ini dia orangnya, hehehe.. |
“Jadi beli yang itu?” (dengan wajah ceria)
“Ya..!” (semangat)
“Warnanya?” (ingin tahu)
“Ehm..yang ini!” (antusias sambil mengambil warna abu-abu)
“Yakin?” (mengeryitkan dahi)
“Iya lah” (sangat yakin)
“Pilih yang lain deh..!” (cemberut)
“Baiklah, yang ini saja..” (tersenyum sambil mengambil yang
hitam)
“Apa ga ada warna lain?” (menggerutu)
“Memangnya kenapa?” (wajah polos)
“Suram amat hidupmu..!” (setengah berteriak)
Aku hanya mengangkat bahu. Jadilah kuambil warna biru.
Hasilnya, dia malah bilang..”Yah..biru lagi, biru lagi..!”
***
Itu sepotong percakapaanku dengan kawan lama yang masih
kuakrabi sampai sekarang. Dia seorang single. Asli single, bukan pernah single
seperti aku. Dan bisa kubilang, she’s not ordinary single girl. Kami dulu berkawan
karib ketika sama-sama menuntut ilmu di Universitas Muhammadiyah Sukabumi. Dia satu-satunya
kawan yang kesenangannya bukan shopping melulu seperti kawan-kawan yang lain. Alhasil,
selama hampir tiga tahun, hanya dialah satu-satunya kawan yang tidak pernah
mengeluh ketika dibawa ke perpus atau toko buku. Dia akan anteng dengan buku. Berjam-jam,
bahkan bisa sampai seharian. Pernah pula kami diusir petugas perpus karena tak
tahu waktu. Atau mungkin..mereka ingin cepat tiba di rumah dan sebal melihat
kami yang tidak juga mau beranjak dari kursi baca meski matahari telah hampir
condong ke barat.
Setelah sekian tahun..beberapa tahun terakhir ini kami
sering bertemu kembali. Meski harus mencuri-curi waktu di tengah kesibukan
masing-masing. Harus menunggu sampai aku libur dan dia off dinas malam. Begitulah..akhirnya
kami jadi sering jalan bareng lagi meski ujung-ujungnya ke toko buku juga. Tapi
perihal percakapan di atas, itu terjadi pada hari jum’at awal bulan yang lalu. Aku
sedang memilih case hp. Karena pilihan warnanya terbatas, maka pilihanku jatuh
pada warna abu-abu. Dia tampaknya kurang suka, jadi aku beralih ke biru dongker
dan hitam pekat. Karena aku tak kunjung memilih warna yang menyala, akhirnya
dia berkata setengah berteriak, “suram amat hidupmu!” saat itu aku hanya nyengir
sambil mengambil wana biru. Warna yang telah dia prediksi. (karena dalam semua
hal, aku selalu memilih warna biru). Akhirnya pilihanku itu hanya membuatnya
berkomentar, “yah..biru lagi, biru lagi…” (tepok jidat! Heheh)
Selanjutnya kami memilih jam tangan, karena dia pasti
memilih wana biru, aku ingin coba sensasi yang lain. Kupilih warna merah. Mungkin dalam hati dia akan bicara, “hmm..suatu
kemajuan” (Hahah..aku sukses tak memilih warna hitam!). Jadilah, jam tanganku
warna merah, dia biru. Selanjutnya, sore itu kami pulang berboncengan revo nya
yang masih saja kinclong meski usianya tak lagi muda. Hehehe…
***
Setibanya di rumah, aku jadi mikir, dia juga dulu sama
sepertiku, penyuka warna kalem. Warna cerah ceria kami hanya biru. Kami sinis
pada semua hal. Semua dikomentari. Seakan dunia ini salah semua. (Hahah..kakarek
jadi mahasiswa) sampai akhirnya kami..(mungkin tepatnya aku) menyadari bahwa
kami memandang dunia bukan dari gelas kaca. Tapi kami ada di dalamnya. Menjadi bagian
dari kehidupan itu sendiri. Dan aku, tidak merasa menjadi bagian dari
kehidupanku saat itu. Gangguan karena pemikiran yang demikian itu, membuatku
tak lagi nyaman kuliah. Saat itu aku merasa seperti seekor anak penyu yang
dilepas ke lautan dan begitu kaget melihat samudera dan seisinya. Sampai akhirnya,
jalanku dan jalannya berbeda. Aku memutuskan berhenti kuliah. Ganti haluan. Mengikuti
kata hati. Meski tak tahu itu benar atau salah. Toh saat itu aku berpikir,
bahwa jalan apapun yang kutempuh, kedua-duanya sama-sama menyimpan cerita
untukku. Hidup itu selalu bercerita. Selalu memiliki kisah. Aku, saat
itu..hanya ingin menjalani kisahku sendiri. Menjelang penulisan KTI..aku mundur…cita-citaku
hanya satu, ingin menyusun skripsi dengan tema pendidikan. Dan itu tak mungkin
kulakukan di program study keperawatan. Dan meski ditentang semua orang,
akhirnya aku memutuskan untuk terus jalan. (saat itu aku mengalami masa-masa
sulit dengan kerja di pabrik segala..hehe).
Semua hal kulalui. Dan saat itu, aku benar-benar merasakan
cinta yang sebenar-benarnya. Betul kata orang, bahwa cinta anak sepenggalah,
cinta orang tua sepanjang jalan. Semarah apapun mereka padaku, setidaksetuju
apapun mereka pada pilihan hidupku..mereka tetap tak membiarkan aku jadi buruh
pabrik selamanya! Mereka mengijinkan aku ganti jurusan kuliah. Dan mungkin, di
situlah jalan Tuhan bekerja..akhirnya aku bisa mengajar sambil kuliah. Bisa dengan
leluasa menyusun PTK…
***
Belasan tahun berlalu, dan kisah hidup setiap orang terus
berjalan. Aku selalu menganggap hidupku ibarat halaman demi halaman buku
misteri. Aku tidak akan mengintip halaman terakhir hanya untuk mengetahui siapa
penjahatnya. Asyiknya buku misteri itu justru karena kita tidak tahu apa yang
akan terjadi di halaman berikutnya. Bila ingin tahu rasanya, cobalah
sekali-kali baca buku misteri..atau paling tidak, jangan lewatkan komik Conan
atau cerita nya Sherlock Holmes! :)
Ketika itu pun saat-saat sulit buatku. Aku ingat hari-hariku
menjelang keputusan yang berat itu juga terasa amat berat. Tapi toh akhirnya
aku bisa melaluinya. Bersedih ataupun tidak, semuanya akan tetap berlalu. Kenapa
aku tidak melaluinya dengan bergembira saja? kurasa itu yang ingin dikatakan
kawanku tadi. Kenapa harus memilih warna suram bila ada ribuan warna ceria di
sekeliling kita??
Kembali ke kawanku, dia orangnya ceria…semua hal dianggap
enteng. Seperti ketika panjang lebar aku menceritakan sesuatu, dia hanya akan
bilang, “siklus hidup Mil..” (hahah..) dan bisa kubayangkan dia berkata seperti itu sambil kembali melahap
makanannya tanpa terganggu dengan omonganku.
***
Sudut Jendela
Ramadhan, 2015
00:07