Oleh : Noer
Milansyah
Berjalan
seperti biasa di pematang sawah, bertelanjang kaki, bersentuhan dengan embun
sisa semalam, berkenalan dengan keong-keong yang baru bangun, atau sekedar
menyapa padi-padi yang belum akan menguning. Itulah pagi ku setiap hari.
Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, memanjakan paru-paru yang biasanya
dipenuhi asap rokok.
Semalam Wak
Marja berkata kepadaku kalau sawah milik kami di ujung desa itu sudah hampir
seminggu kekurangan air. Bukan karena sekarang musim kemarau atau memang sedang
susah air, tapi karena air selalu mengalir lebih banyak ke sawah-sawah milik
Juragan Arga. Iparnya Pak Lurah yang memiliki hampir seluruh sawah di desa ini.
sawah peninggalan orang tuaku dan Uwakku ku sendiri pun hanya tiga kotakan
kecil saja. Tetapi kami sangat bergantung pada sawah-sawah itu. Sistem
pengairan sawah di desa kami menggunakan sistem buka tutup seperti biasanya.
Air akan dialirkan secara bergiliran ke sawah-sawah di desa kami. Sumber air
utamanya yaitu dari sungai desa kami. Dan setiap minggu warga akan bergotong royong memastikan aliran air itu
tidak terhambat.
Pagi ini pun
tujuanku sama, akan memastikan aliran air ke sawah kami mengalir dengan lancar.
Ketika sampai di petakan sawah milih Mang Jatma, aku berhenti sejenak.
Kuperhatikan Mang Jatma beserta beberapa warga lainnya sedang berkumpul. Sepertinya
sedang membincangkan sesuatu yang serius. Terlihat dari gerak tubuh dan mimik
muka mereka.
“Itu dia Surya
baru datang,” kata salah seorang dari mereka. Aku berjalan mendekat. “Ada apa Mang?”,
tanyaku pada orang yang memanggil namaku tadi. “ini Sur, masa dari semalam
sawah-sawah kita tidak kebagian air sama sekali? Sawah Uwak mu juga kering Sur.
Kau belum melihatnya ya?”, Mang jatma menyambung suara. “Yang betul Mang?”
jawabku cukup kaget dengan berita itu.” Awalnya kukira yang dimaksud Wak Marja
dengan kekurangan air itu hanya aliran airnya saja yang kecil. Bukan tidak ada
air sama sekali. “kita harus laporkan ke pak lurah,” kata salah seorang warga. “Dari
dulu juga kita laporan terus, tapi mana hasilnya?” Yang lain terdiam. “Lurah
Sasmita dan Juragn Arga itu kan setali tiga uang.” Sambung yang lain. “Langsung
lapor pada pak camat saja,” celetuk seseorang. “Mana bisa begitu, nanti Pak Camat
malah menuding kita tidak tahu birokrasi,
sebelum camat itu kan ada perangkat desa
lainnya. Kita harus ikut prosedur, lapor pak RT dulu, lalu nanti terserah pak
RT mau lapor langsung ke Pak Lurah atau Pak Camat.” Kata Mang Jatma. “Ya tentu
saja ke pak lurah, bisa mengamuk lurah kita
kalau tahu dilangkahi seperti itu. Seperti tidak kenal Lurah Sasmita saja kau
ini.” sambung yang lainnya. “Lantas kita harus bagaimana sekarang?”,orang yang
menyapaku tadi menarik nafas panjang.
****
Aku termenung.
Di jaman yang telah modern seperti ini, ternyata di desa yang jauh dari keramaian
kota ini masih ada praktik-praktik seperti ini. Praktik yang hanya kudegar dari
cerita orang-orang tua jaman dulu tentang tuan tanah yang semena-mena. Atau hanya
kulihat dari film-film india atau film jaman dulu saja. Ternyata praktik seperti
itu tejadi pula di sini. Di desaku. Tak seorang pun yang berani menentang
juragan Arga. Sangat jelas sekali terlihat kuasa uang sangat berperan di sini.
Juragan Arga mampu membayar siapa pun yang bisa memenuhi keinginannya. Termasuk
membelokkan aliran air ke sawah miliknya sendiri. Dan kalau pun urusan ini dibawa
sampai ke kecamatan, maka akan selesailah urusan itu tanpa penyelesaian yang
jelas. Lagi-lagi itu karena pengaruh uang. Dan warga yang tidak bisa berbuat
banyak, hanya bisa menerima nasib hanya dengan kebagian air dalam jumlah yang sedikit. Belum
lagi, nanti hasil panen mereka harus dijual ke juragan Arga dengan harga yang
sudah ditetapkan. Warga tidak bisa menawar, karena akses untuk pembeli dari
luar desa ditutup oleh pak lurah. Pak lurah menghimbau seluruh warga supaya
menjual hasil-hasil kebun mereka hanya kepada juragan Arga, dengan alasan,
warga tidak perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk membawa hasil panen mereka
keluar desa yang tentu saja akan memakan biaya yang banyak.
Sekali lagi
aku hanya bisa termenung. Aku yang lulusan perguruan tinggi dan seorang sarjana
pun tak bisa berbuat banyak. Ini desa terpencil, jauh dari segala macam
fasilitas. Untuk ke kota kecamatan pun harus menempuh perjalann panjang dengan
medan yang sukar ditaklukkan.
Siang itu,
kami sepakat, bahwa nanti malam akan mengadakan rapat di rumah Wak Marja
mengenai hal ini. Dan sore ini, aku sedang duduk di teras rumah bersama Uwakku
yang telah sepuh itu.
“Sur, hidup
itu kadang tidak selalu sesuai harapan kita. Tidak seharmonis hubungan air
dengan tanah, dengan udara, dengan tumbuhan dan batu-batuan. Manusia itu
memiliki hubungan yang rumit. Kadang tidak dapat dipahami secara nalar.
Begitulah…” katanya sambil menghisap rokok tembakau yang dilinting dengan
menggunakan daun kawung itu dalam-dalam. Aku pun ikut mengambil satu lintingan,
dan menyulutnya dengan geretan tua miliki Uwak. “Wak, tadi siang warga
mengeluhkan kelakuan juragan Arga lagi”. Uwak hanya menerawang. “Dulu sekali,
waktu kau masih berusia sekitar tiga tahunan, anak lelaki juragan Arga yang
sekarang kuliah di kota itu lahir sebagai kebanggaan keluarga. Perayaannya pun
tiga hari-tiga malam. Juragan Arga nanggap wayang golek. Dalangnya
dalang kondang dari Bandung. Juragan Arga percaya, menanggap wayang akan
memberikan berkah pada hasil pertaniannya. Semenjak itu, uang juragan Arga semakin
banyak. Mungkin pengaruh kelahiran anak yang sangat dinanti-nantikannya itu. Sawahnya
semakin bertambah, dan adik perempuannya kemudian dinikahkan dengan lurah yang
sekarang. Lurah yang sekarang itu tak tergantikan sejak dua puluh tahun lalu Sur..
Lurah Sasmita itu bukan hanya iparnya juragan Arga, tapi juga masih ada
hubungan pertalian darah dengannya. Walau pun sangat jauh. Dan juragan Arga
sengaja menjadikannya lurah karena saudar-saudaranya yang lain tidak ada yang
lelaki. Maka pernikahan dengan adiknyalah itu yang kata orang untuk menyiasati
supaya juragan Arga tetap berkuasa tanpa harus menjadi lurah.” Wak Marja
menjelaskan sambil tetap menghisap rokoknya. “kenapa tak dilakukan pemilihan
ulang?” Tanyaku. “Sudah sering, tapi yang menang tetap saja lurah yang
sekarang.” Uwak menghela nafas panjang.“Apakah pemilihannya adil?” aku masih
tak mengerti.“Sangat adil. Warga sendiri yang memilih,” Sambungnya kembali.“Kenapa
warga memilihnya?”, aku masih tak paham. “Karena dia calon tunggal. Pernah dua
kali ada yang mencalonkan beberapa orang. Tetapi entah dengan cara apa,
calon-calon yang lain itu beserta para pendukungnya, selalu mendapat hambatan.
Pernah pak guru Solihin didesak warga untuk mencalonkan diri, tetapi keesokan
harinya, sawah Pak Solihin yang dua tiga hari lagi akan dipanen itu rusak
berat. Entah siapa yang merusaknya. Sampai sekarang tak terungkap. Tapi warga
sudah sama-sama tahu, itulah akibatnya kalau menentang Lurah Sasmita dan
Juragan Arga. Konon, kata kakek buyutmu, desa ini turun-temurun dikuasai oleh
keluarga juragan Arga. Dan kudengar, anak lelakinya yang kuliah di kota itu,
sedang dipersiapkannya pula untuk menjadi Lurah menggantikan Lurah yang sekarang,”
Wak Marja mengakhiri penjelasannya sambil menggelar tikar untuk kumpulan warga
malam ini.
Aku masih tak
beranjak, kuraih kembali lintingan daun kawung dan kuhisap dalam-dalam. Aku tak
habis pikir, kenapa masih ada hal-hal semacam ini di zaman yang sudah serba
canggih ini. Tapi mungkin betul kata Uwak, hubungan antar manusia itu terampau
rumit untuk dipahami. Ataukah hanya pemikiran sebagian orang saja yang rumit?
Setahuku, warga disini hanya memiliki keinginan sederhana, ingin sawah-sawahnya
mendapat aliran air yang cukup. Sederhana. Tapi ah..biarlah nanti orang-orang
tua di desa ini membahasnya bersama Wak Marja. Aku tak terlalu paham. Tak
mengerti pula ambisi juragan Arga untuk terus beruasa di desa ini. yang
kutahu..anak nya yang kata Uwak dipersiapkan untuk menjadi lurah itu, sekarng
pasti sedang membolos kuliah dan malah nongkrong di night club bersama
teman-temannya. Bahkan aku tahu kuliahnya tak lulus dua semester. Kerjanya
hanya menghambur-hamburkan uang yang dikirim ayahnya dari hasil sawah dan kebun
yang meyusahkan wargan disini. Aku tahu, karena aku tinggal tak jauh dari kos
san nya. teman-temannya disana mengenalnya sebagai anak kampung dengan bapak
yang kaya. Kadang teman-temannya kurasa hanya memanfaatkan uangnya saja. sangat
ironis, di sini ayahnya mati-matian mendapatkan hasil panen yang melimpah,
bahkan dengan cara mencurangi warga hanya untuk membiayai seorang anak lelaki
kebanggaannya yang sekarang mungkin sedang teler di night club. Aku hanya bisa
tersenyum sinis. Kubuang puntung daun kawung, dan segera beranjak ke dalam.
Akan kubantu Uwak menyiapkan kopi untuk pertemuan malam ini.
Sudut
Jendela
28-11-2014
08:44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar