“Tuhan maha
adil.”
Kata yang sempat kusangsikan, tapi akhirnya selalu tak bisa kusangkal kebenarannya. Dan kukira, soal keadilan, bukan ukuran manusia untuk menakarnya. Pemikiran seperti itu tiba-tiba saja menghampiriku ketika sedang duduk selama lima menit di depan hamparan kebun papaya yang sedang berbunga di samping kolam lele yang baru saja ditanami ketika menunggu jam mengajar. Sekuntum bunga pepaya yang masih muda jatuh ke tanah. Tapi ada tunas bunga baru yang bersiap hendak tumbuh. Kiranya seperti itu pula hidup ini. Ketika sesuatu pergi, sebetulnya dia hanya berpindah tempat. Hanya digantikan oleh sesuatu lain yang ditakdirkan Tuhan, dan yang pergi itu pun tengah menjalani takdir Tuhan yang lain. Apa salahnya hidup yang seperti itu? Bukankah hidup ini terus berjalan seperti perputaran bumi? Jalani dan jalani saja. Berhenti justru akan menggangu keseimbangan.
Kata yang sempat kusangsikan, tapi akhirnya selalu tak bisa kusangkal kebenarannya. Dan kukira, soal keadilan, bukan ukuran manusia untuk menakarnya. Pemikiran seperti itu tiba-tiba saja menghampiriku ketika sedang duduk selama lima menit di depan hamparan kebun papaya yang sedang berbunga di samping kolam lele yang baru saja ditanami ketika menunggu jam mengajar. Sekuntum bunga pepaya yang masih muda jatuh ke tanah. Tapi ada tunas bunga baru yang bersiap hendak tumbuh. Kiranya seperti itu pula hidup ini. Ketika sesuatu pergi, sebetulnya dia hanya berpindah tempat. Hanya digantikan oleh sesuatu lain yang ditakdirkan Tuhan, dan yang pergi itu pun tengah menjalani takdir Tuhan yang lain. Apa salahnya hidup yang seperti itu? Bukankah hidup ini terus berjalan seperti perputaran bumi? Jalani dan jalani saja. Berhenti justru akan menggangu keseimbangan.
Aku tidak tahu
harus memaknai ini sebagai apa. Harus menerjemahkan ini ke dalam bahasa apa.
Yang aku tahu, aku hanya sedang belajar berbahasa, belajar berkata-kata.
Tiba-tiba aku teringat suatu siang di tahun yang berbeda, ketika sedang duduk
dengan seseorang yang istimewa di sebuah ruang baca. Di depanku, seorang kawan
tengah khusyuk dengan ensiklopedi bebahasa Inggris. Tiba-tiba, seorang lelaki
berkemeja hitam memasuki ruangan itu. Langkahnya
terhenti ketika tak sengaja beradu pandang denganku dan menangkap sorot “asing”
dari mataku. Jantungku berdegup kencang, dan dadaku terasa sesak. Dua orang
yang tengah bersamaku hanya saling berpandangan. Tak ada yang dapat memahami
“bahasa” itu selain aku dan lelaki berkemeja hitam itu. Dia memalingkan wajahnya dariku. Aku menahan
diri untuk tak menghampirinya. Tetapi, awan mendung yang tiba-tiba menghampiri
langitku saat itu tak mampu dihalau walau dengan kehadiran seseorang yang
teramat istimewa di sampingku. Aku sedang tak di tempatku. Aku tengah
menyambangi langit mendung di wajah lelaki berkemeja hitam itu. Kulihat, bayangannya
perlahan meninggalkan hatiku…
Aku menarik
nafas lega. Begitukah rasanya jadi pencuri? Seumur hidup aku tak pernah
mencuri. Tak pernah tahu bagaimana rasanya. Tapi lelaki berkemeja hitam itu
telah memberitahuku banyak hal. Telah mengajariku banyak hal. Dan semenjak saat
itu, aku bersumpah, aku tak akan pernah lagi mencuri apapun..! Masih kuingat
bayangannya menghilang diantara deretan rak buku, kemudian langkahnya terdengar
samar menuju pintu. Aku tak tahan menanggung perasaan sebagai pencuri. Akhirnya
kukejar bayangannya, dan sebagai pencuri, aku hanya bisa berkata, “Bagaimana
kabarmu?”
Dan hari ini,
Tuhan memberiku keadilan yang selalu kupertanyakan seumur hidupku. Bukan hanya
jawaban yang kuperoleh, Tuhan memberiku semua yang tak pernah kuketahui. Sewaktu
kecil, aku selalu bertanya kepada ibuku, “Bagaimana rasanya menjadi seperti
itu?”, “Bagaimana rasanya menjadi seperti ini?”, “Bagaimana rasanya menjadi
ini, menjadi itu…?” Dan sepanjang perjalanan hidupku yang tak terlalu panjang,
Tuhan memberikan lebih dari sekedar
jawabannya kepadaku.
Suatu hari aku
menekan nomor ponselnya di ponselku. Aku hampir tak yakin kalau itu masih nomor
yang sama. Tapi nomor yang kuharap salah itu ternyata benar. Dan suara di
seberang sana juga masih suara yang kukenal. Setelah bertahun-tahun..setelah
hampir-hampir kehilangan ingatan, aku hanya mampu berkata, “Maaf..”. Setelah
sekian lama, hanya itu yang ingin kukatakan.
Dan air mata yang dengan angkuhnya tak kubiarkan untuk mengalir itu
akhirnya tak dapat kubendung lagi. Aku tak ingin apa-apa. Hanya sebuah kalimat pendek “Aku memaafkanmu” yang
ingin kudengar.
Hampir sepuluh
tahun berlalu, aku telah mendengar kalimat itu darinya. Dan aku lega. Meski
beban itu belum sepenuhnya meninggalkanku. Aku cukup bahagia, ketika mendengar
dia bahagia. Kebahagiaan yang pernah aku rampas darinya, kebahagiaan yang
bahkan belum sempat menyinggahi meski sekedar ruang sempit di hatinya. Dan
bukankah Tuhan dengan teramat bijaksana telah menunjukkan bagaimana semua ini
semestinya terjadi? Sebagaimana Tuhan telah memperlihatkan bunga papaya yang
jatuh itu. Bunga yang gugur, jatuh ke tahan, dan digantikan tunas yang baru. Begitulah
seharusnya semua siklus berjalan, berputar, dan di situlah akan didapati keseimbangan
yang hakiki. Tak ada yang abadi, semua memiliki masa nya masing-masing. Berpindah
dari satu tempat ke tempat lain, mengisi ruang satu ke ruang lain, dan berjalan
dari satu alam ke alam lain. Yang sesungguhnya, hal seperti itu tak
menghilangkan keberadaan, hanya ruang dan waktu yang berbeda. Kemanakah kita
setelah mati? Bukankah kita juga hanya akan berpindah tempat? Dari alam yang
serba tak kekal ini menuju ke keabadian yang sejati? Bukankah seperti itu
firman Tuhan kepada kita hamba-hambanya? Lantas, apa yang mesti kurisaukan
sekarang? Apa-apa yang hilang, bukankah hanya menunggu saat-saat untuk
ditemukan kembali? Dan tentang takdir Tuhan..manusia terlalu tak tahu apa-apa
untuk menanyakannya.
Hidup dan
kehidupan adalah keserasian yang telah Tuhan berikan. Kita lah yang terkadang
merusak keselarasan. Menyepadankan ini dengan itu, mematutkan yang disana
dengan yang disini. Mereka membuat ukuran dan penilaiannya sendiri-sendiri. Sedang
penilaian mereka itu sendiri, tak pernah sama, tak pernah ajeg, tak pernah
seragam. Ini bukan soal harus menerima apa-apa yang diberikan Tuhan begitu
saja. Tidak, bukan soal itu. Manusia diberi keleluasaan untuk memilih apapun,
untuk menentukan apapun. Ini lebih tentang bagaimana sikap manusia untuk
menyadari semua sifat-sifat kemanusiaan yang telah ada pada dirinya.
Terakhir kali
aku melihat lelaki berkemeja hitam itu, ketika bayangannya ditelan rimbun
pepohonan, suaranya tersapu deru kendaraan, dan semenjak itu ada yang terbang
dari hatiku. Sebuah keyakinan. Ya, aku kehilangan sesuatu yang berharga! Keyakinan
pada diriku sendiri. Semenjak hari itu, aku tak lagi menamai diriku seperti
sebelumnya. Aku terlahir menjadi manusia yang berbeda. Manusia yang sebelumnya
tak kukenali. Manusia yang telah mencabut akar kemanusiaannya dari tanah
kehidupan. Manusia yang lebih memilih menjadi plastik yang tak dapat diuraikan
tanah ketimbang menjadi daun-daun yang gugur mengikuti takdirnya. Ya, aku
memilih menjadi manusia plastik yang tak gampang rapuh, yang tak mudah
membusuk, dan tak mudah hancur diinjak-injak orang. Untuk itu, aku lebih
memilih menjadi orang macam plastik yang mengkilat, kuat, dan praktis. Meski
kusadari, pada akhirnya aku hanya akan menjadi sampah yang sulit diuraikan
tanah. Aku tak akan diterima bumi. Aku mesti didaur ulang, menjadi barang baru,
dan begitulah siklus kehidupanku selanjutnya. Itulah resikonya menjadi manusia
plastik. Ya..aku pun demikian. Semenjak lelaki berkemeja hitam itu ditelan
bumi, aku tak lagi akrab dengan bumi. Duniaku semuanya semu. Aku menenggelamkan
diri dari satu sumur kepalsuan, ke sumur kepalsuan lainnya. Dan siklus itu
sampai sekarang masih mengugkungku seperti lingkaran setan yang sukar diputus.
Salahkah jika aku igin kembali membumi? Aku ingin
menjadi daun-daun gugur yang tak abadi saja. Meski siklusku singkat, tapi aku
akan menjadi sesuatu yang berguna. Aku akan menggemburkan tanah, memberikan
kehidupan bagi tumbuhan-tumbuhan lainnya. Kukira, seperti itulah seharusnya
hidupku. Dan memang seperti itulah aku dahulu. Sebelum aku menjadi pencuri, aku
hanya selembar daun yang hijau, dengan tangkai yang rapuh. Mendambakan
keabadian seperti benda-benda yang setiap hari dia lihat berseliweran. Sayang,
pilihannya tak memberinya kedamaian. Sekeras apapun dia berusaha menjadi
plastic, dia ditakdirkan menjadi daun. Meski rapuh, tapi dia berguna. Tapi
menjadi plastik yang akhirnya hanya berupa sampah, sungguh dia tak menemukan kedamaian
disana.
Ah sudahlah,
aku hanya ingin tak lagi tak tembus air. Aku ingin menyerap semua sumber
kehidupan. Aku ingin melebur bersama tanah, debu, dan angin. Aku ingin kembali
ke asalku. Aku ingin akrab dengan duniaku kembali. Ya, aku ingin kembali
membumi.
Sudut jendela, 2015
Selepas
maghrib