Kamis, 09 April 2015

Mimpi

Oleh : Noer Milansyah

Hari ini yu Lasmi sedang berbahagia. Pasalnya, tadi malam dia bermimpi kalau ayah dari Tio anak semata wayangnya adalah Vino G. Bastian. Itu lho, pemain film dan sinetron yang ganteng itu.
“Nak, tadi malam ibu mimpi bagus, semoga saja pertanda baik.” Senyumnya.
“Mimpi apa bu?”
“Alahhh..kau tak perlu tahu, pokoknya ini mimpi bagus.”
Tio yang sedang bermain PS di depan televisi hanya mengangkat bahu.
Beberapa saat kemudian ketika dia dan para tetangga sedang mengerubungi tukang sayur seperti lalat mengerubungi makanan, cerita tentang mimpi itu pun kembali bergulir.
“Wah..beruntung ya yu Lasmi ini. Jarang-jarang lho didatangi artis seperti itu”
“Saya juga mau dong mimpi bertemu artis”
“Alahhh…itu kan cuma mimpi”
“Eh, mimpi juga bisa jadi pertanda lho…”
Begitu kira-kira tanggapan ibu-ibu komplek itu.
Mang Ujang tukang sayur langganan mereka hanya bisa geleng-geleng kepala. “Mimpi aja kok ribut,” gerutunya dalam hati.
***
Tapi rupanya benar yang dikatan orang, bahwa mimpi bisa memacu semangat seseorang sampai ke tingkat paling ekstrem. (setidaknya itu yang dibaca yu Lasmi di majalah wanita yang ada di rumah bu RT beberapa waktu lalu). Efek dari mimpi itu sungguh luar biasa, bisa bertahan sampai berhari-hari. Pagi ini pun sama, padahal mimpi itu terjadi malam jumat dua hari sebelumnya.
 Setidaknya mimpi itu mampu mengusir sedikit rasa kecewa dan amarah yang ada di dadanya. Mampu mewujudkan khayalan-khayalannya akan seorang pria bak pangeran yang datang mengisi hari-hari sepi nya setelah suaminya..atau lebih tepatnya mantan suaminya yang brengsek itu minggat bersama perempuan penjaga warnet di dekat pasar itu. Hari-hari yu Lasmi selama ini dihabiskannya hanya untuk mengutuki kedua orang brengsek itu. Anaknya, Tio..yang baru kelas empat SD itu sepertinya jauh lebih bisa menerima kehilangan ayahnya. Dia tumbuh menjadi anak yang lebih dewasa dari usianya. Beberapa kali ketika dia mendapati ibu nya sedang melamun atau menangis diam-diam, dia akan berkata, “Sudahlah Ma..Papa jangan diingat-ingat lagi.” Kalau sudah begitu, Yu lasmi hanya bisa tersenyum sambil mengelus kepala anaknya itu.
Di lain waktu, dia akan mengumpulkan semua fotonya dengan suaminya, dimasukannya ke dalam kotak besar, kemudian dibawa ke halaman belakang dan dia bersiap-siap mengambil korek api. Tapi belum lagi korek api itu menyala, bayang-bayang kenangan dari foto-foto itu kembali menari-nari di pelupuk matanya. Korek api itu pun padam sebelum dinyalakan. Akhirnya, urunglah niatnya membakar foto-foto itu.
Bagi yu Lasmi, kenangan lebih mahal dari sebongkah emas sekalipun. Begitu pula kenangan dengan suaminya. Lelaki itu memang brengsek, meninggalkannya dengan anak yang baru berusia lima tahun. Dia pergi. Tanpa berkata apa-apa, tanpa meninggalkan apa-apa. Ditambah, kepergiannya dengan cara yang begitu menyakitkan. Lari bersama perempuan lain. Mungkin, rasanya tidak akan sesakit itu jikalau suaminya mati tertabrak truk barangkali, atau mati terjatuh dari atap genting rumahnya mungkin. Dan sungguh, kadang-kadang yu Lasmi berharap suaminya itu mati saja. Mati ditelan ular raksasa hidup-hidup. Kalau sudah sampai pada pikiran seperti itu, akan dibantingnya segala benda yang ada di dapur. Entah suaminya, entah bayang-bayang ular itu yang membuat kepala nya sakit seakan ditusuk ribuan bambu runcing. Yang kasihan anak semata wayangnya. Dia akan berteriak-teriak sambil menangis setiap kali mendapati ibunya berlaku seperti itu. Dan akan ramailah rumah di ujung komplek itu oleh para tetangga. Ada yang menenangkan, ada yang menasehati, ada yang menghibur, malah tidak sedikit yang hanya bisa mencibir atau sekedar mengasihani nasib perempuan itu. Bu RT yang otaknya sedikit lebih berisi dari para tetangga yang kebanyakan hanya bisa mengomentari itu akan cepat-cepat meraih Tio, diambilnya Tio ke rumahnya, lalu disuruhnya bermain dengan anak-anaknya. Sementara suaminya akan meminta para tetangga bubar yang kemudian akan disambut dengan gerutuan ibu-ibu yang memang senang bergosip. Dianggapnya pak RT telah menghalang-halangi langkah mereka mencari berita seperti layaknya wartawan yang diseret dari rumah pejabat korup oleh para pengawalnya.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari menyedihkan buat Tio. Anak lelaki berusia lima tahun yang telah ditinggalkan oleh ayahnya yang gila perempuan, dan harus hidup dengan perempuan setengah gila bernama ibu. Bu RT lah yang paling peduli pada nasib kedua anak beranak itu. Diajaknya yu Lasmi yang saat itu tidak memiliki pekerjaan untuk ikut berjulan pakaian wanita bersamanya. Mula nya yu Lasmi melakoninya dengan setengah hati. Jangankan berjualan, untuk berpikir bahwa dia masih hidup pun rasanya enggan. Tapi lagi-lagi Bu RT akan mengingatkan, “ingat yu..kau boleh saja mati, tapi anakmu itu harus hidup!” Dan ingatan akan anaknya itulah yang akhirnya membut yu Lasmi mau sedikit berpikir waras. Ditekuninya kegiatan barunya sebagai penjual pakaian. Mulanya dia mendapatkan upah dari pakaian yang berhasil dia jual. Hanya sedikit, tidak seberapa. Tapi cukuplah kegiatan itu membuatnya merasa hidup. Bu RT pun tahu penghasilannya tidak akan cukup walau sekedar untuk membeli beras sekalipun. Akan tetapi, menjualkan pakaian itu hanyalah caranya saja untuk membuat perempuan setengah  gila itu kembali waras.
***
Memang telah hampir lima tahun kejadian itu berlalu, dan setelah hampir lima tahun itu, baru kali ini Tio melihat ibunya tersenyum setiap hari. Apalagi penyebabnya kalau bukan karena mimpinya malam jumat lalu. Mimpi Vino G. Bastian menjadi ayah dari Tio. Entah bagaimana alurnya mimpi itu sehingga mampu membuat yu Lasmi yang selama lima tahun bersedih itu tiba-tiba jadi tersenyum. Tak ada yang tahu, hanya yu Lasmi sendiri yang tahu.
Pagi itu yu Lasmi berdandan rapi sekali. Dipakainya gaun biru muda bermotif bunga  yang serasi dengan kulitnya yang putih. Sambil bersenandung, dia melangkah keluar kamar. Tio anaknya sudah berangkat sekolah pagi sekali. Hari itu Yu Lasmi sengaja meliburkan diri berjualan pakaian di pasar yang dilakoninya sehari-hari. Memang, rizki untuk orang yang mau mencariya itu selalu ada. Dan Tuhan pun membuka jalan  untuk perempuan itu. Dua tahun lalu, ada seorang pedagang di pasar yang menjual murah lapaknya karena hendak pulang kampung. Akhirnya, lapak pakaian itu pun dibeli oleh Bu RT, dimintanyalah yu Lasmi untuk menunggui lapak itu dari pagi hingga malam. Lama kelamaan, karena keuletan yu Lasmi  berjualan, lapak itu pun tambah ramai, bu RT senang, dan menjanjikan bagi hasil separuh-separuh untuk keuntungan lapak itu. Sampai sekarang, usaha itulah yang menopang kehidupan yu Lasmi dan putranya.
Yu Lasmi bergegas meninggalkan rumah. Roman mukanya yang cerah mengundang banyak tanya para tetangga.
“Berangkat ke pasar yu?” Sapa Bu Susi tetangga depan rumahnya.
“Wah, yu hari ini ayu sekali,” teriak Mbok karmi yang membuka warung di dekat pos ronda.
“Yu Lasmi lagi senang rupanya. Mau belanja ke mall ya yu?” Dewi anak Mbok Karmi ikut menimpali.
Yu Lasmi hanya senyum-senyum saja mendengar pertanyaan mereka. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum sambil terus berjalan. Dan walau pun orang-orang dilanda keheranan yang luar biasa sangat, tapi keheranan mereka terpaksa dipuaskan hanya dengan senyuman yu Lasmi. Sedangkan yu Lasmi, setelah keluar dari komplek tempat tinggalnya, dia kemudian berbelok kearah kanan. Menyetop bajaj yang lewat, dan berkata,
“ke mall di dekat stasiun ya Bang.”
Tanpa banyak bicara, sopir bajaj pun melarikan bajajnya dengan gesit di tengah kemacetan yang tampak sudah mulai mengular.
Di depan sebuah mall yang besar, yu Lasmi turun. Sejenak pandangannya ditujukan pada tulisan besar-besar di mall itu. Tidak salah lagi, itu adalah mall yang ada di dalam mimpinya. Dengan tersenyum lebar, yu Lasmi memasuki mall itu. Hatinya berbunga-bunga, dan dia pun telah mengenakan gaun bebunga-bunga sesuai anjuran Ki Kusumo. Bahkan, orang pintar di kampung sebelah itu pun telah memberikan dia pegangan berupa sekantong kecil bunga tujuh rupa yang dibungkus dengan kain putih, dan benda itu sekarang terselip di dompetnya. Menurut Ki Kusumo, mimpinya pada jumat malam yang lalu itu adalah pertanda bagus. Karena bertepatan dengan jumat pon dan berada pada bulan yang bagus. Yu Lasmi pun semakin yakin, dan tambah bersemangat ketika ki Kusumo mengatakan padanya bahwa dia akan bertemu dengan seorang pria yang sangat penting dalam hidupnya dan Tio.
Yu Lasmi terus berjalan, berkeliling berputar-putar, sebetulnya tak terlalu tahu hendak kemana. Niatkan saja jalan-jalan. Begitu kata ki Kusumo. Dan hampir separuh dari mall itu telah diputarinya dalam waktu satu jam. Bebagai toko dia masuki, semua iklan dia lihat, semua pertunjukan dia sempatkan saksikan. Sampai tak terasa perutnya keroncongan minta diisi. Dia pun mampir ke sebuah restoran cepat saji. Memesan seporsi nasi dan ayam goreng, lalu duduk di pojok ruangan. Yu Lasmi sedang khusyuk menyantap makannannya ketika tiba-tiba seseorang menyenggol meja nya dari pinggir. “oh maaf,” lelaki itu tergesa meminta maaf. Yu Lasmi menolah, dan mendadak, mukanya pucat pasi. Pasti dia melihat hantu. Lelaki di hadapannya tak kalah kaget. Wajahnya tiba-tiba kaku. Sementara seorang wanita lain sedang memandang mereka berdua. Seorang anak perempuan kecil, menarik-narik ujung kemeja lelaki itu. “Papa cepat..Ita udah laper..”
***
“Ki Kusumo benar-benar orang sakti.” Gumam uu Lasmi. Tio yang sedang menonton TV hanya menoleh sebentar. “Dia tahu aku akan bertemu lelaki itu.” sambung Yu lasmi.  “Siapa Ma..?” Tanya Tio. yu Lasmi tak menghiraukan pertanyaan Tio. Dia bangkit dari kursi, berjalan ke arah kamar, dan mengambil kotak besar yang ada di lemari paling bawah. Tio yang melihat ibunya membawa kotak itu keluar kamar, tiba-tiba meloncat dari kursinya. Jantungnya berdetak cepat. Dia sudah hapal benar apa yang akan terjadi apabila ibunya telah mengeluarkan kotak itu. “Tunggu Ma..!” Tio mengejar ibu nya ke halaman belakang. Mendadak bayangan ibunya menjerit-jerik dan berteriak menari-nari di pelupuk matanya. Mengingat itu nafasnya mulai tersengal. Tio tak ingin ibunya yang belakangan ini telah baik-baik saja, kembali menjadi ibu yang seperti dulu. Tapi sesampainya di pintu belakang, mendadak langkah Tio terhenti. Semua kata-kata yang sudah sampai di tenggorokan urung dia keluarkan. Dia melihat api berkobar-kobar di dalam sebuah drum sampah. Perlahan,  jantungnya kembali ke keadaan normal, nafasnya tak lagi tersengal, dan tiba-tiba sebuah senyuman tersungging dari bibirnya. Dia senang, kini, kotak sialan itu tak akan lagi menjadi mimpi buruk baginya.
***

Sudut  Jendela,
September, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.