Sekumpulan
sunyi bernyanyi padanya di subuh yang sepi.
Mungkin ada yang
hilang, mungkin juga ada yang tidak hilang. Ketika bulan sabit masih tergantung
di subuh yang sunyi, suara jengkerik yang masih ramai, dan embun yang baru
turun, ada hati yang juga sepi. Benarkah cahaya ilahi itu telah benar-benar
pergi darinya? Cahaya yang dia butuhkan ketika semuanya tak lagi menjadi
seperti semula. Tetapi hatinya tak benar-benar kering. Ada keajaiban yang
menyihir kebekuan hatinya kemarin siang. Ketika seorang professor beruban dan
berjanggut putih berdiri di depan kelasnya. Professor tua itu mengingatkan dia
pada apa yang menjadi awal cita-citanya dahulu. Kata-katanya yang lembut dan tidak pernah menjudge itu mampu membuat matanya terasa panas dan hatinya
melumer. Dia tahu telah berjalan sedemikian jauh dan tertinggal dari rombongan.
Dia hanya seorang musafir tak berkawan di tengah padang pasir yang kering dan
tandus. Tak tahu arah tujuan, dan hampir mati kehausan. Tiba-tiba, professor
tua itu menjelma oase yang memuaskan dahaganya. Dia tak jadi mati kering.
Matanya basah oleh ingatan-ingatan tentang kecintaannya pada Tuhan. Tuhan yang
dahulu begitu dekat dan dicintainya tanpa syarat. Tuhan yang membuatnya menjadi
manusia paling berbahagia di dunia.
Kabut tipis
mulai turun di luar kelasnya. Langit biru, bukit hijau, dan semua yang berwarna
beberapa menit lalu terlihat dari balik jendela, telah berubah putih semua.
Gerimis di kota kecil itu menjelma hujan deras yang menantang suara-suara
mereka di dalam kelas. Beberapa orang kawannya tampak antusias menyimak setiap
ucapan sang professor. Professor bersuara lantang itu tetap tak bisa dikalahkan
oleh hujan. Sampai tiba pada bagian bahwa Allah lah tujuan segala upaya manusia
di dunia ini, matanya mendadak basah. Apa sebenarnya tujuan dia di dunia? Apakah
hanya sekedar mengejar cita-cita? Apakah hanya untuk mencari cinta? Apakah
hanya untuk mencintai dan peduli? Iya, dia hanya mencari hal-hal seperti itu. Dia
lupa bahwa hidup tak selamanya akan terus bersamanya. Suatu hari dia akan
pergi, akan meninggalkan. Dan kemana dia setelah itu? Apakah dia hanya akan
menjadi kabut-kabut tipis yang mudah menghilang, ataukah hanya menjadi mentari
yang ketika terbenam juga hilang? Atau jadi angin yang sebentar kemudian
terbang? Ataukah jadi air yang pada saat kemarau tak lagi mengalir? Tidak. Semua
itu bukanlah keabadian. Semua itu akan berakhir. Ditinggalkan atau
meninggalkan. Bukankah seperti itu rumus kehidupan manusia di dunia? Ada,
kemudian hilang dan pergi. Atau hilang, kemudian ada, lantas hilang kembali.
Tak ada yang selamanya hilang, tak ada yang selamanya ada. Tak ada juga
perjalanan yang tanpa akhir. Semua pasti bermula dan berujung. Bukankah manusia
itu seorang pejalan yang hebat? Ketika kakinya tak mampu lagi menapak, dia akan
berenang, terbang, atau apapun yang mampu membuatnya bergerak. Manusia tak pernah
berhenti bergerak. Tak pernah berhenti hidup selama perputaran bumi masih
dikehendaki Tuhan.
Kokok ayam mulai
terdengar. Subuh juga akan berlalu meninggalkannya pergi. Awal musim penghujan.
Kabut tipis hampir setiap pagi mampir di jendelanya. Membuatnya bisa menuliskan
namanya di kaca jendela. Kadang-kadang juga cita-citanya. Atau sesekali
surat cinta yang dia kirim untuk kekasih sepi nya. Surat itu kadang berkata, “Aku
merindukanmu sebanyak tetesan hujan…”
Kali ini dia tak
lagi berkirim surat. Subuhnya dihabiskan di atas hamparan sajadah yang
hampir-hampir tak dia kenali lagi. Dingin, asing. Benda itu bahkan terasa
janggal di tangannya ketika dia menyentuhnya. Matanya berusaha berkata “Ini
aku..!” Dan duduk berlama-lama di atasnya, adalah nostalgia yang menghamparkan
sejuta kenangan di hatinya.
Subuh bernyanyi.
Orkestranya adalah sekumpulan sunyi yang tiba-tiba berubah menjadi nada-nada
yang indah. Nyanyian itu memenuhi kamarnya. Mengajak menari kepada pintu,
jendela, lemari, dan rak-rak buku nya. Ini kah bahagia yang dia cari? Ketika
hatinya mampu melihat sedikit cahaya di kegelapan? Ketika dia dapat mengajak
subuhnya bernyanyi dan sunyi nya menari? Tidakkah sekarang dunianya menjadi
ramai? Tidakkah sekarang dia berkawan? Dia masih belum tahu…
Gerimis semalam
meninggalkan basah di jalan, di dahan, di ranting, di genting, juga di hatinya.
Langit yang mulai membiru, dan matahari yang kira-kira akan segera membuka
matanya, membuat pagi ini terlihat seperti wajah seorang gadis cantik yang baru
terbangun dari tidurnya. Bukankah kecantikan itu lebih banyak tertangkap pada
sesuatu yang alami, ketika tidak ada sedikitpun kepalsuan yang menutupinya? Dia
membuka jendelanya lebar-lebar. Merasakan oksigen memenuhi paru-parunya.
Membiarkan angin lembut menyentuh pipinya seperti tangan seorang gadis kecil.
Halus dan dingin. Dia melihat sesuatu yang luput dari penglihatannya selama
ini. Keindahan! Ya, bahkan semut yang sedang berbaris di dinding pun sekarang
tampak begitu indah di matanya. Apakah selama ini matanya buta? Ataukah justru keindahan
itu yang tidak ada? Ah, tidak..! Matanya sajalah yang kira-kira tak dapat
melihat. Berapa ribu keindahan yang telah dia lewatkan? Berapa juta kenikmatan
yang luput dia rasakan? Tiba-tiba dia terhenyak. Banyak. Sudah terlampau
banyak. Bukankah matahari juga dia ingkari? Bukankah udara yang dia hirup juga
tak pernah diakuinya? Juga aliran darahnya, detak jantungnya…apakah dia
mengakui semua itu? Tidak..! Iya, dia selalu menyangkalnya. Menyangkal setiap
kenikmatan yang dianugerahkan Tuhan pada hidupnya yang singkat. Dan betapa
Tuhan masih teramat baik dengan tak mengambil itu semua darinya, bahkan setelah
apa yang dia lakukan pada-Nya. Dia mengkhianati Tuhan! Dan lihat, betapa Tuhan
masih merengkuhnya dalam kasih sayang.
Dia menarik
nafas panjang, tersenyum pada serombongan semut yang sedang berjalan, dan
kemudian berkata hampir tak terdengar, “Selamat pagi matahari..subuh ini aku
bertemu kekasihku.”
Sudut Jendela
05:00
08112015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar