Sebelum puasa, ngopi pada pukul
lima pagi itu adalah kenikmatan yang tak terbeli. Sambil duduk di depan jendela
yang terbuka, mendengar kokok ayam dan kodok serta jangkerik yang bersahutan,
sesekali ditimpali suara anak-anak dari pengeras suara masjid. Bukankah semua
itu nikmat Tuhan yang patut disyukuri? Juga kedamaian yang sulit ditemui di
siang hari. Pagi adalah jeda yang selalu kunanti. Seperti hal nya pagi
ini, angin mulai menyentuh pori-pori. Mendinginkan
pipi dan juga hati, membuat dunia terasa lebih bukan seperti mimpi. Dan dengar,
cericit burung dari pohon belimbing dan atap rumah mulai terdengar. Kadang, di
saat-saat seperti ini, aku sedikit mengerti tentang dunia, tentang manusia, dan
tentang hati yang ada di antara keduanya. Meski kadang, hidup dan kehidupan
terlampau tak bisa kuraba dan kuberi makna.
Teringat percakapan beberapa waktu
lalu bersama tukang ojek yang mengantarku ke sekolah sepulang mengawas ujian
dari sekolah tetangga. Ketika lagi-lagi membincangkan perihal pembunuhan yang menjadi berita hangat di televisi, yang lagi-lagi, katanya bermotif sakit hati. Dan si bapak
tukang ojek itu memiliki pandangan tersendiri. “Neng, hidup itu melulu dan tidak melulu urusan hati. Kuncinya adalah
membebaskan. Ketika kita merelakan, sesungguhnya itu yang kita dapatkan.” Bapak
tua yang masih kuat mengojek itu berkata sambil menjalankan motornya. Aku
tersenyum mendengarnya. Ternyata pelajaran berharga itu bisa didapat dari mana
saja, dari siapa saja. Aku mengiyakan perkataannya. Lagipula, memang urusan seperti itu selalu
menjadi hal yang tidak akan pernah habis menjadi bahan perbincangan. Sakit
hati, dendam, benci, juga cinta dan kasih sayang adalah sesuatu yang menjadikan
kita lebih manusia, dan juga lebih tidak manusia.
***
Kenapa manusia bisa menjadi
terlampau kejam? Kadang aku dibuat tidak mengerti. Bukankah saling menyayangi
adalah fitrah manusia itu sendiri? kenapa harus menyimpan benci dan juga dendam
yang hanya akan disesali? Apakah puas ketika berhasil memaki, mencelakai, atau
membenci dengan sepenuh hati? Itukah hakikat menjadi manusia? Puaskah manusia
menjadi pembenci? Bahagiakah dia dengan membenci? Kurasa tidak..setidaknya itu
yang kurasakan, memaafkan dan melepaskan terkadang membuatku merasa punya hati…
Diam-diam aku jadi teringat seorang
murid, dan seorang lagi..dan seorang lagi…dan ternyata banyak. Sering, aku
melihat ada kebencian di mata mereka. Ada kemarahan dan juga dendam, yang
berujung pada kesakitan yang terlihat dalam setiap tatapan mereka. Dalam tatapan mata anak-anak yang setiap hari bersama kita. Tak pernahkah kita melihatnya? Ataukah kita hanya melihatnya sebagai anak yang bandel, nakal, pembangkang, atau pembuat onar?
Ada beberapa anak yang harus diraih tangannya, dipeluk dan
atau sekedar diberi senyuman. Mereka anak-anak yang harus diputus siklus nya. Aku
menamakannya siklus. Karena anak yang tidak mendapat kasih sayang, terbiasa
mendapat kekerasan, dilecehkan, dan menerima perlakuan-perlakuan yang tidak
menyenangkan lainnya dari orang – orang di sekeliling mereka, adalah
pribadi-pribadi yang harus dimasukan ke dalam zona merah. Mereka anak-anak yang
berpotensi suatu hari nanti melakukan hal serupa kepada anak-anak mereka atau
kepada orang-orang di dekat mereka. Ada anak yang agresif bahkan tidak
segan-segan menyakiti binatang atau kawannya sendiri, ada yang dengan tanpa
beban merusak barang-barang, ada juga yang diam seribu bahasa sampai-sampai aku
tak pernah mendengar suaranya barang sepatah kata. Ada juga yang setiap saat tak
segan berbohong. Malah, aku pernah mendapati seorang anak yang memiliki
kecendrungan seksual ekshibisionisme. Siapa mereka?
Mereka adalah anak-anak kita. Anak-anak semesta yang tidak seharusnya mewarisi
dosa kita, mewarisi ketidakbahagiaan kita, atau bahkan mewarisi ketidakwarasan
kita. Mereka anak-anak yang suatu hari nanti akan mewarisi bumi. Menjadi
manusia-manusia penerus peradaban. Akankah kita membiarkannya menjadi sosok
yang asal jadi? Kadang kita merasa telah menjadi orang baik dengan tidak pernah
mengganggu orang lain, tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Tetapi, apakah
membiarkan bukan termasuk kejahatan?
Waktu SD, aku pernah membaca
cerpennya AA Navis “Robohnya
Surau Kami.” Aku sangat menyukai bahkan mencintai cerita tersebut. Cerita
tentang kakek yang sangat terpukul oleh bualannya Joko Aji tentang seorang
saleh yang dimasukkan ke dalam neraka. Lantas orang-orang saleh itu mendemo
Tuhan, mereka berkata,
“Tuhanku, sepanjang hidup kami, kami
habiskan waktu kami untuk menyembahMu. Lantas, kenapa sekarang Engkau malah
memasukkan kami ke neraka?”
kemudian tuhan balik bertanya, “apa
yang kau lakukan selama di dunia?”
“menyembahmu.”
“selain itu?”
“membaca kitabMu.”
“selain itu?”
“berdzikir kepadamu.”
“selain itu?”
“terus beribadah kepadamu?”
“selain itu?”
Dan orang-orang saleh itu pun
bingung…mereka merasa tak melewatkan sehari pun untuk menyembah Tuhan. Dan
kalau pun mereka lupa, tentu Tuhan lebih tahu. Begitu pikir mereka.
Tapi kemudian Tuhan berkata,
“bukankah kalian itu yang tinggal di negeri bernama Indonesia, yang tanahnya
subur dan kaya raya, serta memiliki harta yang melimpah ruah. Sebuah negeri
yang pernah dijajah berabad-abad yang kekayaannya diangkut ke negeri orang lain
serta kalian hanya beribadah? Yang harta benda untuk anak cucu kalian, kalian
biarkan hilang begitu saja?”
Kemudian Tuhan pun berkata kembali kepada
malaikat, ”masukkan mereka ke neraka!” Dan orang-orang saleh itu pun bertambah
bingung. Tapi untuk bertanya kembali kepada Tuhan, mereka tak berani. Akhirnya
mereka bertanya kepada malaikat, “apa salah kalau kami habiskan hidup kami
untuk menyembah Tuhan?” Malaikat pun menjawab, “tentu tidak. Yang salah itu
sifat egoistis kalian.”
***
Begitulah..cerita yang tidak pernah
aku lupakan. Pertanyaannya adalah, akankah kita menjadi orang saleh yang tidak
peduli pada anak cucu? Atau malah menjadi orang yang tidak saleh dan juga tidak
peduli? Yang acuh tak acuh pada generasi setelahnya? Kenapa kita hanya
memikirkan hidup kita sekarang? Dengan tanpa beban kita menumpuk sampah setiap
hari, menghabiskan energi tanpa berpikir panjang, mengucapkan kata-kata tak
pantas kepada anak-anak kita yang akan mengendap di kepala mereka sepanjang
hidupnya, melakukan kekerasan verbal dan psikis pada mereka. Dalam hal ini,
kita bukan lagi membiarkan..tapi telah ikut andil dalam merusak tatanan, tanpa
kita sadari.
Ketidakbahagiaan itu bukan sesuatu
yang harus diwariskan. Apabila kita tidak bahagia, cukup kita saja. Tidak anak
cucu kita. Mereka berhak mendapat kehidupan yang lebih baik. Kita yang berperan
memutus siklus itu. Dimulai dari rumah kita sendiri. Berhenti memaki anak,
berhenti membentak dan memarahi anak hanya karena urusan yang memang wajar
dilakukan anak. Menangis dan merengek itu memang pekerjaan anak-anak. Kalau tak
begitu, mereka bukan anka-anak. Berhenti memaksakan kehendak kita pada anak. Anak-anak
bukanlah cerminan kita. Bukan bayangan kita di kaca. Mereka punya pemikiran
sendiri. Biarkan mereka dengan pemikiran-pemikirannya. Jangan paksakan
cita-cita kita pada anak-anak kita, karena mereka punya cita-cita sendiri. Dan
anak-anak juga bukan pelampiasan kekesalan dan kesedihan kita. Jangan mengeluh
di depan anak, jangan menangis atau meluapkan kemarahan di hadapan mereka.
Itu bukan berarti kita harus
menjadi orang tua atau guru yang serba permisif. Anak-anak tentu harus mengetahui benar
salah. Anak tetap harus diajarkan norma, agama, dan etika. Hanya saja, lakukan dengan
santun dan disukai anak. Anak itu bukan harus diceramahi terus-menerus, tetapi harus diberi contoh. Bernada menggurui juga kadang tidak disukai anak. Daripada
menceramahi mereka panjang lebar, kenapa tak menceritakan saja sebuah dongeng
kepada mereka? Masih ingatkah sewaktu kita kecil pada dongeng si kancil? Anak akan belajar menjadi cerdas dan penolong dari tokoh kancil, juga akan menyadari dengan sendirinya bahwa kita tidak boleh jahat seperti buaya atau harimau misalnya. Bukankah sewaktu kecil juga kita lebih senang mendengarkan dongeng? Atau beri mereka buku cerita sebanyak mungkin. Tentu saja, kita yang memilihkan buku-buku tersebut. Banyak cara untuk menanamkan budi pekerti pada anak. Daripada anak disuruh duduk diam mendengarkan nasihat-nasihat
kita yang hanya akan masuk ke kuping kanan dan keluar dari kuping kiri, kenapa tak
memberi saja mereka buku-buku cerita yang sarat akan pendidikan moral? Aku
yakin, karena aku pun pernah menjadi anak-anak, cara-cara seperti itu akan
lebih mengendap dan lebih merasuk ke dalam jiwa mereka.
Jadi, masih akankah kita menjadi
generasi tua yang tidak peduli?? kalau iya…mungkin suatu hari nanti, Tuhan akan
bertanya pada kita, “apa yang kau lakukan ketika di dunia?”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar