Oleh : Noer Milansyah
Hari ini yu Lasmi sedang berbahagia. Pasalnya, tadi malam dia bermimpi
kalau ayah dari Tio anak semata wayangnya adalah Vino G. Bastian. Itu lho,
pemain film dan sinetron yang ganteng itu.
“Nak, tadi malam ibu mimpi bagus, semoga saja pertanda baik.” Senyumnya.
“Mimpi apa bu?”
“Alahhh..kau tak perlu tahu, pokoknya ini mimpi bagus.”
Tio yang sedang bermain PS di depan televisi hanya mengangkat bahu.
Beberapa saat kemudian ketika dia dan para tetangga sedang mengerubungi
tukang sayur seperti lalat mengerubungi makanan, cerita tentang mimpi itu pun
kembali bergulir.
“Wah..beruntung ya yu Lasmi ini. Jarang-jarang lho didatangi artis
seperti itu”
“Saya juga mau dong mimpi bertemu artis”
“Alahhh…itu kan cuma mimpi”
“Eh, mimpi juga bisa jadi pertanda lho…”
Begitu kira-kira tanggapan ibu-ibu komplek itu.
Mang Ujang tukang sayur langganan mereka hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Mimpi aja kok ribut,” gerutunya dalam hati.
***
Tapi rupanya benar yang dikatan orang, bahwa mimpi bisa memacu semangat
seseorang sampai ke tingkat paling ekstrem. (setidaknya itu yang dibaca yu Lasmi
di majalah wanita yang ada di rumah bu RT beberapa waktu lalu). Efek dari mimpi
itu sungguh luar biasa, bisa bertahan sampai berhari-hari. Pagi ini pun sama,
padahal mimpi itu terjadi malam jumat dua hari sebelumnya.
Setidaknya mimpi itu mampu
mengusir sedikit rasa kecewa dan amarah yang ada di dadanya. Mampu mewujudkan khayalan-khayalannya
akan seorang pria bak pangeran yang datang mengisi hari-hari sepi nya setelah
suaminya..atau lebih tepatnya mantan suaminya yang brengsek itu minggat bersama
perempuan penjaga warnet di dekat pasar itu. Hari-hari yu Lasmi selama ini
dihabiskannya hanya untuk mengutuki kedua orang brengsek itu. Anaknya,
Tio..yang baru kelas empat SD itu sepertinya jauh lebih bisa menerima
kehilangan ayahnya. Dia tumbuh menjadi anak yang lebih dewasa dari usianya.
Beberapa kali ketika dia mendapati ibu nya sedang melamun atau menangis
diam-diam, dia akan berkata, “Sudahlah Ma..Papa jangan diingat-ingat lagi.” Kalau
sudah begitu, Yu lasmi hanya bisa tersenyum sambil mengelus kepala anaknya itu.
Di lain waktu, dia akan mengumpulkan semua fotonya dengan suaminya,
dimasukannya ke dalam kotak besar, kemudian dibawa ke halaman belakang dan dia
bersiap-siap mengambil korek api. Tapi belum lagi korek api itu menyala,
bayang-bayang kenangan dari foto-foto itu kembali menari-nari di pelupuk
matanya. Korek api itu pun padam sebelum dinyalakan. Akhirnya, urunglah niatnya
membakar foto-foto itu.
Bagi yu Lasmi, kenangan lebih mahal dari sebongkah emas sekalipun. Begitu
pula kenangan dengan suaminya. Lelaki itu memang brengsek, meninggalkannya dengan
anak yang baru berusia lima tahun. Dia pergi. Tanpa berkata apa-apa, tanpa
meninggalkan apa-apa. Ditambah, kepergiannya dengan cara yang begitu menyakitkan.
Lari bersama perempuan lain. Mungkin, rasanya tidak akan sesakit itu jikalau
suaminya mati tertabrak truk barangkali, atau mati terjatuh dari atap genting
rumahnya mungkin. Dan sungguh, kadang-kadang yu Lasmi berharap suaminya itu
mati saja. Mati ditelan ular raksasa hidup-hidup. Kalau sudah sampai pada
pikiran seperti itu, akan dibantingnya segala benda yang ada di dapur. Entah
suaminya, entah bayang-bayang ular itu yang membuat kepala nya sakit seakan ditusuk
ribuan bambu runcing. Yang kasihan anak semata wayangnya. Dia akan
berteriak-teriak sambil menangis setiap kali mendapati ibunya berlaku seperti
itu. Dan akan ramailah rumah di ujung komplek itu oleh para tetangga. Ada yang
menenangkan, ada yang menasehati, ada yang menghibur, malah tidak sedikit yang
hanya bisa mencibir atau sekedar mengasihani nasib perempuan itu. Bu RT yang otaknya
sedikit lebih berisi dari para tetangga yang kebanyakan hanya bisa mengomentari
itu akan cepat-cepat meraih Tio, diambilnya Tio ke rumahnya, lalu disuruhnya
bermain dengan anak-anaknya. Sementara suaminya akan meminta para tetangga
bubar yang kemudian akan disambut dengan gerutuan ibu-ibu yang memang senang
bergosip. Dianggapnya pak RT telah menghalang-halangi langkah mereka mencari
berita seperti layaknya wartawan yang diseret dari rumah pejabat korup oleh
para pengawalnya.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari menyedihkan buat Tio. Anak lelaki
berusia lima tahun yang telah ditinggalkan oleh ayahnya yang gila perempuan,
dan harus hidup dengan perempuan setengah gila bernama ibu. Bu RT lah yang
paling peduli pada nasib kedua anak beranak itu. Diajaknya yu Lasmi yang saat
itu tidak memiliki pekerjaan untuk ikut berjulan pakaian wanita bersamanya.
Mula nya yu Lasmi melakoninya dengan setengah hati. Jangankan berjualan, untuk
berpikir bahwa dia masih hidup pun rasanya enggan. Tapi lagi-lagi Bu RT akan
mengingatkan, “ingat yu..kau boleh saja mati, tapi anakmu itu harus hidup!” Dan
ingatan akan anaknya itulah yang akhirnya membut yu Lasmi mau sedikit berpikir
waras. Ditekuninya kegiatan barunya sebagai penjual pakaian. Mulanya dia
mendapatkan upah dari pakaian yang berhasil dia jual. Hanya sedikit, tidak
seberapa. Tapi cukuplah kegiatan itu membuatnya merasa hidup. Bu RT pun tahu
penghasilannya tidak akan cukup walau sekedar untuk membeli beras sekalipun.
Akan tetapi, menjualkan pakaian itu hanyalah caranya saja untuk membuat
perempuan setengah gila itu kembali
waras.
***
Memang telah hampir lima tahun kejadian itu berlalu, dan setelah hampir
lima tahun itu, baru kali ini Tio melihat ibunya tersenyum setiap hari. Apalagi
penyebabnya kalau bukan karena mimpinya malam jumat lalu. Mimpi Vino G. Bastian
menjadi ayah dari Tio. Entah bagaimana alurnya mimpi itu sehingga mampu membuat
yu Lasmi yang selama lima tahun bersedih itu tiba-tiba jadi tersenyum. Tak ada
yang tahu, hanya yu Lasmi sendiri yang tahu.
Pagi itu yu Lasmi berdandan rapi sekali. Dipakainya gaun biru muda
bermotif bunga yang serasi dengan
kulitnya yang putih. Sambil bersenandung, dia melangkah keluar kamar. Tio
anaknya sudah berangkat sekolah pagi sekali. Hari itu Yu Lasmi sengaja
meliburkan diri berjualan pakaian di pasar yang dilakoninya sehari-hari.
Memang, rizki untuk orang yang mau mencariya itu selalu ada. Dan Tuhan pun
membuka jalan untuk perempuan itu. Dua
tahun lalu, ada seorang pedagang di pasar yang menjual murah lapaknya karena
hendak pulang kampung. Akhirnya, lapak pakaian itu pun dibeli oleh Bu RT,
dimintanyalah yu Lasmi untuk menunggui lapak itu dari pagi hingga malam. Lama
kelamaan, karena keuletan yu Lasmi
berjualan, lapak itu pun tambah ramai, bu RT senang, dan menjanjikan
bagi hasil separuh-separuh untuk keuntungan lapak itu. Sampai sekarang, usaha itulah
yang menopang kehidupan yu Lasmi dan putranya.
Yu Lasmi bergegas meninggalkan rumah. Roman mukanya yang cerah mengundang
banyak tanya para tetangga.
“Berangkat ke pasar yu?” Sapa Bu Susi tetangga depan rumahnya.
“Wah, yu hari ini ayu sekali,” teriak Mbok karmi yang membuka warung di
dekat pos ronda.
“Yu Lasmi lagi senang rupanya. Mau belanja ke mall ya yu?” Dewi anak Mbok
Karmi ikut menimpali.
Yu Lasmi hanya senyum-senyum saja mendengar pertanyaan mereka. Dia tidak
menjawab, hanya tersenyum sambil terus berjalan. Dan walau pun orang-orang
dilanda keheranan yang luar biasa sangat, tapi keheranan mereka terpaksa dipuaskan
hanya dengan senyuman yu Lasmi. Sedangkan yu Lasmi, setelah keluar dari komplek
tempat tinggalnya, dia kemudian berbelok kearah kanan. Menyetop bajaj yang
lewat, dan berkata,
“ke mall di dekat stasiun ya Bang.”
Tanpa banyak bicara, sopir bajaj pun melarikan bajajnya dengan gesit di
tengah kemacetan yang tampak sudah mulai mengular.
Di depan sebuah mall yang besar, yu Lasmi turun. Sejenak pandangannya ditujukan
pada tulisan besar-besar di mall itu. Tidak salah lagi, itu adalah mall yang
ada di dalam mimpinya. Dengan tersenyum lebar, yu Lasmi memasuki mall itu. Hatinya
berbunga-bunga, dan dia pun telah mengenakan gaun bebunga-bunga sesuai anjuran
Ki Kusumo. Bahkan, orang pintar di kampung sebelah itu pun telah memberikan dia
pegangan berupa sekantong kecil bunga tujuh rupa yang dibungkus dengan kain
putih, dan benda itu sekarang terselip di dompetnya. Menurut Ki Kusumo,
mimpinya pada jumat malam yang lalu itu adalah pertanda bagus. Karena
bertepatan dengan jumat pon dan berada pada bulan yang bagus. Yu Lasmi pun
semakin yakin, dan tambah bersemangat ketika ki Kusumo mengatakan padanya bahwa
dia akan bertemu dengan seorang pria yang sangat penting dalam hidupnya dan
Tio.
Yu Lasmi terus berjalan, berkeliling berputar-putar, sebetulnya tak
terlalu tahu hendak kemana. Niatkan saja jalan-jalan. Begitu kata ki Kusumo.
Dan hampir separuh dari mall itu telah diputarinya dalam waktu satu jam.
Bebagai toko dia masuki, semua iklan dia lihat, semua pertunjukan dia sempatkan
saksikan. Sampai tak terasa perutnya keroncongan minta diisi. Dia pun mampir ke
sebuah restoran cepat saji. Memesan seporsi nasi dan ayam goreng, lalu duduk di
pojok ruangan. Yu Lasmi sedang khusyuk menyantap makannannya ketika tiba-tiba
seseorang menyenggol meja nya dari pinggir. “oh maaf,” lelaki itu tergesa
meminta maaf. Yu Lasmi menolah, dan mendadak, mukanya pucat pasi. Pasti dia
melihat hantu. Lelaki di hadapannya tak kalah kaget. Wajahnya tiba-tiba kaku.
Sementara seorang wanita lain sedang memandang mereka berdua. Seorang anak
perempuan kecil, menarik-narik ujung kemeja lelaki itu. “Papa cepat..Ita udah
laper..”
***
“Ki Kusumo benar-benar orang sakti.” Gumam uu Lasmi. Tio yang sedang menonton
TV hanya menoleh sebentar. “Dia tahu aku akan bertemu lelaki itu.” sambung Yu
lasmi. “Siapa Ma..?” Tanya Tio. yu Lasmi
tak menghiraukan pertanyaan Tio. Dia bangkit dari kursi, berjalan ke arah
kamar, dan mengambil kotak besar yang ada di lemari paling bawah. Tio yang
melihat ibunya membawa kotak itu keluar kamar, tiba-tiba meloncat dari
kursinya. Jantungnya berdetak cepat. Dia sudah hapal benar apa yang akan
terjadi apabila ibunya telah mengeluarkan kotak itu. “Tunggu Ma..!” Tio
mengejar ibu nya ke halaman belakang. Mendadak bayangan ibunya menjerit-jerik
dan berteriak menari-nari di pelupuk matanya. Mengingat itu nafasnya mulai
tersengal. Tio tak ingin ibunya yang belakangan ini telah baik-baik saja,
kembali menjadi ibu yang seperti dulu. Tapi sesampainya di pintu belakang, mendadak
langkah Tio terhenti. Semua kata-kata yang sudah sampai di tenggorokan urung
dia keluarkan. Dia melihat api berkobar-kobar di dalam sebuah drum sampah. Perlahan,
jantungnya kembali ke keadaan normal,
nafasnya tak lagi tersengal, dan tiba-tiba sebuah senyuman tersungging dari
bibirnya. Dia senang, kini, kotak sialan itu tak akan lagi menjadi mimpi buruk
baginya.
***
Sudut Jendela,
September, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar