Jumat, 26 Juni 2015

Pagi, Refleksi, dan Ingatan Tentang Cerpen A.A. Navis


Sebelum puasa, ngopi pada pukul lima pagi itu adalah kenikmatan yang tak terbeli. Sambil duduk di depan jendela yang terbuka, mendengar kokok ayam dan kodok serta jangkerik yang bersahutan, sesekali ditimpali suara anak-anak dari pengeras suara masjid. Bukankah semua itu nikmat Tuhan yang patut disyukuri? Juga kedamaian yang sulit ditemui di siang hari. Pagi adalah jeda yang selalu kunanti. Seperti hal nya pagi ini,  angin mulai menyentuh pori-pori. Mendinginkan pipi dan juga hati, membuat dunia terasa lebih bukan seperti mimpi. Dan dengar, cericit burung dari pohon belimbing dan atap rumah mulai terdengar. Kadang, di saat-saat seperti ini, aku sedikit mengerti tentang dunia, tentang manusia, dan tentang hati yang ada di antara keduanya. Meski kadang, hidup dan kehidupan terlampau tak bisa kuraba dan kuberi makna.  

Teringat percakapan beberapa waktu lalu bersama tukang ojek yang mengantarku ke sekolah sepulang mengawas ujian dari sekolah tetangga. Ketika lagi-lagi membincangkan perihal pembunuhan yang menjadi berita hangat di televisi, yang lagi-lagi, katanya bermotif sakit hati. Dan si bapak tukang ojek itu memiliki pandangan tersendiri. “Neng, hidup itu melulu dan tidak melulu urusan hati. Kuncinya adalah membebaskan. Ketika kita merelakan, sesungguhnya itu yang kita dapatkan.” Bapak tua yang masih kuat mengojek itu berkata sambil menjalankan motornya. Aku tersenyum mendengarnya. Ternyata pelajaran berharga itu bisa didapat dari mana saja, dari siapa saja. Aku mengiyakan perkataannya.  Lagipula, memang urusan seperti itu selalu menjadi hal yang tidak akan pernah habis menjadi bahan perbincangan. Sakit hati, dendam, benci, juga cinta dan kasih sayang adalah sesuatu yang menjadikan kita lebih manusia, dan juga lebih tidak manusia.
***

Kenapa manusia bisa menjadi terlampau kejam? Kadang aku dibuat tidak mengerti. Bukankah saling menyayangi adalah fitrah manusia itu sendiri? kenapa harus menyimpan benci dan juga dendam yang hanya akan disesali? Apakah puas ketika berhasil memaki, mencelakai, atau membenci dengan sepenuh hati? Itukah hakikat menjadi manusia? Puaskah manusia menjadi pembenci? Bahagiakah dia dengan membenci? Kurasa tidak..setidaknya itu yang kurasakan, memaafkan dan melepaskan terkadang membuatku merasa punya hati…

Diam-diam aku jadi teringat seorang murid, dan seorang lagi..dan seorang lagi…dan ternyata banyak. Sering, aku melihat ada kebencian di mata mereka. Ada kemarahan dan juga dendam, yang berujung pada kesakitan yang terlihat dalam setiap tatapan mereka. Dalam tatapan mata anak-anak yang setiap hari bersama kita. Tak pernahkah kita melihatnya? Ataukah kita hanya melihatnya sebagai anak yang bandel, nakal, pembangkang, atau pembuat onar?

Ada beberapa anak yang harus diraih tangannya, dipeluk dan atau sekedar diberi senyuman. Mereka anak-anak yang harus diputus siklus nya. Aku menamakannya siklus. Karena anak yang tidak mendapat kasih sayang, terbiasa mendapat kekerasan, dilecehkan, dan menerima perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan lainnya dari orang – orang di sekeliling mereka, adalah pribadi-pribadi yang harus dimasukan ke dalam zona merah. Mereka anak-anak yang berpotensi suatu hari nanti melakukan hal serupa kepada anak-anak mereka atau kepada orang-orang di dekat mereka. Ada anak yang agresif bahkan tidak segan-segan menyakiti binatang atau kawannya sendiri, ada yang dengan tanpa beban merusak barang-barang, ada juga yang diam seribu bahasa sampai-sampai aku tak pernah mendengar suaranya barang sepatah kata. Ada juga yang setiap saat tak segan berbohong. Malah, aku pernah mendapati seorang anak yang memiliki kecendrungan seksual ekshibisionisme. Siapa mereka? Mereka adalah anak-anak kita. Anak-anak semesta yang tidak seharusnya mewarisi dosa kita, mewarisi ketidakbahagiaan kita, atau bahkan mewarisi ketidakwarasan kita. Mereka anak-anak yang suatu hari nanti akan mewarisi bumi. Menjadi manusia-manusia penerus peradaban. Akankah kita membiarkannya menjadi sosok yang asal jadi? Kadang kita merasa telah menjadi orang baik dengan tidak pernah mengganggu orang lain, tidak pernah  mencampuri urusan orang lain. Tetapi, apakah membiarkan bukan termasuk kejahatan? 

Waktu SD, aku pernah membaca cerpennya AA NavisRobohnya Surau Kami.” Aku sangat menyukai bahkan mencintai cerita tersebut. Cerita tentang kakek yang sangat terpukul oleh bualannya Joko Aji tentang seorang saleh yang dimasukkan ke dalam neraka. Lantas orang-orang saleh itu mendemo Tuhan, mereka berkata,
“Tuhanku, sepanjang hidup kami, kami habiskan waktu kami untuk menyembahMu. Lantas, kenapa sekarang Engkau malah memasukkan kami ke neraka?”
kemudian tuhan balik bertanya, “apa yang kau lakukan selama di dunia?”
“menyembahmu.”
“selain itu?”
“membaca kitabMu.”
“selain itu?”
“berdzikir kepadamu.”
“selain itu?”
“terus beribadah kepadamu?”
“selain itu?”
Dan orang-orang saleh itu pun bingung…mereka merasa tak melewatkan sehari pun untuk menyembah Tuhan. Dan kalau pun mereka lupa, tentu Tuhan lebih tahu. Begitu pikir mereka.
Tapi kemudian Tuhan berkata, “bukankah kalian itu yang tinggal di negeri bernama Indonesia, yang tanahnya subur dan kaya raya, serta memiliki harta yang melimpah ruah. Sebuah negeri yang pernah dijajah berabad-abad yang kekayaannya diangkut ke negeri orang lain serta kalian hanya beribadah? Yang harta benda untuk anak cucu kalian, kalian biarkan hilang begitu saja?”
Kemudian Tuhan pun berkata kembali kepada malaikat, ”masukkan mereka ke neraka!” Dan orang-orang saleh itu pun bertambah bingung. Tapi untuk bertanya kembali kepada Tuhan, mereka tak berani. Akhirnya mereka bertanya kepada malaikat, “apa salah kalau kami habiskan hidup kami untuk menyembah Tuhan?” Malaikat pun menjawab, “tentu tidak. Yang salah itu sifat egoistis kalian.”
***

Begitulah..cerita yang tidak pernah aku lupakan. Pertanyaannya adalah, akankah kita menjadi orang saleh yang tidak peduli pada anak cucu? Atau malah menjadi orang yang tidak saleh dan juga tidak peduli? Yang acuh tak acuh pada generasi setelahnya? Kenapa kita hanya memikirkan hidup kita sekarang? Dengan tanpa beban kita menumpuk sampah setiap hari, menghabiskan energi tanpa berpikir panjang, mengucapkan kata-kata tak pantas kepada anak-anak kita yang akan mengendap di kepala mereka sepanjang hidupnya, melakukan kekerasan verbal dan psikis pada mereka. Dalam hal ini, kita bukan lagi membiarkan..tapi telah ikut andil dalam merusak tatanan, tanpa kita sadari.  

Ketidakbahagiaan itu bukan sesuatu yang harus diwariskan. Apabila kita tidak bahagia, cukup kita saja. Tidak anak cucu kita. Mereka berhak mendapat kehidupan yang lebih baik. Kita yang berperan memutus siklus itu. Dimulai dari rumah kita sendiri. Berhenti memaki anak, berhenti membentak dan memarahi anak hanya karena urusan yang memang wajar dilakukan anak. Menangis dan merengek itu memang pekerjaan anak-anak. Kalau tak begitu, mereka bukan anka-anak. Berhenti memaksakan kehendak kita pada anak. Anak-anak bukanlah cerminan kita. Bukan bayangan kita di kaca. Mereka punya pemikiran sendiri. Biarkan mereka dengan pemikiran-pemikirannya. Jangan paksakan cita-cita kita pada anak-anak kita, karena mereka punya cita-cita sendiri. Dan anak-anak juga bukan pelampiasan kekesalan dan kesedihan kita. Jangan mengeluh di depan anak, jangan menangis atau meluapkan kemarahan di hadapan mereka.

Itu bukan berarti kita harus menjadi orang tua atau guru yang serba permisif. Anak-anak tentu harus mengetahui benar salah. Anak tetap harus diajarkan norma, agama, dan etika. Hanya saja,  lakukan dengan santun dan disukai anak. Anak itu bukan harus diceramahi terus-menerus, tetapi harus diberi contoh. Bernada menggurui juga kadang tidak disukai anak. Daripada menceramahi mereka panjang lebar, kenapa tak menceritakan saja sebuah dongeng kepada mereka? Masih ingatkah sewaktu kita kecil pada dongeng si kancil? Anak akan belajar menjadi cerdas dan penolong dari tokoh kancil, juga akan menyadari dengan sendirinya bahwa kita tidak boleh jahat seperti buaya atau harimau misalnya. Bukankah sewaktu kecil juga kita lebih senang mendengarkan dongeng? Atau beri mereka buku cerita sebanyak mungkin. Tentu saja, kita yang memilihkan buku-buku tersebut. Banyak cara untuk menanamkan budi pekerti pada anak. Daripada anak disuruh duduk diam mendengarkan nasihat-nasihat kita yang hanya akan masuk ke kuping kanan dan keluar dari kuping kiri, kenapa tak memberi saja mereka buku-buku cerita yang sarat akan pendidikan moral? Aku yakin, karena aku pun pernah menjadi anak-anak, cara-cara seperti itu akan lebih mengendap dan lebih merasuk ke dalam jiwa mereka.

Jadi, masih akankah kita menjadi generasi tua yang tidak peduli?? kalau iya…mungkin suatu hari nanti, Tuhan akan bertanya pada kita, “apa yang kau lakukan ketika di dunia?”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.