Kamis, 05 Februari 2015

Menjelang Siang di Pematang

Oleh : Noer Milansyah

Berjalan seperti biasa di pematang sawah, bertelanjang kaki, bersentuhan dengan embun sisa semalam, berkenalan dengan keong-keong yang baru bangun, atau sekedar menyapa padi-padi yang belum akan menguning. Itulah pagi ku setiap hari. Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, memanjakan paru-paru yang biasanya dipenuhi asap rokok.

Semalam Wak Marja berkata kepadaku kalau sawah milik kami di ujung desa itu sudah hampir seminggu kekurangan air. Bukan karena sekarang musim kemarau atau memang sedang susah air, tapi karena air selalu mengalir lebih banyak ke sawah-sawah milik Juragan Arga. Iparnya Pak Lurah yang memiliki hampir seluruh sawah di desa ini. sawah peninggalan orang tuaku dan Uwakku ku sendiri pun hanya tiga kotakan kecil saja. Tetapi kami sangat bergantung pada sawah-sawah itu. Sistem pengairan sawah di desa kami menggunakan sistem buka tutup seperti biasanya. Air akan dialirkan secara bergiliran ke sawah-sawah di desa kami. Sumber air utamanya yaitu dari sungai desa kami. Dan setiap minggu warga akan  bergotong royong memastikan aliran air itu tidak terhambat.

Pagi ini pun tujuanku sama, akan memastikan aliran air ke sawah kami mengalir dengan lancar. Ketika sampai di petakan sawah milih Mang Jatma, aku berhenti sejenak. Kuperhatikan Mang Jatma beserta beberapa warga lainnya sedang berkumpul. Sepertinya sedang membincangkan sesuatu yang serius. Terlihat dari gerak tubuh dan mimik muka mereka.

“Itu dia Surya baru datang,” kata salah seorang dari mereka. Aku berjalan mendekat. “Ada apa Mang?”, tanyaku pada orang yang memanggil namaku tadi. “ini Sur, masa dari semalam sawah-sawah kita tidak kebagian air sama sekali? Sawah Uwak mu juga kering Sur. Kau belum melihatnya ya?”, Mang jatma menyambung suara. “Yang betul Mang?” jawabku cukup kaget dengan berita itu.” Awalnya kukira yang dimaksud Wak Marja dengan kekurangan air itu hanya aliran airnya saja yang kecil. Bukan tidak ada air sama sekali. “kita harus laporkan ke pak lurah,” kata salah seorang warga. “Dari dulu juga kita laporan terus, tapi mana hasilnya?” Yang lain terdiam. “Lurah Sasmita dan Juragn Arga itu kan setali tiga uang.” Sambung yang lain. “Langsung lapor pada pak camat saja,” celetuk seseorang. “Mana bisa begitu, nanti Pak Camat malah menuding kita tidak tahu  birokrasi, sebelum camat itu kan  ada perangkat desa lainnya. Kita harus ikut prosedur, lapor pak RT dulu, lalu nanti terserah pak RT mau lapor langsung ke Pak Lurah atau Pak Camat.” Kata Mang Jatma. “Ya tentu saja ke  pak lurah, bisa mengamuk lurah kita kalau tahu dilangkahi seperti itu. Seperti tidak kenal Lurah Sasmita saja kau ini.” sambung yang lainnya. “Lantas kita harus bagaimana sekarang?”,orang yang menyapaku tadi menarik nafas panjang.
****

Aku termenung. Di jaman yang telah modern seperti ini, ternyata di desa yang jauh dari keramaian kota ini masih ada praktik-praktik seperti ini. Praktik yang hanya kudegar dari cerita orang-orang tua jaman dulu tentang tuan tanah yang semena-mena. Atau hanya kulihat dari film-film india atau film jaman dulu saja. Ternyata praktik seperti itu tejadi pula di sini. Di desaku. Tak seorang pun yang berani menentang juragan Arga. Sangat jelas sekali terlihat kuasa uang sangat berperan di sini. Juragan Arga mampu membayar siapa pun yang bisa memenuhi keinginannya. Termasuk membelokkan aliran air ke sawah miliknya sendiri. Dan kalau pun urusan ini dibawa sampai ke kecamatan, maka akan selesailah urusan itu tanpa penyelesaian yang jelas. Lagi-lagi itu karena pengaruh uang. Dan warga yang tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa menerima nasib hanya dengan  kebagian air dalam jumlah yang sedikit. Belum lagi, nanti hasil panen mereka harus dijual ke juragan Arga dengan harga yang sudah ditetapkan. Warga tidak bisa menawar, karena akses untuk pembeli dari luar desa ditutup oleh pak lurah. Pak lurah menghimbau seluruh warga supaya menjual hasil-hasil kebun mereka hanya kepada juragan Arga, dengan alasan, warga tidak perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk membawa hasil panen mereka keluar desa yang tentu saja akan memakan biaya yang banyak.

Sekali lagi aku hanya bisa termenung. Aku yang lulusan perguruan tinggi dan seorang sarjana pun tak bisa berbuat banyak. Ini desa terpencil, jauh dari segala macam fasilitas. Untuk ke kota kecamatan pun harus menempuh perjalann panjang dengan medan yang sukar ditaklukkan.

Siang itu, kami sepakat, bahwa nanti malam akan mengadakan rapat di rumah Wak Marja mengenai hal ini. Dan sore ini, aku sedang duduk di teras rumah bersama Uwakku yang telah sepuh itu.

“Sur, hidup itu kadang tidak selalu sesuai harapan kita. Tidak seharmonis hubungan air dengan tanah, dengan udara, dengan tumbuhan dan batu-batuan. Manusia itu memiliki hubungan yang rumit. Kadang tidak dapat dipahami secara nalar. Begitulah…” katanya sambil menghisap rokok tembakau yang dilinting dengan menggunakan daun kawung itu dalam-dalam. Aku pun ikut mengambil satu lintingan, dan menyulutnya dengan geretan tua miliki Uwak. “Wak, tadi siang warga mengeluhkan kelakuan juragan Arga lagi”. Uwak hanya menerawang. “Dulu sekali, waktu kau masih berusia sekitar tiga tahunan, anak lelaki juragan Arga yang sekarang kuliah di kota itu lahir sebagai kebanggaan keluarga. Perayaannya pun tiga hari-tiga malam. Juragan Arga nanggap wayang golek. Dalangnya dalang kondang dari Bandung. Juragan Arga percaya, menanggap wayang akan memberikan berkah pada hasil pertaniannya. Semenjak itu, uang juragan Arga semakin banyak. Mungkin pengaruh kelahiran anak yang sangat dinanti-nantikannya itu. Sawahnya semakin bertambah, dan adik perempuannya kemudian dinikahkan dengan lurah yang sekarang. Lurah yang sekarang itu tak tergantikan sejak dua puluh tahun lalu Sur.. Lurah Sasmita itu bukan hanya iparnya juragan Arga, tapi juga masih ada hubungan pertalian darah dengannya. Walau pun sangat jauh. Dan juragan Arga sengaja menjadikannya lurah karena saudar-saudaranya yang lain tidak ada yang lelaki. Maka pernikahan dengan adiknyalah itu yang kata orang untuk menyiasati supaya juragan Arga tetap berkuasa tanpa harus menjadi lurah.” Wak Marja menjelaskan sambil tetap menghisap rokoknya. “kenapa tak dilakukan pemilihan ulang?” Tanyaku. “Sudah sering, tapi yang menang tetap saja lurah yang sekarang.” Uwak menghela nafas panjang.“Apakah pemilihannya adil?” aku masih tak mengerti.“Sangat adil. Warga sendiri yang memilih,” Sambungnya kembali.“Kenapa warga memilihnya?”, aku masih tak paham. “Karena dia calon tunggal. Pernah dua kali ada yang mencalonkan beberapa orang. Tetapi entah dengan cara apa, calon-calon yang lain itu beserta para pendukungnya, selalu mendapat hambatan. Pernah pak guru Solihin didesak warga untuk mencalonkan diri, tetapi keesokan harinya, sawah Pak Solihin yang dua tiga hari lagi akan dipanen itu rusak berat. Entah siapa yang merusaknya. Sampai sekarang tak terungkap. Tapi warga sudah sama-sama tahu, itulah akibatnya kalau menentang Lurah Sasmita dan Juragan Arga. Konon, kata kakek buyutmu, desa ini turun-temurun dikuasai oleh keluarga juragan Arga. Dan kudengar, anak lelakinya yang kuliah di kota itu, sedang dipersiapkannya pula untuk menjadi Lurah menggantikan Lurah yang sekarang,” Wak Marja mengakhiri penjelasannya sambil menggelar tikar untuk kumpulan warga malam ini.

Aku masih tak beranjak, kuraih kembali lintingan daun kawung dan kuhisap dalam-dalam. Aku tak habis pikir, kenapa masih ada hal-hal semacam ini di zaman yang sudah serba canggih ini. Tapi mungkin betul kata Uwak, hubungan antar manusia itu terampau rumit untuk dipahami. Ataukah hanya pemikiran sebagian orang saja yang rumit? Setahuku, warga disini hanya memiliki keinginan sederhana, ingin sawah-sawahnya mendapat aliran air yang cukup. Sederhana. Tapi ah..biarlah nanti orang-orang tua di desa ini membahasnya bersama Wak Marja. Aku tak terlalu paham. Tak mengerti pula ambisi juragan Arga untuk terus beruasa di desa ini. yang kutahu..anak nya yang kata Uwak dipersiapkan untuk menjadi lurah itu, sekarng pasti sedang membolos kuliah dan malah nongkrong di night club bersama teman-temannya. Bahkan aku tahu kuliahnya tak lulus dua semester. Kerjanya hanya menghambur-hamburkan uang yang dikirim ayahnya dari hasil sawah dan kebun yang meyusahkan wargan disini. Aku tahu, karena aku tinggal tak jauh dari kos san nya. teman-temannya disana mengenalnya sebagai anak kampung dengan bapak yang kaya. Kadang teman-temannya kurasa hanya memanfaatkan uangnya saja. sangat ironis, di sini ayahnya mati-matian mendapatkan hasil panen yang melimpah, bahkan dengan cara mencurangi warga hanya untuk membiayai seorang anak lelaki kebanggaannya yang sekarang mungkin sedang teler di night club. Aku hanya bisa tersenyum sinis. Kubuang puntung daun kawung, dan segera beranjak ke dalam. Akan kubantu Uwak menyiapkan kopi untuk pertemuan malam ini.

                                                                                                                                                                                               
Sudut Jendela
28-11-2014
08:44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Setelah dua minggu di rumah saja

Setelah dua Minggu di rumah saja. Beberapa hari ini hujan mengguyur tak kenal ampun. Tak ada yang tahu akan seperti apa hidup ini.