Senin, 17 Oktober 2016

Antara Katak dalam Panci dan Katak dalam Tempurung

Musim hujan, tiba-tiba teringat katak. Kodok sih sebetulnya yang saya ingat. Tapi karena tak ada peribahasa "Kodok dalam tempurung," ya anggaplah katak yang berada dalam tempurung. Saya tak ingin menuding orang lain sebagai katak. Saya lah katak itu. Setidaknya itu yang dikatakan kawan saya belakangan. Karena pada dasarnya saya senang mendengarkan, maka cerita perihal katak ini pun saya dengar baik-baik.

Seorang kawan saya mulai bercerita, "Ada seekor katak dalam sebuah panci. Dia nyaman berada disana karena merasa tak dalam bahaya. Sampai kemudian panci itu diangkat ke sebuah tungku oleh pemiliknya. Si katak tetap diam dalam panci, karena masih merasa nyaman dengan air yang dingin. Lama-lama air tersebut menjadi hangat, katak masih diam saja. Dia pun nyaman-nyaman saja dengan air hangat. Kemudian air hangat tadi mulai memanas, katak mulai merasa gerah, tapi dia tidak melompat karena merasa air yang mulai memanas itu tak terlalu membahayakan hidupnya. Sampai akhirnya, air di panci mulai mendidih. Katak, mulai berpikir untuk melompat. Tapi itu sudah bukan saatnya untuk  berpikir. Akhirnya katak itu mati dalam panci berisi air mendidih sebelum dia sempat melompat." Dan seperti biasa..saya hanya manggut-manggut.

Kawan yang lain memulai percakapan juga tentang katak. "Mungkin semua orang dipengaruhi musim hujan," begitu pikir saya. Sebetulnya dia tak secara gamblang berbicara soal katak. Dia hanya bilang bahwa katak dalam tempurung tak bisa kemana-mana. Ditinjau dari sudut manapun, saya tak punya celah untuk menyangkal perkataannya. Jadi saya dengarkan saja ceramahnya perihal katak ini. Saya selalu senang mendengarkan. Dan dengan mendengarkan, saya jadi lebih banyak mengerti dan memahami. "Keresahan itu harus selalu kau jaga. Itu yang akan mendorongmu keluar dari tempurungmu," katanya dengan nada bicara yang selalu saya sukai. "Keluarlah!" Satu kata itu lah yang akhirnya menutup perbincangan kami.

Beberapa hari kemudian sampai sekarang, saya masih memikirkan cerita katak ini. Betulkah katak begitu bodoh dan ceroboh sehingga untuk memutuskan melompat atau tidak pun dia tidak sanggup? Atau sebegitu poloskah si katak ini sehingga mau saja berdiam dalam tempurung? Bisa jadi! Atau..bisa juga tidak. Hanya saja, saya meyakini satu hal. Bahwa Tuhan menciptakan semua makhluk sudah lengkap dengan semua kemampuan mereka untuk mempertahankan diri. Ada yang berhibernasi untuk melawan cuaca ekstrim, ada yang kuat menempuh perjalanan bermil-mil dalam kondisi yang penuh mara bahaya, juga ada yang memangsa dan menjadi buas untuk mempertahankan hidupnya. Semuanya bersinergi dengan alam, menyatu dan membuat keseimbangan. Begitulah hidup dan kehidupan. Maka sesungguhnya Tuhan teramat paham akan semua keterbatasan makhluknya. Bukankah dengan tegas Dia telah mengatakan bahwa tak ada cobaan dan ujian yang akan diberikan-Nya yang melampaui batas kemapuan hamba-Nya? Itu sudah merupakan suatu jaminan yang tak diragukan lagi. Tuhan sangat paham sampai dimana batas kemampuan kita.

Dan sesungguhnya, perihal cerita katak ini, saya merenungkannya berkali-kali. Kenapa manusia membuat peribahasa seperti itu?  Saya pun teringat kuliah dua minggu ke belakang. Dosen kami yang selalu tersenyum setiap memasuki kelas itu tiba-tiba bertanya, "Kenapa dongeng anak itu tokohnya selalu binatang? Kenapa harus binatang?" Pertanyaan sederhana yang jawabannya tak sederhana. Mengapa tokohnya harus binatang? Apakah kita kekurangan tokoh manusia sehingga ketika memperdebatkan tentang langit yang akan runtuh saja harus meminjam tokoh Kancil dan Gajah? Ataukah juga tak ada tokoh yang cocok untuk memerankan keberingasan seorang raja sehingga hanya Harimau yang pantas? Tak adakah manusia  cerdas sehingga yang dikenal cerdik oleh anak-anak hanyalah si Kancil? Ya, kenapa? Membahasnya saya kira mesti mengkhatamkan dahulu berjilid-jilid buku.

Dan sama hal nya seperti katak, hewan adalah simbol perwatakan manusia. Ada si Monyet yang culas dan serakah, ada si Kura-kura yang baik hati tapi lamban dan terlampau polos sehingga mudah ditipu. Ada si Buaya yang beringas namun selalu tak menggunakan pikirannya, ada Harimau yang gagah dan sombong tapi kurang cerdas. Ada si Ular yang licik, Kerbau yang penolong, Serigala yang tak tahu balas budi, Gajah yang tak berpendirian, serta sederet tokoh ternama lainnya dalam dunia fabel. Dalam dunia yang sesungguhnya, adakah hewan-hewan tersebut memiliki sifat demikian? Tidak! Tentu saja tidak. Itu semua sifat-sifat manusia. Ya..manusia ingin menyindir sebagian manusia lainnya dengan meminjam tokoh binatang. Karena manusia diciptakan dengan ego yang begitu tinggi, lebih sering mereka tak menyadari ketika sekali waktu dalam kehidupannya tiba-tiba dia menjelma  si Monyet, si Buaya, si Harimau atau Kerbau. Dan manusia mana yang rela dirinya dikatakan memiliki sifat-sifat demikian? Maka dari itu, meminjam tokoh binatang kiranya dapat  menyindir tanpa menyinggung.

Benarkah saya ini katak? Kenapa harus katak? Apa karena katak dapat melompat tapi tak tinggi? Saya coba mengingat-ngingat apa kelebihan katak, dan selain dapat melompat dan bernyanyi di kala hujan, saya tak menemukan kelebihan yang lain. Malah saya merinding membayangkan kataklah yang selalu dimangsa ular.

Tapi..tunggu! Bukankah katak berhibernasi juga? Bukankah katak dapat hidup di dua alam? Bukankah proses kehidupan katak begitu panjang? Selain kupu-kupu, kataklah hewan yang juga bermetamorfosis. Siklus hidupnya melalui beberapa tahap. Katak juga bernafas melalui kulit. Ya..katak bukan hewan sederhana. Dia kuat tak makan selama hibernasi yang panjang, mampu bernafas melalui kulit, bisa hidup di dua alam. Dan lagi-lagi, ciptaan Tuhan yang mana yang sia-sia?

Dan saya sedikit menemukan alasan kenapa katak sanggup bertahan dalam panci tanpa melompat. Katak tahan pada cuaca yang ekstrim. Sedang perihal katak dalam tempurung, jangankan dalam tempurung, terbenam dalam tanah tanpa bergerak sedikit pun di musim kemarau akan mampu membuatnya bertahan hidup.

Begitulah, setiap makhluk memiliki cara sendiri dalam bertahan hidup. Kita tak mungkin menggunakan sudut pandang burung ketika memaknai setiap tingkah polah katak. Akan menjadi tak sesuai ketika kita mencoba menyelami cara berperilaku seekor kelinci dari sudut pandang seekor ikan. Mungkin saja, melanglang buana bagi seekor katak hanya cukup dilakukannya dalam semedi selama hibernasi, bukan dengan cara melintasi samudera seperti penyu atau melanglang angkasa seperti burung. Mungkin saja. Tapi itu bukan berarti hidup itu melulu hanya di bawah tempurung. Jikalau katak bisa terbang, bukankah itu bagus juga? Jika katak dapat berenang melintasi samudera, bukankah itu akan jadi hebat? Tapi untuk bisa seperti itu, sepertinya katak harus anti mainstream. Harus keluar dari zona nyaman nya dalam tempurung. Harus melompat keluar panci dan menempuh resiko jika lompatannya tak tepat dan dia malah mendarat tepat di atas tungku yang penuh bara api.

Ya..mungkin intinya, jadilah katak yang bijak. Saya kira, itu yang ingin disampaikan kawan saya tadi. Setidaknya, dia berhasil membuat saya memikirkan katak seharian. 😅😅😅
***

16102016
Suatumalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.