini pun dia berbisik lirih, “Tuhan, tolong buat dia berpikir aku masih cantik.”

Pintu terbuka, Jim melangkah masuk dan menutup pintu kembali. Dia terlihat begitu kurus dengan wajah yang serius. Kasihan sekali, usianya baru dua puluh dua, dan dia sudah dibebani oleh sebuah keluarga! Dia membutuhkan sebuah mantel baru. Dan bahkan, sekarang pun dia tak bersarung tangan.
Jim menghentikan langkahnya di balik pintu, berdiri mematung. Tatapannya terpaku pada Della. Della tidak bisa membaca ekspresi mata Jim, dan itu membuatnya ketakutan. Itu bukan ekspresi kemarahan, keterkejutan, ketakutan, kekhawatiran,  ketidaksetujuan, atau pun ekspresi-ekspresi lain yang sebelumnya telah diantisipasi oleh Della. Jim hanya menatapnya lekat-lekat dengan ekspresi anehnya itu. 

Della beranjak dari meja dan menghampiri Jim.
“Jim, Sayang” isaknya. “Jangan melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku telah memotong rambutku dan kemudian menjualnya karena aku tak sanggup bila harus melewati natal tanpa memberimu sebuah hadiah. Rambutku ini akan tumbuh kembali kok. Kau tidak keberatan kan? Aku..aku hanya merasa harus melakukan ini. Rambutku bahkan tumbuh sangat cepat. Ayolah Jim…ucapkan “selamat natal” dan mari bergembira. Kau tidak tahu betapa menyenangkannya bisa mendapatkan sebuah hadiah yang bagus untukmu.
“Kau memotong rambutmu?” tanya Jim dengan susah payah. Seolah-olah dia belum memercayai apa yang terjadi.
“Aku memotong dan menjualnya,” Jawab Della. “Apakah kamu tak lagi menyukaiku seperti sebelumnya? Aku masih tetap diriku walau tanpa rambutku yang dulu kan?”
Jim melihat ke sekeliling dengan penasaran.
“Kau bilang rambutmu sudah tidak ada?” katanya dengan raut muka seperti orang bodoh.
“Kamu tidak usah mencarinya,” kata Della. “Aku sudah menjualnya. Aku katakan sekali lagi padamu, telah terjual dan tidak ada lagi. Hei, ini malam natal. Bergembiralah untukku..! Aku menjualnya karena ingin membahagiakanmu. Mungkin rambutku bisa dibeli dan dipotong, tapi tak ada yang bisa membeli dan memotong cintaku padamu. Bolehkah aku mengambilkan makan malam untukmu Jim?”
Seolah baru tersadarkan, Jim merengkuh Della ke dalam pelukannya. Untuk sejenak, marilah kita renungkan apa yang terjadi. Delapan dolar seminggu atau sejuta dolar setahun, apa bedanya?seorang ahli matematika atau seorang yang cerdas akan memberimu jawaban yang salah. Sang Magi membawa hadiah-hadiah yang sangat bernilai, tapi uang bukan salah satunya. Penjelasan selanjutnya untuk  hal seperti  ini akan diketahui nanti.

Jim mengeluarkan sebuah bungkusan dari balik saku mantelnya dan meletakkannya di atas meja.
“Jangan salah sangka Dell,” katanya. “Tidak ada jenis potongan rambut atau pun jenis shampoo apapun yang bisa merampas cintaku darimu. Tapi kalau kau membuka hadiah dariku itu, kau akan paham kenapa untuk sesaat tadi aku tampak kebingungan.“

Jemari Della yang halus dan putih itu kemudian mengoyak bungkusan yang tergeletak di atas meja. Tak lama kemudian, terdengar pekikan kegembiraan yang segera disusul dengan air mata dan tangis penuh keharuan. Begitu dalamnya ekspresi keharuan Della, sehingga mungkin diperlukan seluruh penghuni gedung untuk menenangkannya. 

Di balik bungkusan itu, tergeletak beberapa sisir. Tepatnya, satu set lengkap sisir untuk penataan rambut yang selama ini begitu dikagumi Della setiap kali mereka berjalan-jalan di sepanjang etalase Broadway. Sisir yang cantik, terbuat dari tempurung penyu, dihiasi dengan taburan permata. Sisir yang sempurna untuk dikenakan pada untaian rambut indah yang kini telah sirna. Della tahu, itu sisir-sisir mahal. Telah sekian lama Della mendambakan sisir-sisir itu menjadi miliknya. Dan kini, impiannya telah terwujud. Sisir-sisir itu benar-benar telah menjadi miliknya. Mesikpun, untaian rambut yang seharusnya dihiasi oleh sisir-sisir itu telah tiada.

Della mendekap sisir-sisir itu di dadanya. Kegembiraan tak bisa dihilangkan dari wajahnya. Dan dengan tatapan mata yang redup sambil tersenyum Della berkata, “rambutku akan tumbuh dengan cepat, Jim!”
Kemudian Della bangkit dari kursi dengan lincahnya seperti seekor kucing dan berseru, “Oh..Oh..! kau harus melihat hadiahku,” serunya. Dan dengan telapak tangannya, Della menyerahkan hadiahnya kepada Jim. Sorot ceria dari matanya menghantarkan kilatan-kilatan indah pada permukaan rantai yang terbuat dari platinum tersebut.
“Bukankah itu sangat bagus, Jim? Aku sudah mencari benda ini kemana-mana. Aku sudah berkeliling kota untuk mencarinya. Sekarang kau bisa melihat jam sakumu ratusan kali dalam sehari tanpa harus merasa malu karena rantainya telah usang. Coba kulihat, aku ingin melihatnya terpasang di jam mu.
Alih-alih mematuhi, Jim malah duduk di atas sofa dan meletakkan kedua tangannya di belakang kepala seraya tersenyum.
“Dell,” katanya , “mari kita singkirkan dulu hadiah-hadiah natal ini untuk sementara. Kurasa kita harus menyimpannya untuk sementara waktu. Benda-benda itu terlalu bagus untuk kita kenakan saat ini. Aku menjual jam ku untuk membeli sisir-sisir itu Dell. Dan sekarang, sebaiknya kita mengambil potongan daging kita dan mari kita makan malam.”
***
Sang Magi, atau tiga raja, seperti kita semua ketahui, adalah orang-orang bijak-orang yang luar biasa bijaksana-yang membawakan hadiah untuk bayi yang lahir di dalam kandang domba. (orang-orang yang membawakan hadiah pada kelahiran kristus). Merekalah yang megawali dan memberikan seni pada kebiasaan memberi hadiah natal. Tak diragukan lagi, mereka orang-orang yang bijak, maka hadiah yang mereka berikan pun adalah pasti sesuatu yang sangat bernilai. Dan disini, telah kita lihat bagaimana  sepasang anak muda yang polos di sebuah flat yang sederhana, rela berkorban satu sama lain. Dan ketahuilah, pasangan itu adalah orang-orang yang paling bijak dalam memberi. Dan pantaslah kalau kita mengatakan bahwa dari semua orang yang memberikan hadiah, mereka berdualah yang paling bijaksana. Dan dari semua yang memberi dan menerima hadiah,  orang-orang seperti merekalah yang paling bijaksana. Dan dimanapun, selalu orang-orang seperti merekalah yang paling bijaksana. Mereka layak disebut sebagai Sang Magi. 
 ***

Ket :
Magi (*) = merupakan kisah yang tidak asing lagi bagi kaum kristiani. Sang Magi ini merupakan perwujudan tiga orang bijak yang datang membawa hadiah pada saat kelahiran Yesus. Cerita yang menjadi asal mula tradisi saling memberi hadiah pada hari natal.
Ratu Sheeba (**) = Seorang ratu yang dikisahkan dalam alkitab perjanjian lama yang mengunjungi raja Solomon dan membawa tiga hadiah untuk persembahan.
Coney Island (***) = sangat popular di AS pada akhir abad ke-19 sebagai tempat prostitusi, dan gadis-gadis yang berpakaian seksi menari di bar-bar untuk menghibur para pengunjung.


Maret, 2015

Bird of Baghdad (O Henry)



BURUNG BAGHDAD


Tak diragukan lagi, Margrave (1) August Michael Von Paulsen Quigg banyak mewarisi kearifan dan kepandaian khalifah Harun Al Rasyid.
***
Restoran Quigg  merupakan sebuah restoran yang terletak di Fourth Avenue(2). Jalan itu terletak di  sebuah kota yang selama pertumbuhannya, agaknya telah banyak dilupakan orang. Fourth  Avenue terlahir dan berkembang di sepanjang distrik Bowery terbentang ke arah utara dan dikelilingi oleh pemandangan yang indah. Selanjutnya, jalan itu melintasi fourteenth street  yang  untuk sesaat akan membuat kita diselimuti kekaguman yang luar biasa ketika pandangan kita tertuju pada museum dan gedung-gedung pertunjukkan murah. Walaupun mungkin tidak cukup serasi bila disandingkan dengan boulevard (3) lainnya yang membentang ke arah barat, atau pun kota-kota yang tumbuh di sepanjang pinggang jalan ke arah timur. Jalan itu melewati union square(4). Dan disini,  derap kaki kereta kuda akan terdengar serentak bergemuruh bersahutan dengan derap langkah kaki sebarisan pasukan yang meneriakkan yel yel kemenangan.  Tapi sekarang, semuanya disergap oleh kesunyian. Gunungan bangunan-bangunan persegi yang mengerikan telah berdiri kokoh seumpama benteng-benteng pertahanan, menjulang tinggi seolah hendak menggapai awan dan mencakar langit, tempat ribuan budak mati-matian bekerja sepanjang hari di balik meja-meja mereka seolah tanpa lelah. Di bawah bangunan-bangunan tersebut,  hanya terdapat beberapa toko buah-buahan kecil, beberapa binatu, dan deretan toko buku, dimana anda akan melihat salinan “Littell’s Living Age” dan novel-novelnya G.W.M. Reynold di etalase. Dan selanjutnya kita akan dibawa meluncur pada kesunyian abad pertengahan di sepanjang persisian toko-toko yang menjual barang-barang antik.

Konon, setiap malam tiba, akan nampaklah para pria dalam balutan baju besi usang berdiri di jendela-jendela,  seolah memperingatkan  mobil-mobil yang melaju kencang  dengan mengangkat sarung tangan mereka yang terbuat dari besi yang telah berkarat.  Mereka mengenakan baju zirah lengkap, penutup kepala, moncong senapan, logam penutup dada, pistol, pedang dan belati. Mereka adalah para tentara yang telah gugur dan meninggalkan kita semua dengan gagah berani. Bayangan mereka tampak  bersinar di bawah lampu remang-remang. Disana sini dari sudut sebuah kedai minuman (bar) yang diterangi oleh kelap kelip cahaya lampu Halloween atau pun lampu yang terbuat dari phospor yang gemerlapan, penduduk kota yang berdiam di rumah, akan memiliki sedikit keberanian akibat pengaruh dari gelas-gelas bir mereka, untuk berjalan melintasi Eldrick Avenue yang memiliki catatan sejarah sebagai sebuah tempat yang pernah mengalami peristiwa yang menumpahkan banyak darah. Sebuah pertempuran.  Tapi apakah sebuah jalan layak ditutup hanya karena di jalan itu pernah terdapat banyak orang yang mati, dan terinjak oleh penduduk kota yang ketakutan, yang padahal hati mereka sendirilah yang tenggelam dalam jeritan-jeritan kematian?

Tidak! Tidak di  fourth avenue. Tidak setelah taburan kertas-kertas emas yang mengiringi kemeriahan Little Rialto(5)- tidak setelah dentuman  drum yang menggema di  Union Square. Disana tidak perlu ada air mata, hadirin sekalian: tapi kematian dari sebuah jalan. Karena sebuah pekikan, jeritan dan kecelakaan, fourth avenue akan menghilang dengan cepat, tenggelam  kedasar terowongan di thirty fourth dan tidak akan pernah terlihat kembali.

Tak jauh dari drama menyedihkan tentang pembubaran jalan itu, telah lama berdiri restoran Quigg yang sederhana. Apabila kita memandang pada reruntuhan batu bata merah di depannya, maka pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah jendela yang dipenuhi oleh tumpukan jeruk, tomat, berlapis-lapis kue, pai, asparagus kalengan, serta terdapat hiasan lobster yang terbuat dari kertas serta dua ekor boneka kucing kecil tergeletak di atas tumpukan selada. Jika anda sudi untuk duduk pada salah satu meja yang tersedia disana, yang taplaknya telah ternoda oleh noda bekas kopi yang ditinggalkan oleh orang Jepang pengunjung sebelumnya.- untuk duduk disana dengan sebelah mata tertuju pada payungmu dan yang sebelah lagi pada botol dan saus buatan  yang diteteskan untuk membodohi kita oleh seorang cenayang sialan yang mengaku-ngaku sebagai orang terdekat dan teman terkasih kita,  “sang bangsawan India”

Nama Quigg berasal dari ibunya.Salah satu nenek moyangnya adalah seorang margrave, keturunan raja-raja dari Saxony(6), masih memiliki garis keturunan sebagai pewaris takhta kerajaan. Ayahnya adalah seorang anggota Tammany(7). Karena percampuran perkawinan, ia malah mendapati dirinya tidak menjadi seorang pewaris takhta maupun seorang politikus atau pekerja pemerintahan yang bekerja di City Hall(8). Pada akhirnya dia membuka sebuah rumah makan. Dia sebetulnya adalah seorang  pemikir yang gemar membaca. Bisnislah yang telah memberinya kehidupan, meskipun dia tidak terlalu menyukainya dan memberikan hanya sedikit saja perhatian pada bisnisnya itu. Dalam kehidupannya, dia memiliki dua sisi. Satu sisi dirinya sebagai seorang pebisnis, sedangkan sisi yang lainnya lagi merupakan seorang yang amat puitis dan juga romantis. Kegelisahan hatinyalah yang membawanya pada petualangan. Pada siang hari dia adalah Quigg, sang pemilik restoran. Tetapi pada malam hari, dia adalah seorang margrave, sang bangsawan, pewaris takhta-pangeran Bohemian(9), yang datang ke kota untuk mencari petualangan dan misteri terpendam yang sangat sukar untuk dijelaskan.
                                                                                                          
Suatu malam, pada pukul 9, yang merupakan waktunya restoran tutup, seperti biasa Quigg mulai menyusuri jalanan di sepanjang broadway(10), bertualang dan mencari sesuatu yang dapat memuasakan batinnya. Ada perpaduan  antara asing, militer, dan artistik  dalam penampilannya malam itu. Dia mengancingkan kerah jas nya tinggi-tinggi di bawah jenggot coklat abu-abu nya yang dipangkas pendek. Kemudian dia berjalan lurus ke arah barat, menuju kanal di pusat kota. Dalam sakunya, dia menyimpan berbagai macam kartu yang di atasnya terdapat bermacam-macam tulisan. Masing-masing kartu tentu saja sangat bernilai untuk restorannya. Tapi beberapa hanya berupa kartu untuk pemesanan semangkuk sup atau sandwich dan kopi. Beberapa berlaku untuk satu, dua , tiga, atau lebih untuk paket makanan penuh. Beberapa yang lainnya malah hanya untuk satu jenis makanan saja. Sangat sedikit yang merupakan paket makan untuk satu minggu.

Akan halnya dengan kekayaan dan kekuasaan, mungkin sang margrave tidak memiliki apa-apa. Tetapi dia memiliki hati seorang khalifah. Mungkin dia tidak sebaik harun Al-Rasyid. Dan mungkin juga beberapa potongan emas di Baghdad telah menyimpan sedikit kehangatan dan harapan diantara pasar dan rebusan daging sapi Quiggs, juga diantara para pemancing dan seorang sufi bermata satu dari Manhattan.

Melanjutkan petualangannya dalam mencari romantisme hidup, sebagai pelarian dari kesedihan yang mungkin dialaminya, Quiggs  jadi lebih menyadari sesuatu dengan cepat. Seperti halnya saat itu, kerumunan orang-orang yang berteriak-teriak dan saling dorong hampir menimbulkan perkelahian di sebuah sudut broadway dan di lintasan jalan yang dia lewati. Kemudian bergegas dia menuju kesana, berpikir mungkin ada hal yang dapat dilakukannya untuk membantu. Setibanya disana, dia mendekat ke tempat dimana dia melihat seorang pemuda dengan wajah sangat muram dan tenggelam ke dalam lamunannya sendiri seolah sesuatu yang sangat buruk sedang menimpanya.  Dalam  penampilannya yang sederhana, dia sedang asik menyebarkan uang logam ke jalanan. Dan orang-orang meresponnya dengan suka cita sambil berteriak kegirangan. Lalu lintas dihentikan. Seorang polisi maju ke tengah kerumunan untuk smenghentikan aksi tersebut.

Sang Mangrave sekilas melihat bahwa disini, membagikan makanan untuk orang yang kelaparan  merupakan sebuah pekerjaan tak biasa yang lahir dari rasa kemanusiaaan. “Ikut saya!” katanya dengan suara pelan tapi tegas.

“Terhimpit.” Sahut  pemuda itu sambil menengadah dengan tatapan tanpa ekspresi.  Bawa saya pergi.” Katanya dengan datar. “Beri saya gas, beberapa telur tergeletak, beberapa tidak. Dimana ayam itu?”

Masih dicengkram oleh kepedihan yang begitu dalam, tapi tak membantah, dia membiarkan Quiggs  membimbingnya berjalan menuju ke sebuah taman kecil.

Disana, mereka duduk di sebuah bangku panjang, kemudian Quigg yang telah menurunkan mantelnya mulai memperlihatkan sisi seorang pemimpinnya, dia berbicara dengan penuh kebajikan dan kebijaksanaan, berusaha mencari tahu setan apa yang telah menghinggapi pemuda itu, mengganggu jiwanya dan mengendalikan dirinya sehingga berlaku seperti orang boros dan sembrono seolah-olah dirinya manusia yang kelebihan uang.

 “Bukankah tadi itu  saya melakukan apa yang dilakukan monte cristo(11) seperti yang diadaptasi NJ Pompton?” tanya pemuda itu.

“Kau melemparkan koin ke jalan untuk orang-orang dan untuk diperebutkannya kemudian?” kata margrave.

“Tepat! Ini seperti anda membeli semua bir yang bisa anda beli..dan kemudian anda melemparkan pakan ayam ke…-oh..terkutuklah kata itu! ayam, ayam betina, bulu ayam, ayam jantan, telur ayam, dan semua hal yang berkaitan dengan ayam!!!”

“Anak muda,” kata margrave dengan ramah tapi tegas. “Meskipun aku tak meragukan keyakinanmu, tapi tunjukanlah kepadaku. Katakan apa yang terjadi? Sedikitnya aku tahu dunia dan aku tahu tentang kemanusiaan. Manusia adalah hal yang kupelajar. Meskipun aku tidak melihatnya dari kaca mata ilmu pengetahuan, seperti seorang ilmuwan yang sedang meneliti kumbang, atau melalui pandangan seorang dermawan terhadap orang-orang yang dibantunya. Meskipun diselubungi oleh berbagai teori dan ketidaktahuan, tak jadi masalah buatku. Aku menemukan kesenangan disini, dan ini hiburan buatku untuk menyenangkan diri sendiri di dunia yang dipenuhi oleh keganjilan dan kerumitan, serta kemalangan hidup di sebuah kota yang hebat terhadap seorang pria yang baik. Kau mungkin tak asing lagi dengan sebuah cerita tentang pemerintahan yang penuh keagungan serta keabadian. Khalifah Harun Al Rasyid yang sangat bijaksana dan dermawan di tengah-tengah rakyatnya di kota Baghdad. Dia raja yang menjamin kelangsungan hidup rakyatnya dan sangat bertanggungjawab, dan telah begitu banyak mengurangi beban penderitaan rakyatnya. Dengan kerendahan hati, aku berjalan dengan kedua kakiku sendiri. Aku mencari cinta dan petualangan di jalanan kota. Bukan di puing-puing atau reruntuhan istana. Bagiku, hal yang merupakan suatu keajaiban dan hal yang hebat itu adalah apabila kita bisa mengambil tempat di hati orang-orang, atau bisa tetap berbuat baik ketika semua orang bertindak berdasarkan kemarahan dan emosi. Pada tingkahmu yang aneh malam ini, aku kira ada yang kau sembunyikan. Setidaknya aku bisa melihat dari tingkahmu, nampaknya  sesuatu yang serius tengah terjadi. Tadi itu bukan hanya sekedar tindakan yang bodoh dan ceroboh dari seorang pemboros. Aku bisa melihat dari raut wajahmu, ada bayangan kesedihan dan keputusasaan disana. Sekali lagi kuulangi, aku tak meragukan keyakinanmu akan suatu hal, tapi kukira, bila kau mau sedikit menceritakan padaku itu akan lebih baik. Aku mungkin tak bisa melakukan apa-apa untuk membantumu, tapi bisa sedikit meringankan atau sekedar memberi saran mungkin. Apakah kau tidak memercayaiku?”

“Astaga…! Perkataan anda itu!” ada sorot kekaguman  sesaat menggantikan sorot kesedihan yang mulai pudar dari matanya. “Anda lebih mirip ahli perpustakaan yang menguliti ringkasan bab sebelumnya dari sebuah buku. Mengenai yang kau bicarakan..apa itu tadi? Pria Turki tua yang kau bicarakan.. Arabian Night?  Cerita seribu satu malam? Oh..aku membacanya sewaktu kecil. Kukira dia adalah orang semacam Bill Devery  dan Charlie Schwab, salah satunya, semacam begitulah..! Tapi…kukatakan, kau mungkin bisa memecahkan masalah yang berhubungan dengan lap pencuci piring, asbak rokok dari tembaga, atau tak membiarkan rakun raksasa menyentuhku. Tapi percayalah…permasalahan yang sedang kuhadapi ini tak akan bisa diselesaikan oleh pemecahan yang seperti itu.”

“Mungkin tidak begitu jika aku bisa mendengar ceritamu.”  Kata margrave  sambil tersenyum penuh arti.

Saya bahkan mengolok-ngoloknya dalam sembilan kata!” kata pemuda itu sambil menghela nafas dalam. Tapi saya tak yakin anda bisa membantuku. Kecuali anda adalah seorang penebak ulung. Ini dia :

“KISAH SEORANG PEMUDA DENGAN TEKA-TEKINYA SI PEMBUAT PAKAIAN KUDA”

“Saya bekerja di toko yang membuat perlengkapan berkuda, seperti tali kekang dan pelana kuda, tepatnya di toko perlengkapan kuda Hilderbrant di Grant Street. Saya telah bekerja selama lima tahun, dengan upah 18 dollar per minggu. Itu jumlah yang cukup untuk menikah, bukan? Ya…walaupun saya tidak sedang akan menikah. Pak tua Hilderbrant adalah seorang pria Belanda yang kocak. Anda tahu…seseorang-yang selalu-melemparkan lelucon-lelucon konyol. Dia punya jutaan teka-teki yang tak habis-habis. Bahkan dia berlaku seolah-seolah dia adalah kakek dari Roger bersaudara. Bill Watson bekerja disana juga. Saya dan Bill harus menghadapi lelucun-lelucon konyolnya itu setiap hari. Mungkin anda berpikir kenapa kami mau melakukan semua itu. Ya…selain alasan pekerjaan, juga karna Laura.

“Ya, Laura. Anak perempuan pria tua itu datang ke toko setiap hari. Usianya sekitar Sembilan belas. Dia selalu duduk di pagar dan diam dengan penuh pesona. Rambutnya seperti jalinan jerami dan matanya sehitam dan sebersinar pakaian kuda terbaik. Bisa anda bayangkan ? Lantas bagaimana denganku? Ya, saya dan Bill Watson, dia memperlakukan kami berdua sama. Bill sangat tergila-gila padanya. Sedangkan saya? Anda  lihat sendiri apa yang saya lakukan malam ini. Berkeliaran sendiri di jalanan sambil membagi-bagikan koin perak. Anda pikir karena apa kulakukan semua itu? Tentu saja itu semua karena Laura! Bagaimana selanjutnya? Si Tua Hilderbrant berkata kepada kami berdua, saya dan Bill sore ini, ‘Anak-anak, aku punya sebuah teka-teki untuk kalian berdua. Bagi siapa yang tidak bisa menebak teka-tekiku, berarti dia tidak cukup baik untuk menjadi bagian keluargaku. Kalian paham?’ Dan kemudian dia memberi kami sebuah teka-teki yang harus kami cari jawabannya sampai besok sore. Dan bagi siapa yang bisa menjawab, dia diperbolehkan untuk menghadiri pesta ulang tahun putrinya Rabu malam sekarang. Dan itu berarti, bagi siapa pun yang diijinkan datang ke pesta ulang tahun Laura, berarti dia yang akan jadi suaminya. Pak tua Hilderbrant ingin menikahkan putrinya kepada salah seorang dari kami supaya bisa meneruskan bisnis keluarganya suatu hari nanti. Dan teka-tekinya adalah, “Ayam apa yang berbaring paling lama?” pikirkan itu! Bukankah itu kedengarannnya seperti seorang pria tua yang mempertaruhkan kebahagiaan seseorang kepada suatu hal yang konyol? Sekarang, saya bisa apa? Apa saya tidak tahu apapun tentang ayam? Apakah ayam yang mengisi beberapa inkubator? Tadi anda memberi perumpamaan seorang pria tua Arab yang memberikan perpustakaan di Baghdad. Baiklah…sekarang, dapatkah anda membuat cerita anda tadi itu memecahkan permasalahan ayam ini?

Ketika pemuda itu mengakhiri ceritanya, sang Margrave bangkit dari duduknya dengan cepat, kemudian mondar-mandir mengitari bangku tersebut selama beberapa menit. Akhirnya, dia duduk kembali dan kemudian berkata dengan suaranya yang berwibawa tapi dalam nada rendah. “Anak muda, saya harus mengakui bahwa selama delapan tahun yang saya habiskan dalam petualangan untuk mencari makna kehidupan, saya belum pernah menemui pengalaman yang lebih menarik dan lebih membingungkan dari ini. saya kira saya telah mengabaikan perihal ayam-ayam ini dalam pandangan dan pengamatan saya. Seperti bagaimana kebiasaan ayam-ayam itu, waktu dan tempatnya berbaring, jenis-jenisnya, bagaimana caranya berkembangbiak, rentang hidupnya, dan…”

“Oh, tolong, jangan jadikan ini macam drama Ibsen(12)!” Dia memotong pembicaraan Margrave. “Sudahlah..jangan terlalu serius memikirkan sebuah teka-teki. Apalagi teka-tekinya si Hildbrant tua itu. Teka-teki itu hanya sesuatu yang tak jauh beda dengan tema-tema yang selalu dibahas oleh Sim Ford  dan Harry Thurston Peck (13). Tapi entah bagaimana…bahkan saya sampai tidak bisa menemukan jawabannya. Bill Watson mungkin bisa, atau mungkin juga tidak. Semuanya akan diketahui besok. Baiklah..Yang Mulia, walau bagaimana pun..saya senang  anda mau meluangkan waktu anda untuk menyemangati saya. Saya kira, apabila ini menimpa Tuan Al-Rasyid, beliau akan bisa menemukan ide apabila salah seorang bawahannya mengajukan sebuah teka-teki. Baiklah Tuan, selamat malam. Semoga keselamatan dan rahmat dari..apa yang kau sebut Allah- menyertaimu.”

Sang Margrave dengan masih diliputi kemuraman menjabat tangannya.
”Saya masih tidak bisa mengungkapkan penyesalan saya,” ujarnya dengan sedih.
“Saya tidak pernah se-menyesal ini sebelum saya mendapati bahwa diri saya sama sekali tidak bisa membantu. ‘Ayam jenis apa yang berbaring paling lama?’ Sungguh sebuah pertanyaan yang sangat sulit. Terdapat banyak ayam, tentu saja…seperti ayam Plymouth Rock(14)…”

“Ah, sudahlah..!” kata pemuda itu. “Bisnis anda tentu lebih pantas untuk dipikirkan dengan serius. Saya tidak bisa mengira anda bahkan melihat sesuatu yang lucu dalam khotbahnya John D. Rockefeller(15). Baik..selamat malam Tuan.”

Telah menjadi kebiasaanya, sang margrave kemudian merogoh saku jas nya. Dia menulis di sebuah kartu, kemudian memberikannya pada pemuda itu. “Terimalah ini sebagai kenang-kenangan,” katanya. “Suatu hari mungkin berguna untukmu.”

“Oh, terima kasih,” tukas si pemuda sambil mengantongi kartu itu dengan sembarangan. “Nama saya Simmons.”
**

Merasa tidak enak padanya, bahwa minat membaca terus menyertai Margrave August Michael Von Paulsen Quigg. Saya memang menyimpang apabila saya tidak berhasil menjaga bagaimana caranya mengikuti kata hati. Sekarang, marilah kita mengintip pada keesokan harinya di pintu kediaman Hilderbrant, si pembuat pakaian kuda.

Pak Hilderbrant, dengan berat badannya yang 200 pond itu, sedang berbaring di sebuah kursi panjang, dengan sebuah gesper perak dan bahan untuk membuat tali kekang dari kulit hewan.

Bill Watson datang terlebih dahulu.

“Baiklah…” kata Pak Hilderbrant, mengagetkan semuanya dengan gaya seorang pembuat lelucon yang buruk. “Sudahkah kamu mendapatkan jawabannya? ‘Jenis ayam apa yang berbaring paling lama?’ “

“Err..saya kira…” Bill Watson menggosok-gosok dagunya yang kasar, untuk kemudian melanjutkan perkataannya. “Saya kira..Pa Hilderbrant, ayam yang hidupnya paling lama. Atau dengan kata lain...err..ayam yang panjang umur. Benarkan?”

“Bukan!” kata Pak Hilderbrand sambil menggelengkan kepalanya dengan keras. “Kau tidak dapat menebaknya dengan tepat.”

Dengan jawabannya itu, sudah bisa dipastikan bahwa Bill akan melewati hari-harinya dengan terus mengenakan celemek yang penuh oleh kutu di tempat kerjanya sebagai seorang bujangan.

Sekarang tiba giliran anak muda dari kegelapan Arabian Night. Pucat, murung, dan putus asa.

“Baik..,” lanjut Pak Hilderbrant kemudian. “Apakah kamu bisa menebaknya, anak muda? ‘Jenis ayam apa yang berbaring paling lama?’ “

Simmons menatapnya dengan sorot mata yang suram. Haruskah dia mengutuk si pembuat candaan yang memuakkan ini- mengutuknya supaya mati? Haruskah? Tapi bagaimana dengan Laura…

Masih tak bergeming dan terdiam, dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas nya dan tetap berdiri tegak. Tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah benda asing. Dia ingat, kartu pemberian sang Margrave. Dia menariknya keluar dan melihatnya sepintas, seperti orang yang hendak merangkak perlahan. Disana, tertulis dengan huruf-huruf yang tebal, “Yang terbaik adalah membawa ayam panggang.”

“Simmons menengadah sambil mengerjap-ngerjap kan matanya.

“Ayam yang telah mati!” Seru nya.

“Hebat!!” Pekik Pak Hilderbrant, sambil mengguncang meja dengan kuat. “Tepat sekali! Datanglah ke rumah pada pukul 8 malam untuk berpesta!”




Catatan :

1.      Markgrave : gelar bangsawan (seumpama Lord atau Sir) gelar tradisional Bohemia (eropa tengah) untuk para pewaris takhta.
2.      Fourth avenue : sekarang terkenal dengan park Avenue merupakan sebuah boulevard besar di tengah kota Manhattan.
3.      Boulevard : Jalan besar (jalan raya)
4.      Union Square : adalah sebuah daerah yang merupakan persimpangan  di Manhattan , New York City , terletak di mana Broadway membelah fourth avenue.
5.      Rialto : pusat teater di Broadway
6.      Saxony : sebuah negara bagian di Jerman
7.      Tammany : Sebuah organisasi politik yang berperan besar dalam kemenangan partai demokrat di New York (1786-1960an)
8.      City Hall : merupakan balai kota tertua di Amerika Serikat yang digunakan untuk menjalankan fungsi – fungsi pemerintahan.
9.      Bohemian : adalah negara yang terletak di Eropa Tengah, berbatasan dengan Jerman. Kebanyakan wilayahnya kini merupakan bagian dari Republik Ceko.
10.  Broadway : adalah sebuah jalan raya di New York City yang membentang sepanjang pulau Manhattan dan berlanjut hingga wilayah utara Westchester County.
11.  Monte Christo : nama lain dari Edmond Dantes, tokoh dalam novel klasik karya Alexander Dumas (1840), yaitu seorang tokoh yang hatinya dipenuhi dendam terhadap musuh-musuhnya, tapi ia juga digambarkan sebagai pribadi yang penyayang. Kepada mereka yang pernah menolong hidupnya, Monte Cristo sangatlah baik bahkan rela mengorbankan dirinya untuk menolong siapa saja yang pernah menolongnya.
12.  Ibsen : Penulis drama asal Norwegia beraliran realism yang menulis drama dengan tema social politik (1828-1906)
13.  Harry Thurston Peck : adalah seorang penulis klasik, editor, dan juga kritikus sastra berkebangsaan amerika (1856-1914)
14.  Plymouth rock : merupakan ayam yang berasal dari Amerika. Ayam ini sering disebut dengan ayam Rock atau ayam Barred Rock. Menurut catatan sejarah  ayam Playmout Rock juga dikembangkan di negara Inggris. Ayam ini dikembangkan untuk diambil daging dan telurnya. Di Amerika ayam Plymouth Rock sangat populer karena produksi daging dan telur yang hasilnya sangat baik
15.  John D. Rockefeller : (8 Juli 1839 – 23 Mei 1937) adalah seorang pebisnis Amerika Serikat. Ia memiliki perusahaan minyak yang disebut Standard Oil, yang menjual minyak di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia merupakan miliarder pertama dalam sejarah dunia dan dianggap sebagai orang terkaya dalam sejarah Amerika, dan mungkin orang terkaya dalam sejarah dunia.


Februari, 2015
 

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.