Oleh : Noer Milansyah
“Masa kecilku bersama kakek,
adalah seperti secangkir kopi
dengan beberapa sendok gula. “
***
Dulu, di
belakang rumahku ada pohon kopi. Kakek yang menanamnya. Tidak ingat percis
berapa jumlahnya, yang jelas, di belakang rumahku itu ada pohon kopi lebih dari
satu. Bertetangga dengan pohon kemiri yang menjulang tinggi, pohon sawo, duku,
rambutan, kweni, arbei, lolobi, kelapa, cengkeh, melinjo, lengkeng, belimbing,
durian, sirsak, dan jambu. Dan tentu saja dengan pohon pala penghuni utama
kebun. Untuk ukuran sebuah kebun di belakang rumah, kebun itu terbilang
lengkap. Di sebelah selatannya dibatasi oleh rumpun bambu yang berderet rapi,
ada sungai kecil di bawahnya. Airnya mengalir ke arah barat. Kakek selalu menyuruhku
jauh-jauh dari sana. Sedang di sebelah timur adalah pagar hidup dari segala
macam tumbuhan merambat. Ada labu siam, kedongdong, mamangkokan, roay, dan jaat. Di sebelah barat ada pohon sawo besar
yang setiap musim selalu berbuah. Di sebelahnya pohon jambu batu, dan di
sebelahnya lagi dua pohon kelapa kerdil berjejer. Selalu mengingatkanku
pada buku cerita yang dibelikan ayah. Kisah tentang sebatang pohon kelapa
kerdil dan burung Gelatik bermata satu.
Di sebelah utara terdapat pohon duku yang lebat berbuah setiap kali
musimnya datang. Di samping pohon duku itu, ada sebatang pohon kelapa doyong
yang menjulang tinggi. Aku juga selalu dimarahi kalau bermain di sekitar pohon
ini. “Takut tertimpa buah kelapa jatuh.” Begitu kata nenekku. Di depan pohon
kelapa ini, ada pohon rambutan kuning, kemudian pohon cengkeh, dan di
tengah-tengahnya, yang merupakan penghuni utama kebun adalah deretan pohon
pala. Tak tahu kenapa, baru terpikir sekarang, keluargaku dari pihak
kakek, seluruhnya memiliki kebun pala. Hampir di tiap halaman depan atau
belakang rumahnya selalu ada pohon pala dan kolam ikan. Bentuk rumahnya juga
hampir sama, rumah jaman dulu yang catnya dari kapur, dan berbatu hitam serta
di ruang tamu selalu ada kursi tua dari kayu jati dan sebuah meja marmer.
Pernah kutanyakan pada ibuku, dan ibu hanya menjawab kursi dan meja marmer itu
sudah ada sejak dia kecil. Dan aku pun berhenti bertanya. Mungkin warisan dari
kakek buyutku. Begitu pikirku.
Kembali ke
kebun. Di samping kebun itu ada sebuah kolam ikan besar. Mujair dan ikan Mas
adalah penghuni tetap disana. Setiap panen ikan tiba, adalah saat-saat yang
paling menyenangkan buatku karena aku bisa bermain lumpur sepuasnya. Di
seberang kolam, masih ada lagi kebun kecil milik kakek. Kebun yang ini ditanami
palawija meski di pinggirnya berderet pohon lengkeng, melinjo, petai cina, dua
batang pohon belimbing besar, pohon cempaka, dan sebatang pohon pala kecil.
Sedangkan kebunnya itu sendiri, bergiliran ditanami berbagai tanaman sekali
musim. Kadang ditanami singkong, ubi jalar, pisang, nanas, tebu, atau jagung.
Apapun yang masa tanamnya sebentar. Aku juga senang setiap kali memanen tanaman-tanaman
itu. Di depan kebun itu, ada sebuah sumur yang dalam dan berair jernih.
Dari sanalah satu-satunya sumber air bersih di rumah kami. Setiap petang, para
lelaki di rumah kakek akan menimba air bergiliran. Kadang kakek, kadang ayahku,
kadang Ua ku. Di dekat sumur itu
ada kamar mandi lumayan besar tanpa atap. Lurus ke depan, beberapa meter dari kamar mandi adalah dapur nenek. Dapur yang dari atapnya selalu mengepul asap yang
berasal dari tungku tua berwarna hitam yang kata nenek usianya sudah puluhan
tahun. Di belakang tungku itu ada tempat penyimpanan kayu bakar dan
ranting-ranting kering. Di sebelahnya adalah dipan yang lebar tempat nenek
menyimpan segala peralatan dapurnya. Ada dulang
tempat nasi, ada tenong
untuk tempat makanan, ada bakul, boboko,
aseupan, coet, dan segala macam
peralatan untuk memasak. Di bawah dipan itu ada kuhkuran kelapa yang usianya
juga tak kalah tua. Aku senang menaikinya. Menganggapnya seperti mobil-mobilan
atau motor-motoran. Di samping kuhkuran
itu ada sebuah lisung untuk menumbuk
beras menjadi tepung. Nenek biasa menumbuk beras ketan untuk membuat kue saptu. Pernah aku iseng menanyakan,
kenapa namanya tidak kue Selasa atau Senin saja? Nenek hanya tertawa waktu itu.
Padahal aku sungguh-sungguh menanyakannya.
Berjalan beberapa langkah ke sebelah timur dapur ini, akan ditemukan sebuah dipan lagi. Dua kali lebih luas dari di dipan di dekat tungku. Kami sekeluarga biasa makan disini. Tepatnya hanya aku, nenek, kakek, dan Ua. Kedua orang tuaku lebih sering makan di rumah kami yang tak jauh dari rumah kakek dan nenek. Dipan itu terletak di muka sebuah pintu. Pintu
menuju ke kolam di samping dapur. Berbeda dengan kolam di belakang rumah,
kolam yang ini airnya bersih, termasuk jernih untuk ukuran kolam. Kolam yang
ini juga ditanami ikan. Tapi di pinggirnya sudah beralaskan semen dan batu
untuk tempat kami sekeluarga mencuci. Di samping kanannya ada sebuah
jamban cukup besar yang rapat dikelilingi pagar bambu untuk mencegah bagian dalam kolam terlihat dari luar. Sebetulnya di sebelah kiri dapur masih ada satu
lagi kolam ikan. Kolam yang juga biasa dipakai untuk mencuci, tapi para tetangga
yang lebih sering menggunakannya. Nenek bilang, biarlah kolam itu untuk para
tetangga. Kasihan mereka tidak punya tempat untuk mencuci. Begitu kata nenek.
Aku ingat, kedua kolam itu pernah dipagar tinggi-tinggi. Ibuku bilang sengaja,
supaya aku tidak tenggelam lagi. Memang, seingatku, aku sudah berkali-kali
tenggelam di kolam-kolam itu. Entahlah..aku tak begitu ingat bagaimana
tingkahku sewaktu kecil. Tapi ingatan tentang tenggelam itu masih terekam jelas.
Aku masih ingat merasa berada di satu tempat yang di sekelilingnya berwarna
coklat. Aku bisa melihatnya karena aku tidak menutup mata. Telingaku tidak
dapat mendengar apa-apa, tapi aku merasa kesulitan bernafas, kepalaku terasa
berat, dan tiba-tiba aku sudah berada di ruang tamu rumah nenek. Di lain waktu,
aku merasa kepalaku terbentur benda keras, kemudian saat aku membuka mata,
warna hijau yang kulihat. Aku juga kembali merasakan sulit bernafas. Di lain
waktu, aku merasa meminum air begitu banyak, dan aku memuntahkan air banyak
pula. Dan kata ibuku, aku tenggelam waktu itu. Aku pun berkali-kali mengalami
cedera kepala, sehingga sampai aku dewasa, aku selalu merasa ada yang tidak
beres dengan kepalaku. Aku juga pernah patah lengan. Sangat jelas diingatanku,
aku di bawa ke rumah mama haji, kakek
buyutku, mama haji waktu itu menyuruhku
duduk di kursi di depan meja marmernya, kemudian menyuguhiku sepiring kecil
makanan yang belum pernah kulihat. Mama haji yang waktu itu memakai baju serba
putih, serban putih, dan kopiah putih itu tersenyum kepadaku, kemudian
menyuruhku mengambil makanan itu. “Itu namanya kurma,” begitu kata mama.
“Oleh-oleh dari Mekah,” sambungnya. Aku diam saja, tak bergerak, tak bilang
apa-apa. Sampai beberapa detik kemudian, mama
beranjak masuk ke dalam. Aku, yang seingatku, waktu itu sendirian, (ibuku
sedang mengobrol di teras bersama ua perempuanku), dengan ragu-ragu merogoh
piring kecil itu, menggigit sedikit makanan kecil-kecil berwarna coklat yang
dibilang mama haji sebagai kurma itu.
Dan setelah menggigit satu, aku menggigit yang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Aku yang penyuka manis, menganggap makanan itu sangat lezat. Tak lama
berselang, dari arah kamar muncul emak,
istrinya mama haji, membawakan sepiring lagi makanan yang tidak aku
kenal. “Nyai kantos nyobian daging onta?” begitu tanyanya. Aku menggelang. Unta
saja aku tidak tahu. “Ieu teh daging onta,” sambung emak.
Oleh-oleh mama haji dari mekah.
Begitu katanya. Aku melirik isi piring itu. Tampak beberapa irisan yang
sepertinya memang daging. Berwarna hitam, tipis-tipis, dan lebih mirip dendeng.
Emak menyodorkan sepotong padaku.
Dengan malu-malu aku mengambilnya. Kemudian menggigitnya. Alot. Bahkan keras.
Aku merasakannya tak jauh beda dengan dendeng mujair buatan nenek. Aku langsung
saja menyimpulkan bahwa daging unta itu tidak enak. Gara-gara kejadian itu,
beberapa tahun kemudian, aku tidak pernah lagi mau disuruh mencicipi daging unta.
Jam
berdentang. Tidak ingat berapa kali. Pokoknya, jam kuno yang berdiri di sudut
ruangan rumah mama haji itu berbunyi
ketika aku masih duduk sendirian di depan meja marmer. Kemudian mama haji datang, membawa sepisin minyak
kelapa, dan tersenyum kepadaku. “Coba mama lihat tangan kirimu,” ujarnya sambil
tersenyum. Aku tidak bereaksi. Hanya diam saja. sampai kemudian ibuku datang,
dan seingatku…waktu itu mama haji
mengurut lenganku yang kata ibu terkilir sewaktu aku memanjat pohon jambu.
Iya, pohon
jambu. Aku ingat tentang pohon jambu ini. Pohon jambu batu rindang dengan
batang bercabang dua di bagian bawahnya. Pohonnya besar dan tinggi, terletak di
halaman depan rumah nenek, tepat di samping kolam yang biasa dipakai mencuci oleh
para tetangga itu. Dan mengenai halaman itu, sangat luas. Seingatku, luasnya
hampir tiga kali rumah nenek. Seluruhya ditanami pohon-pohon pala yang rindang.
Dan di sebelah timur di dekat kolam, ada dua pohon jambu batu, dan sebuah
pohon sirsak. Sekeliling halaman itu dipagar dengan tanaman hidup yang berderet
rapi. Hanya ada satu pintu masuk terbuat dari anyaman bambu di bagian depan,
langsung menghadap kejalan desa. Seluruh halaman itu ditanamai rumput jepang
yang halus, empuk, dan terawat baik. Kakek dan nenek, meski sangat sayang padaku,
tapi mereka tidak pernah menyukai anak kecil. Kadang kurasa mereka terlalu
berlebihan memperlakukanku. Terlalu melindungi. Tak dibiarkannya aku bermain
dengan anak-anak para tetangga. Kalau pun sekalinya diijinkan, kami harus
bermain di halaman ini, tidak boleh keluar. Dan kalau pun diperbolehkan bermain
di halaman, mereka akan mewanti-wanti supaya kami berjalan pelan-pelan saja di
atas rumput itu. Aku sering kesal, bagaimana bisa bermain sambil berjalan
pelan? Dan selebihnya, lebih sering tak kuindahkan omelan-omelan mereka. Aku
asyik saja bermain susumputan, kucing-kucingan, bebentengan, sondah, dan permainan-permainan lainnya di halaman
itu. Termasuk bermain memanjat pohon jambu itu. Sampai suatu kali, aku
benar-benar terjatuh.
Perihal
pohon kopi..aku punya cerita tersendiri. Sewaktu kecil aku senang mengamati seluruh
tanaman yang ada di kebun. Pernah kutanyakan kepada kakek, pohon apa yang
pendek, yang buahnya bulat-bulat kecil berwarna hijau dan merah itu? Lantas
kakek menjawab kalau itu pohon kopi. Waktu itu aku bingung. Berkali-kali
kubandingkan gelas kopi kakek dengan buah-buah merah hijau itu. Jelas-jelas
tidak ada kesamaannya. Sampai suatu ketika, ada seorang tengkulak yang biasa
membeli hasil kebun kakek. Kulihat mereka mengambil pala, dan hanya bijinya
yang diambil, kulit buahnya dibiarkan begitu saja. Cengkeh mereka bawa
semuanya, belimbing juga semuanya. Hanya kemiri dan pala yang dikupas lantas
hanya diambil bijinya. Kuperhatikan mereka memanen kopi. Ternyata yang diambil
adalah biji yang berwarna merah saja. Dari sanalah aku mulai mengenal kopi.
Kami pernah mengolah kopi. Dan ternyata butuh proses yang teramat panjang untuk
menghasilkan serbuk berwarna hitam kecoklatan itu.
Dan pada
suatu pagi di musim hujan, setelah usaha yang cukup keras untuk mengolah kopi,
kakek mengajakku ke dapur, memberiku sebuah jojodog
dan kami berdua duduk di depan hawu. “Urang ninyuh kopi,” begitu kata
kakek. Kemudian kakek mengambil dua buah cangkir dari kaleng, membubuhkan dua
sendok teh kopi yang telah bubuk itu ke dalamnya, dan menambahkan tiga sendok
kecil gula pasir ke dalam gelasku. “Keur
nyai mah kudu amis,” sambung kakek. Akhirnya, pagi itu, di tengah gerimis
bulan Nopember, di saat usiaku menginjak tujuh tahun, aku meminum kopi
pertamaku. Kopi yang kami olah sendiri dari kebun belakang rumah, kopi yang
sampai sekarang memberiku kenangan akan sebuah perasaan hangat bernama kasih
sayang. Dan mungkin, karena kenangan itulah, maka kopi selalu menjadi minuman
yang bersejarah buatku. Kopi berarti kakek, nenek, dapur nenek, kebun kakek,
dan halaman depan rumah. Kopi adalah ingatan tentang masa kecil, dan kenangan
yang membuat manis setiap cangkir kopi yang kunikmati. Kurasa, aku tak butuh
gula lagi, karena kenanganku tentang pohon kopi di kebun kakek, cukup terasa
manis buatku.
Ruang sunyi,
September, 2013
September, 2013
Catatan :
1.
Mamangkokan,
roay, dan jaat : Tanaman merambat yang di daerah Sunda biasa dikonsumsi
sebagai lalapan.
2.
Ua : Sebutan
khas Sunda untuk kakak dari ayah atau ibu, baik itu laki-laki maupun perempuan.
3.
Dulang : Tempat
untuk mengarih nasi khas Sunda berupa wadah berbentuk cekung yang terbuat dari
batang kayu.
4.
Tenong : Tempat
menyimpan makanan khas Snda terbuat dari anyaman bambu, berbentuk seperti bakul
tapi ada penutupnya yang juga terbuat dari anyaman bambu.
5.
Boboko : Tempat nasi
dari anyaman bambu.
6.
Aseupan : Wadah
berbentuk kerucut terbuat dari anyaman bambu untuk menanak nasi di hawu.
7.
Coet : Cobek
(Untuk membuat sambal).
8.
Kuhkuran : Alat untuk
memarut kelapa.
9.
Lisung : Lesung,
alat untuk menumbuk beras yang terbuat dari batu.
10.
Kue
Saptu : Kue tradisional khas Sunda
terbuat dari campuran tepung ketan dan gula.
11.
Mama : Panggilan
hormat untuk orang (lelaki) yang dituakan dan dihormati.
12.
Emak : Panggilan
untuk wanita yang sudah tua.
13.
Nyai
: Panggilan untuk anak perempuan Sunda.
14.
“Nyai
kantos nyobian daging onta?” : “Nyai pernah mencoba daging unta?”
15.
“Ieu teh
daging onta,” : “Ini adalah daging unta.”
16.
Susumputan
: Petak Umpet.
17.
Kucing-kucingan
: Kejar-kejaran (Seorang menjadi kucing dan yang lainnya
mengejar).
18.
Bebentengan
: Benteng-bentengan, permainan tradisional
mempertahankan benteng dari lawan.
19.
Sondah : Permainan
tradisional melompati tanah yang telah diberi garis.
20.
Jojodog : Dingklik,
tempat duduk terbuat dari kayu, biasanya untuk duduk di depan perapian.
21.
Hawu : Tungku,
perapian.
22.
“Urang
ninyuh kopi.”: “Kita seduh kopi.”
23.
“Keur Nyai
mah kudu amis,” : “Untuk Nyai harus manis.”
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi
Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar