Rabu, 01 Agustus 2018

Obrolan di Warung Kopi

Suatu malam tiba-tiba saya duduk di sebuah warung kopi pinggir jalan. Tanpa disengaja ada seseorang yang dikenal menghampiri. "Sedang apa disini?" Saya cuma senyum karena tak usah dijawab pun dia tahu saya sedang menunggu pesanan kopi. Akhirnya kopi yang dipesan pun datang. "Masih kopi yang sama juga dengan dulu?" Lagi-lagi saya cuma tersenyum. Malas sebetulnya meladeni obrolannya. Tadi pergi sendiri pun berniat ingin duduk-duduk sendirian saja sambil menghirup udara kering awal Agustus di tengah kota Sukabumi. "Apa kabarmu sekarang?" Tanyanya kembali. Saya cuma mengangkat bahu sambil tersenyum kecut yang mungkin dia artikan sebagai senyum sinis. Buktinya setelah itu dia malah menyeringai dan mulai lagi dengan ocehannya mengenai "Dunia yang dipenuhi manusia-manusia serigala." Dan sebelum dia mulai menceramahi saya perihal betapa bobroknya dunia yang sedang kami tempati ini, saya mendahuluinya berbicara, "Saya sedang tak ingin berdebat soal apapun." Giliran dia yang mengangkat bahu dan mulai mengeluarkan rokok kreteknya. Lama kami terdiam sampai kemudian dia berkata, "Konon katanya efek endorphin bisa sampai tiga ratus kali lebih dahsyat dari morphin." Dia mengisap rokoknya perlahan dan melanjutkan perkataannya, "Jadi daripada kau tidur berhari-hari, lebih baik kau pergi nonton komedi!" Saya meliriknya sepintas untuk kemudian menyeruput kopi di gelas sedikit demi sedikit. "Apa kau tahu, kepalamu itu sesekali mesti terbentur, tak sadarkan diri, dan setelah terbangun otakmu akan sedikit beres." Saya tak menggubris ocehannya dengan terus bermain-main dengan sendok di gelas kopi.

Malam semakin ramai. Lalu lalang kendaraan dan hilir mudik orang-orang terlihat bagai tayangan slow motion sebuah film. Udara mulai terasa dingin. Saya semakin merapatkan jaket yang dipakai. Belakangan kulit terasa semakin sensitif saja, tak boleh kena dingin sedikt, langsung berubah merah dan kering. Agustus kesekian, dan masih dengan udara yang kering. Gelak tawa di meja seberang, riuh rendah percakapan di tenda-tenda makanan sebelah memberitahukan bahwa orang-orang mencari hiburan di tengah penatnya aktivitas mencari nafkah di siang hari. Bahagianya mereka karena hanya bekerja sebatas pagi sampai siang atau pun sore. Sedang saya, malam-malam begini masih harus ada di luar rumah dan berkutat dengan pekerjaan. Bukan maksud hati mendewakan yang tak semestinya, tapi mau bagaimana lagi? Hidup terkadang harus terjebak dalam lingkaran mau tidak mau dan apa boleh buat. Satu-satunya cara membuat semua terasa ringan dan menyenangkan adalah menerima apapun yang kita dapat, menyukainya, dan akhirnya apapun itu akan kita syukuri habis-habisan. Begitulah terkadang cara Tuhan mengajarkan manusia tentang hidup dan kehidupan. Ini bukan melulu soal apa yang kita suka dan tidak kita suka. Sesungguhnya ini hanya soal otakmu dipakai dengan cara apa dan hatimu digunakan untuk merasa apa. Maka otak dan hati inilah yang memutuskan menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Bukan sesuatunya, bukan objeknya. Maka apabila kita tidak mendapatkan apa yang kita sukai, perihal pekerjaan misalnya, maka bilanglah pada hati dan otak untuk menyukai saja apa yang kita dapat.

Malam semakin larut, gelas kopi telah kosong. Kawan saya tadi telah mengisap lagi rokoknya yang entah keberapa batang. "Apa perlu kupukulkan kepalamu?" Katanya sambil tertawa. Mau tak mau saya tersenyum juga. "Ya..tolong pukul belakang kepalaku biar ingat bumi itu bulat!"
***

Malamkesekian
010818

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.