Selasa, 23 Juni 2015. Malam kesekian Ramadhan.
Jingga..apa yang harus kulakukan? Violet tak ada lagi. Apa lagi
alasanku untuk naik kereta? Apalagi alasanku untuk membeli koran minggu? Apalagi
alasanku untuk terus menulis? Tapi aku bisa apa Jingga..? Benarkah garis hidup
kita sudah ditulis, Jingga, seperti bumi yang sudah ditetapkan beredar pada
orbitnya, dia tak pernah melenceng, tak pernah berpindah garis edar. Kata semua
orang, itu untuk keseimbangan. Apakah yang aku alami juga untuk keseimbangan
jingga? Keseimbangan apa? keseimbangan siapa?
Aku tak lagi punya tujuan. Aku seakan telah berjalan ribuan
kilo di gurun yang tandus, dan harus kembali menempuh jarak yang sama, Jingga. Aku
enggan. Aku lelah. Aku tak ingin lagi berjalan. Tak bisakah aku diam saja? Aku
sungguh tak ingin lagi berjalan.
Tapi Jingga..mungkin Tuhan ingin membuatkan jalan yang lain
untukku. Tadi siang seorang kawan menelponku. Menanyakan keadaanku. Dia sudah
seperti kakak buatku. Dan lagi-lagi..aku dibuat malu oleh tingkahku. Dia bicara
padaku panjang lebar, dia dengarkan aku berjam-jam. Dia lagi-lagi mengingatkan
aku..tak henti mengingatkan aku. Walau selama ini aku hampir tak pernah
mendengarkannya. Dia tak mau tahu apa urusanku, Jingga. Dia hanya ingin aku
kembali seperti dulu. Dia bilang dia hanya ingin aku baik-baik saja.
Jingga, sungguh aku bukan kawan yang baik. Satu lagi pesan
dari kawanku yang selalu kuabaikan. Berkali-kali sms nya tak pernah kubalas. Berkali-kali
nasihat-nasihatnya hanya masuk dari kuping kiri dan keluar dari kuping kanan. Dia
tahu aku tak baik-baik saja. Aku tahu dia sibuk, tapi selalu mau menyempatkan
menanyakan kabarku sesering mungkin. Bahkan kawannya yang juga masih kawanku,
berkali-kali mengajakku bermalam di rumahnya, berkali-kali mengajakku untuk
sesekali tinggal bersamanya. Dan aku..tak terlalu memedulikan mereka. Teman
macam apa aku ini Jingga? Mereka dan kawan-kawanku yang lainnya, adalah orang-orang
yang selalu ada buatku. Yang tak segan membantu dan memberi. Dari soal uang
sampai soal hati, mereka yang tak pernah berhenti peduli.
Selama ini aku menghindari kehidupan, Jingga. Tanpa sadar..aku
juga menghindari teman-temanku. Aku menjauh dari mereka. Aku berusaha mencari
kehidupan sendiri yang berbeda. Tapi kehidupan macam apa yang kucari?? Aku bahkan
tidak tahu.
Ah Jingga…lagi-lagi aku mengeluh. Sudahlah..cukup. Aku tak
ingin terlalu cengeng lagi. Bukankah ini cuma soal hati? Apa salahnya kalau dia
pergi? Apa salahnya juga kalau dia terlalu banyak meninggalkan kenangan? Tidak Jingga.
Tak ada yang salah. Semua hanya soal menjalani garis hidup masing-masing.
Aku memang marah Jingga. Abnormal kalau aku tak marah. Tapi marah
bisa bikin apa? Sekali lagi tidak, Jingga. Marah tak akan bikin apa-apa. Aku
hanya perlu menarik nafas panjang…dan berusaha untuk tak mengutuknya jadi batu!
Sudut Jendela
23 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar